PENDAHULUAN
1.1.
Latar
Belakang Penelitian
Sektor pertanian merupakan
salah satu sektor yang paling penting di dalam perekonomian serta masih tetap
menjadi prioritas utama bagi pengambil kebijakan manapun di hampir seluruh
negara di dunia ini. Walaupun sempat kehilangan momentumnya selama beberapa
dekade, sektor pertanian selalu menuai perdebatan yang menarik dari sisi akademik
mengingat karakteristiknya yang sangat distortif dan krusial dalam konteks
pembangunan ekonomi dan pengentasan kemiskinan di suatu negara. Sektor
pertanian yang produktif dapat menyerap banyak tenaga kerja dan meningkatkan
pendapatan rumah tangga, khususnya bagi mereka yang miskin yang mayoritas juga
menyandarkan dirinya pada sektor pertanian. Sebaliknya, apabila sektor
pertanian mengalami stagnasi, maka target-target sosial dan kebijakan
pengentasan kemiskinan juga akan mengalami fase kemunduran yang signifikan
(lihat Gambar 1). Bahkan penelitian
OECD menyebutkan bahwa sekitar 52% dari 25 negara yang menjadi observasinya menjadikan
sektor pertanian sebagai penyumbang utama bagi pengentasan kemiskinan, selain remmittances dan non-agricultural sector (Cervantes dan
Dewbre 2010).
Gambar
1. Hubungan
GDP Sektor Pertanian dan Kemiskinan (Observasi 25 Negara)
Catatan : jumlah observasi =
147
Sumber
: Cervantes
dan Dewbre 2010
Di lain sisi, dunia dihadapkan
pada perkembangan yang sedikit mengecewakan karena dari waktu ke waktu
produktifitas dan nilai tambah sektor pertanian di dalam perekonomian terlihat
semakin merosot pada level yang mengkhawatirkan (lihat Gambar 2). Hal tersebut bisa disebabkan oleh semakin berkurangnya
tingkat kepentingan sektor pertanian itu sendiri seiring sejahteranya suatu
negara dan bisa juga karena lambatnya peningkatan produktifitas input
pertaniannya. Apapun sumbernya, hal ini jelas counterproductive untuk kebijakan-kebijakan pengentasan kemiskinan.
Gambar
2. Dinamika
Nilai Tambah (Value Added) Sektor Pertanian di dalam Perkeonomian
Sumber
: Meijerink
dan Roza 2007
Tidak dapat dipungkiri lagi,
dunia internasional sekarang ini menjadi semakin lebih terintegrasi satu sama
lain baik dalam hal perdagangan barang dan jasa maupun pada arus perdagangan
sektor finansial. Terlepas dari pencapaian-pencapaian yang baik dari reformasi
kebijakan, khususnya kebijakan perdagangan, pada banyak region di dunia ini,
praktik kebijakan proteksionisme di sektor pertanian masih sangat banyak
terjadi, khususnya di negara-negara maju. Pada rentang tahun antara 1980 sampai
2005, tingkat Nominal Rate of Assistances (NRA) di sektor pertanian meningkat dalam
jumlah yang cukup signifikan, khususnya di negara Brazil, China, dan Vietnam.
Negara-negara maju merupakan kelompok negara yang paling besar tingkat
bantuannya untuk sektor pertanian. Tercatat di tahun 2009, konsumen di
negara-negara maju menghabiskan 10 persen konsumsi tahunannya untuk produk
pertanian dalam rangka mendukung petani lokal (Naoi dan Kume 2010) dan pada
periode 2000-2005 rata-rata NRA dari negara-negara high income OECD adalah sekitar 52% dari pendapatan petaninya. Hal ini
merupakan hambatan yang cukup signifikan mengingat salah satu faktor penunjang
utama kesuksesan perkembangan sektor pertanian adalah tersedianya akses pasar
internasional yang bebas dari kebijakan-kebijakan yang distortif baik yang
berasal dari negara asalnya maupun negara partner dagangnya. Oleh karena itu
distorsi pada akses pasar internasional jelas berpengaruh terhadap
pencapaian-pencapaian sosial ekonomi khususnya bagi rumah tangga miskin yang
menyandarkan dirinya pada sektor pertanian (Anderson dan Valenzuela 2008).
Kebijakan-kebijakan
proteksionisme di sektor pertanian tersebut bisa dimengerti sebagai sebuah
upaya pemerintah dalam melindungi kepentingan domestiknya dan petani-petani
lokalnya dari arus barang impor. Usaha tersebut berujung pada keinginan
pemerintah untuk menjaga kesejahteraan masyarakatnya dengan cara mengamankan
bisnis lokal melalui cara-cara seperti subsidi ekspor, hambatan non tarif,
pajak impor, serta standar dan prosedur perdagangan yang berbelit belit untuk
barang pertanian. Kelompok negara yang paling dirugikan adalah kelompok
negara-negara berkembang karena secara mayoritas mereka tidak bisa mengikuti
standar-standar produk pertanian yang ditetapkan negara maju, bahkan produk
mereka pada akhirnya akan menjadi lebih mahal dan tidak efisien untuk dibeli
karena terkena berbagai biaya-biaya prosedur dan pajak impor. Lebih buruknya
lagi adalah, produk-produk pertanian di negara maju banyak menyerbu negara
berkembang karena masifnya bantuan subsidi ekspor dari pemerintahnya serta
mudahnya mereka melewati standar produk di negara-negara sedang berkembang. Hal
ini kemudian dapat menyebabkan masyarakat di negara berkembang, khususnya
pekerja sektor pertanian, tidak terangkat hajat hidupnya dan bahkan terancam
kelangsungan hidupnya akibat derasnya arus impor; serta di lain sisi masyarakat
di negara maju tidak dapat merasakan benefit dari ketersediaan barang yang
variatif dan murah akibat kebijakan domestik yang sangat distortif tersebut.
Isu-isu terkait kebijakan
proteksionisme di sektor pertanian dalam mendukung kesejahteraan masyarakatnya
merupakan pertanyaan yang selalu menarik untuk dicari tahu kebenarannya.
Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, penulis ingin menganalisis lebih lanjut
terkait dampak ekonomi dari beberapa tipe proteksionisme di sektor pertanian
dengan menggunakan analisis CGE model. Sebagai bahan usulan
kebijakan, penulis juga akan membandingkan dampak ekonomi kebijakan proteksionisme
tersebut dengan kebijakan-kebijakan lain yang bersifat lebih supportif,
produktif, efisien, dan market friendly
untuk perekonomian, yang diberi nama efficiency-driven
policy. Hal tersebut dilakukan agar pengambil kebijakan mendapatkan
gambaran perbandingan yang jelas terkait dampak-dampak ekonomi dari beberapa
tipe kebijakan pertanian terhadap kesejahteraan masyarakatnya. Sehingga
kebijakan yang diambil tidaklah hanya berdasarkan pemikiran yang sempit dan
terkadang belum teruji keabsahannya.
BAB II
TINJAUAN
PUSTAKA
2.1.
Model Keseimbangan Umum
Dalam
pembahasan keseimbangan umum, mendasarkan The Arrow – Debreu Economy ada dua agen (Arrow dan Debreu 1954), yakni : (1) konsumen atau rumah tangga,
(2) produsen atau perusahaan dan agen
ketiga, yaitu pemerintah.
2.1.1. Konsumen (Consumers)
Konsumen adalah salah satu agen ekonomi dimana
masing-masing konsumen dalam
perekonomian mempunyai barang-barang dasar dan juga menyumbangkan sebagian
haknya (shareholdings) pada
perusahaan. Konsumen menggunakan pendapatanya dari penjualan barang tersebut
untuk membeli pilihan konsumsi. Banyaknya konsumen, ditandai dengan H. Masing-masing H rumah tangga, h =
1,...,H mempunyai satu konsumsi yang ditetapkan
dengan Xh. Setiap rumah
tangga, h mempunyai satu fungsi
utility yang menghadirkan pilihannya.
Fungsi utility cekung, sehingga,
{xh : Uh (xh)
³ Uh(), xh e Xh}. Fungsi
utility rumah tangga h dapat ditulis
sebagai berikut :
(1)
dimana:
> 0 =
konsumsi barang i dari rumah tangga h jika barang i ditawarkan dari rumah
tangga; dalam bentuk tenaga kerja,
<
0 = rumah tangga h mengalokasikan barang-barang dasar atau endowment pada barang n dengan garis vektor.
Endowment stock labor dinyatakan:
(2)
Stock labor services yang dimiliki rumah tangga dapat ditawarkan. Rumah
tangga menggunakan pendapatan untuk membeli apa yang diinginkannya. Sumbangan rumah tangga h dalam perusahaan m
dalam ekonomi dinotasikan sebagai :
(3)
Dimana setiap ³
0. Jika masing-masing perusahaan memperoleh profit , rumah tangga h menerima
deviden sesuai ukurannya sebesar:
(4)
Dari perusahaan j
semua profit disalurkan, dan setiap rumah tangga individu dapat menyumbangkan
untuk perusahaan dimana :
(5)
Dalam
kerangka ekonomi kompetitif
tidak ada pasar untuk shareholdings sehingga tinggal memperbaiki nilai
awalnya saja. Masing-masing rumah tangga memilih garis vektor konsumsinya
sebagai berikut:
(6)
Untuk memaksimalkan fungsi utiliti mereka Uh (.) dibatasi anggaran
yaitu :
(7)
Sedangkan permintaan rumah tangga h dapat
dilihat pada persamaan (8) sebagai berikut:
(8)
dimana:
p, wh,
qh, adalah variabel parametrik rumah tangga.
Sebagai catatan jika : > 0 barang i
dikonsumsi dan jika < 0 barang i
ditawarkan. Aggregate demand untuk
barang i dinyatakan :
(9)
2.1.2. Produsen (Producers)
Produsen dalam perekonomian adalah perusahaan yang
mengambil bagian dari input dan memasukannya dalam proses menjadi output. Input
awal dapat diperoleh dari rumah tangga atau barang intermediate yang diproduksi oleh perusahaan lain, dan
masing-masing perusahaan memiliki karakter teknologi yang tersedia dengan
tujuan untuk memaksimalkan profit dari suatu rencana produksi. Harga dengan
vektor produksi seperti persamaan (10) sebagai berikut:
(10)
Secara umum dalam n harga ekonomi tiap perusahaan akan
memilih rencana produksi yi
untuk memaksimumkan profit kepada
yj dimana:
(11)
Perusahaan akan memecahkan masalah maksimalisasi:
(12)
Maksimisasi pada persamaan (12) menentukan
persediaan perusahaan dimana akan menjadi negatif jika barang itu menjadi input
dan positif jika menjadi output. Sebagai vektor harga perusahaan, fungsi
penawaran untuk barang j adalah:
(13)
Maka aggregate supply adalah:
(14)
Yang perlu dicatat bahwa jika barang i merupakan
input beberapa perusahaan dengan output untuk lainnya, menunjukkan Yi (p) menggambarkan
penawaran bersih dari sektor produktif.
2.1.3. Keseimbangan
(Equilibrium)
Keseimbangan
di dalam ekonomi merupakan posisi ekonomi yang ingin dicapai dimana permintaan
dengan penawaran berada dalam keseimbangan. Bagaimanapun juga kesinambungan
yang ingin dicapai tidak seluruhnya benar-benar seimbang. Untuk itu tingkat
profit dari tiap perusahaan yang ingin dicapai ditulis sebagai fungsi dari
vektor harga dengan menggunakan fungsi penawaran, ditulis sebagai berikut (Just,
et.al., 1982) :
(15)
Sedangkan
fungsi agregate demand dapat ditulis
(16)
Persamaan berikutnya perbedaan
antara demand dari supplay adalah:
(17)
Secara formal kedudukan harga keseimbangan adalah :
(18)
Persamaan (18) adalah format standar dari hukum
walras dengan asumsi, semua rumah tangga akan membelanjakan seluruh pendapatan
mereka. Hukum walras menunjukkan suatu hasil yang membawa implikasi penting
untuk analisa keseimbangan umum ekonomi (Myles, 1995). Dalam hukum walras, tiap-tiap
rumah tangga memuaskan kebutuhannya masing-masing dengan batasan anggaran dan
perusahaan membagikan kepada pemegang saham, maka nilai dari tiap permintaan
agen sama dengan atau kurang dari nilai persediaan mereka.
2.1.4.
Computable General Equilibrium (CGE)
Keunggulan dan Keterbatasan Model CGE
Terdapat beberapa model ekonomi yang
dapat digunakan untuk melihat dan menganalisis dampak perubahan variabel-variabel
ekonomi terhadap perkembangan sektor industri. Selain model CGE, model
ekonometrika sering digunakan untuk analisis keseimbangan partial (partial
Equilibrium), model Input-Output dan model Sistem Neraca Sosial Ekonomi (SNSE).
Kajian ini akan menggunakan model
CGE dimana terdapat beberapa keunggulan dan keterbatasan dibandingkan dengan
model ekonomi lainnya. Keunggulan dari model CGE yang akan digunaan dalam
kajian ini antara lain (Horison, 1997):
1. Dibandingkan dengan model keseimbangan parsial, model CGE sudah
memasukkan semua transaksi antara pelaku-pelaku ekonomi secara keseluruhan,
baik di pasar faktor produksi maupun pasar komoditi. Sehingga dampak dari suatu
kebijakan akan dapat dianalisis pengaruhnya secara kuantitatif terhadap kinerja
ekonomi baik secara makro maupun secara sektoral.
2. Model CGE sudah memasukkan kemungkinan substitusi antar faktor
produksi, sehingga jika terjadi perubahan harga relatif suatu faktor produksi,
maka produsen akan merubah komposisi penggunaan faktor produksi ke arah faktor
produksi yang harganya relatif lebih murah. Pada model CGE dampak kebijakan
dapat dianalisis pada tingkat institusi, distribusi pendapatan diantara
golongan rumah tangga, distribusi pendapatan diantara faktor produksi primer,
neraca perdagangan dan sebagainya (Horison 1997). Lebih lanjut, Wobs (2001)
menyatakan bahwa pada model CGE harga sudah dimasukkan sebagai variabel
endogen.
3. Dibandingan dengan Social Accountinng Matrix (SAM) atau Sisem
Neraca Sosial Ekonomi (SNSE), model CGE sudah memasukkan persamaan non linier.
Disamping itu, pada model CGE harga sudah dimasukkan sebagai variabel endogen.
4. Dibandingkan dengan model makro ekonometrika, model CGE dapat
mengacu pada tahun tertentu (particular benchmark years), sedangkan pada model
makro ekonometrika data yang digunakan merupakan data deret waktu, sehingga
tidak dapat diaplikasikan pada tahun tertentu. Disamping itu dengan menggunakan
model CGE hubungan antara makro ekonomi dangan mikroekonomi dapat diketahui,
sementara pada model makro ekonometrika analisis dan dampak hanya dapat
dilakukan di tingkat makro.
5. Model CGE dapat mengatasi permasalahan ketersediaan data deret
waktu (time series) yang terbatas, terutama di negara berkembang dan
inkonsistensi data yang diperlukan model ekonometrika maupun model simultan.
Pencatatan akan data dan keakuratan data dari waktu ke waktu di negara
berkembang saat ini masih menjadi kendala untuk ketersediaan data yang lengkap.
Sedangkan
keterbatasan model CGE pada kajian ini adalah struktur pasar yang diaplikasikan
pada model dalam kajian ini, terutama untuk komoditas listrik cenderung
merupakan struktur pasar monopoli. Padahal asumsi utama dalam model CGE
mengenai struktur pasar adalah pasar persaingan sempurna dengan kondisi constant
return to scale. Namun demikian berdasarkan hasil kajian Abayasiri-Silva
dan Horridge (1996), model CGE dapat juga diterapkan pada struktur pasar
monopoli dengan kondisi increasing returun to scale. Abayasiri-Silva dan
Horridge (1996) menemukan bahwa hasil simulasi yang diperoleh dengan
menggunakan asumsi PPS atau monopoli adalah relatif sama.
2.2. Aplikasi Model CGE dalam Penelitian Bidang Pertanian
Sebelumnya
Rina Oktaviani, Eka Puspitawati dan Tanti Novianti
(2006) melakukan penelitian tentang dampak ekonomi penurunan dukungan domestik
produk pertanian negara maju dan peluangnya bagi Indonesia. Penurunan dukungan
domestik produk pertanian merupakan salah satu pilar dalam perundingan WTO yang
telah disepakati bersama. Dengan menggunakan model dan data GTAP terbukti bahwa
penurunan dukungan domestik di negara-negara maju tidak mengakibatkan
kesejahteraannya menurun. Kenyataan yang ada menunjukkan bahwa negara-negara
maju masih terus melakukan berbagai bentuk dukungan domestik. Negara-negara
berkembang termasuk Indonesia, dengan anggaran yang terbatas dirugikan dengan
tingginya dukungan domestik yang diberikan negara-negara maju. Peluang akan
tercipta terutama untuk produk olahan hasil pertanian bagi Indonesia jika
negara-negara maju mau mengurangi dukungan domestiknya.
Data utama yang diolah dalam penelitian ini
menggunakan data Global Trade Analysis Project (GTAP). Data GTAP adalah data
yang melingkupi Input-Output tabel masing-masing negara dan aliran perdagangan
antar negara dengan banyak komoditas. Untuk keperluan penelitian ini, data yang
diolah di agregasi ke dalam 12 negara/regional dan 16 komoditas, karena
penelitian lebih difokuskan pada bagaimana dampak kebijakan kesepakatan bidang
pertanian dalam kerangka WTO terhadap produk pertanian di Indonesia.
Model GTAP adalah model ekonomi keseimbangan umum
(CGE) banyak negara dan banyak komoditas. Seperti model CGE lainnya, didalam
model GTAP dijelaskan keterkaitan antar agen-agen ekonomi dan komponen-komponen
permintaan akhir di suatu negara dan antar negara. Penekanan GTAP terletak pada
keterkaitan perekonomian secara keseluruhan, sehingga dapat digunakan untuk
menganalisis dampak kebijakan suatu negara terhadap perekonomian sektoral
maupun makro di negara tersebut dan negara lainnya.
Sementara Dwi Haryono (2008) meneliti tentang Dampak
Industrialisasi Pertanian terhadap Kinerja Sektor Pertanian dan Kemiskinan
Perdesaan. Dengan menggunakan CGE Recursive Dynamic, penelitian ini berujuan
untuk mengkaji dampak peningkatan produk-produk industri pertanian terhadap
kinerja ekonomi sektoral, ekonomi makro, pendapatan rumah tangga dan kemiskinan
perdesaan. Dampak yang sama juga dianalisis jika
peningkatan produktivitas agroindustri diikuti oleh peningkatan produktivitas
sektor pertanian dan lembaga keuangan.
Data yang digunakan dalam penelitian ini ialah tabel
Input-Output dan Social Accounting Matrix Indonesia tahun 2003 serta data
Survey Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) tahun 2002 yang disusun oleh Badan
Pusat Statistik. Hasil simulasi kebijakan menunjukkan bahwa peningkatan
produktivitas agroindustri berdampak positif terhadap jumlah output yang
dihasilkan. Apabila peningkatan produktivitas agroindustri diikuti oleh
peningkatan produktivitas sektor pertanian dan lembaga keuangan, maka hampir
seluruh sektor mengalami peningkatan jumlah output. Peningkatan produktivitas
agroindustri berdampak pada penurunan harga output hanya
di sektor agroindustri, sedangkan harga output di sektor
lainnya justru mengalami peningkatan.
Peningkatan produktivitas agroindustri, sektor pertanian dan lembaga
keuangan secara bersamaan berdampak terhadap penurunan harga output pada hmpir
seluruh sektor dan mempunya dampak yang bervariasi dalam penyerapan tenaga
kerja. Peningkatan penyerapan tenaga kerja terdidik lebih besar dibandingkan
dengan tenaga kerja tidak terdidik, senaliknya penurunan penyerapan tenaga
kerja terdidik lebih rendah dibandingkan dengan tenaga kerja terdidik.
Sedangkan Tulus Tambunan (2010)
melakukan penelitian tentang dampak dari liberalisasi perdagangan pertanian
Indonesia-China terhadap produksi dan ekspor pertanian di Indonesia. Penelitian
ini secara metodologi, menggunakan dua metode analisis. Pertama, untuk
menganalisis daya saing perdagangan Indonesia dibandingkan China untuk
komoditas-komoditas yang masuk di dalam EHP, dipakai dua indeks daya saing yang
umum digunakan di dalam penelitian-penelitian perdagangan atau persaingan antar
negara, yakni indeks revealed comparative
advantage (RCA) dan indeks spesialisasi perdagangan (TSI). Kedua, untuk
menganalisis efek-efek dari liberalisasi perdagangan pertanian antara kedua
negara tersebut terhadap produksi dan ekspor pertanian Indonesia, penelitian
ini mengadopsi suatu pendekatan simulasi
dengan menggunakan dua model penghitungan keseimbangan umum, yaitu Model
Simulasi Kebijakan Perdagangan Pertanian (ATPSM) versi 3.1 (2006) dan Proyek
Analisis Perdagangan Global (GTAP) versi 2005.
Dengan menggunakan pendekatan simulasi penelitian ini
menyimpulkan secara keseluruhan,
pertanian Indonesia, atau lebih spesifik lagi, petani-petani di
subsektor-subsektor pertanian tidak akan sepenuhnya mendapatkan keuntungan dari
kesepakatan perdagangan regional antara Indonesia-China. Untuk kasus Indonesia,
bahkan tanpa simulasi sekalipun, sudah sangat diketahui oleh umum bahwa
pertaniannya merupakan sektor yang “terlupakan” atau “tersisihkan” di dalam
pembangunan ekonomi nasional selama ini; walaupun pada era Soeharto, sektor
pertanian sempat menjadi sektor penting yang mendapatkan perhatian serius dari
pemerintah. Terutama sejak krisis ekonomi tahun 1997/98, dan jatuhnya rezim
Orde Baru (1969-1998), revolusi penghijauan yang merupakan salah satu kebijakan
sangat penting pada era Soeharto secara tidak resmi berakhir.
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
Metodologi yang akan digunakan dalam penelitian ini
adalah metode Computable
General Equilibrium (CGE). Perkembangan model keseimbangan umum
multisektoral yang dapat dikomputasi (model Computable General Equilibrium)
semakin banyak dipergunakan oleh para peneliti sebagai alat analisis untuk
mengetahui adanya keterkaitan antarsektor. Dengan menggunakan struktur model
yang terspesifiasi secara benar dan data-data yang mendekati keadaan sebenarnya
serta didukung oleh konsistensi teori, akan diperoleh basil analisis kebijakan
yang lebih realistis. Keseimbangan yang terbentuk merupakan hasil dari
keterkaitan dalam sistem yang dibentuk (Salahudin 1994).
Model perhitungan CGE sederhana pertama kali diperkenalkan
oleh Johansen untuk perekonomian Norwegia pada tahun 1960 (Dixon et, al. 1992).
Model ekonomi keseimbangan umum sederhana ini memuat respon harga yang
menangkap adanya kemungkinan substitusi antara konsumsi dan produksi. Teori
yang mendasari model ini didasari oleh Hukum Walras yang menyatakan adanya
titik keseimbangan umum pada penawaran dan permintaan yang berinteraksi dadlam
pasar. Walras berhasil membuktikan secara matematis bawa total excess demand
dan total excess supply terjadi pada seluruh jenis barang atau komoditi yang
diproduksi (Nicholson 1994).
Sugiyono (2009), memberikan gambaran bahwa secara umum untuk
pembuatan model CGE mengikuti langkah-langkah seperti pada Gambar 3.1.
Pertama-tama membuat data set yang konsisten dengan kondisi perekonomian saat
ini. Parameter model diperoleh berdasarkan prosedur kalibrasi sedangkan harga
elastisitas dapat diperoleh berdasarkan studi literatur. Berdasarkan kalibrasi
dilihat konsistensi model dengan keseimbangan dasar (benchmark) dalam
perekonomian. Bila telah sesuai, langkah selanjutkan adalah membuat suatu
skenario dengan kebijakan tertentu atau mengubah besaran parameter sehingga
didapat keseimbangan perekonomian yang baru.
Berdasarkan hasil ini dapat dianalisis pengaruh dari
kebijakan atau perubahan salah satu parameter terhadap keseluruhan sistem
perekonomian. Model yang dikembangkan mempunyai dua modul yaitu model dasar
yang merupakan model CGE statis dan model dinamik yang memasukkan faktor
pertumbuhan pada model CGE statis.
Gambar
3. Analisis
dengan Model CGE
Sumber
:
Sugiyono (2009)
3.1.
Model Dasar
Model mengadopsi sepenuhnya dari model CGE standar. Sedangkan analisa dan simulasi yang akan
dilakukan menitikberatkan untuk melihat perbandingan antara kebijakan
proteksionisme dan efisiensi sektor pertanian. Dalam simulasi yang akan
dilakukan, proteksionisme terhadap sektor pertanian berupa shock terhadap
kebijakan kenaikan subsidi ekspor produk pertanian, shock terhadap kebijakan
kenaikan tarif impor produk non-pertanian, dan shock terhadap harga-harga
produk pertanian di perekonomian domestik (penurunan tarif pajak penjualan).
Sedangkan simulasi efisiensi sektor pertanian (efficiency-driven policy)
menitikberatkan kepada analisa pertambahan investasi barang-barang kapital di
sektor pertanian dan peningkatan produktifitas sektor pertanian (parameter
efisiensi fungsi produksi).
Model yang digunakan dalam kajian ini, mengasumsikan bahwa
seluruh industri beroperasi pada pasar dengan kondisi competitive baik di pasar
input maupun di pasar output. Hal ini mengimplikasikan bahwa tidak ada sektor
atau rumah tangga yang dapat mengatur pasar, sehingga seluruh sektor di dalam
perekonomian diasumsikan menjadi penerimaan harga (price-taker). Pada tingkat output, harga-harga dibayar oleh
konsumen sama dengan marginal cost dari memproduksi barang. Hal yang sama,
dimana input dibayar sesuai dengan nilai produk marginalnya (marginal value of productivity). Sebagai
tambahan, persamaan permintaan dan penawaran untuk pelaku swasta diturunkan
dari prosedur optimasi (optimization).
Dalam setiap proses produksi, masing-masing industri dapat
memproduksi beberapa komoditi. Industri menggunakan faktor produksi primer dan
input antara. Setiap input antara dapat diperoleh baik dari pasar domestik
maupun impor. Faktor primer yang digunakan adalah tenaga kerja dan modal.
Penyederhanaan asumsi kunci model produksi ini dibuat dalam
beberapa tahap (multi-stage) termasuk
pemisahan input-output, struktur hirarki didasarkan pada fungsi produksi constant elasticities of substitution (transformation) kecuali untuk tahapan
kombinasi barang-barang antara (intermediate
goods) dan agregat faktor primer (primary factors).
Dalam aplikasi pembuatan model, bentuk fungsi seperti
Leontief, Cobb-Douglas atau constant elastisity of substitution (CES)
sudah umum digunakan. Setiap fungsi mempunyai sifat tertentu yang penting dalam
menyatakan perilaku ekonomi. Bentuk fungsi yang dipilih harus cukup flexibel sehingga mampu
merepresentasikan perilaku ekonomi seperti yang diharapkan.
3.2.
Identifikasi variabel
Pada model CGE sederhana, model dibangun berdasarkan empat blok utama yaitu blok harga, blok
perdagangan dan produksi, blok institusi, dan blok constarin market (Lofgren, et.al. 2002). Selanjutnya blok-blok
utama ini terdiri dari beberapa variabel lagi. Dan variabel-variable inilah
yang mewakili perhitungan sektor dalam perekonomian yang pada nantinya akan
dianalisis dan disimulasikan.
Pada
blok harga, variabel-variabel yang mendukungnya terdiri dari:
·
Harga Impor merupakan harga impor yang dibayar
oleh masyarakat didalam negeri yang menggunakan barang impor, tidak termasuk
pajak. Bentuk persamaannya adalah sebagai berikut:
·
Harga ekspor merupakan harga yang diterima oleh
produsen dalam negeri ketika mereka mejual barang mereka diluar negeri, dimana
bentuk fungsinya adalah sebagai berikut:
·
Harga permintaan barang domestik non trade goods
merupakan harga yang diterima oleh para konsumen ketika membeli barang
domestik. Dalam hal ini terdapat pemisahan antara harga yang diterima oleh
konsumen dan produsen.
·
Penyerapan merupakan total pengeluaran domestik
atas komoditas dan pada harga konsumen. Penyerapan merangkum semua permintaan
terhadap komoditas yang diimpor dan semua komoditas yang diproduksi dipasar
domestik. Fungsi persamaan tersebut adalah:
·
Nilai pasar dari output merupakan penjumlahan
dari penjulan domestik dan ekspor. Kedua penjualan ini diterima oleh produsen
dalam bentuk harga produsen. Persamaannya adalah sebagai berikut:
·
Harga aktivitas merupakan tingkat pengembalian
dari penjualan output.
·
Harga Agregate barang intermediate input
·
Penerimaan aktivitas dan biaya merupakan total
penerimaan dari pajak yang berasal dari pajak nilai tambah dan input
intermediate.
·
Consumer Price Indeks
·
Indkes Harga Producen untuk pasar barang output
nontrade
Blok
kedua terdiri dari blok produksi dan perdagangan, dimana blok ini
meliputi CES Technology: Activity
Production Fucntion; CES Technology: Value-Added–Intermediate-Input Ratio;
liontief technology: demand for aggregate value added; liontief technology :
demand for aggregate intermediate input; value added and factors demand; factor
demand; disaggregate intermediate input demand; commodity production and
allocation; output aggregation function; first order condition for out-put
aggregation function; output transformation function; export domestic supply
ratio; Output Transformation for Domestically Sold Outputs Without Exports and
for Exports Without Domestic Sales; Composite Supply (Armington) Function;
Import-Domestic Demand Ratio; Composite Supply for Non-imported Outputs and
Nonproduced Imports; Demand for Transactions Services.
·
Fungsi persamaan CES Technology: Activity Production Fucntion
·
CES
Technology: Value-Added–Intermediate-Input Ratio;
·
liontief
technology: demand for aggregate value added
·
liontief
technology : demand for aggregate intermediate input;
·
value
added and factors demand
·
factor
demand
·
disaggregate
intermediate input demand
·
commodity
production and allocation
·
output
aggregation function
·
output
transformation function;
·
export
domestic supply ratio;
Output
Transformation for Domestically Sold Outputs Without Exports and for Exports
Without Domestic Sales;
·
Composite
Supply (Armington) Function;;
·
Import-Domestic
Demand Ratio;
·
Composite
Supply for Non-imported Outputs and Nonproduced Imports;
·
Demand
for Transactions Services
Blok
ketiga adalah blok institusi meliputi
1.
faktor pendapatan;
2.
faktor pendapatan institusi;
3.
pendapatan institusi non pemerintahan;
4.
transfer antar institusi;
5.
pengeluaran konsumsi rumah tangga;
6.
pengeluaran konsumsi rumah tangga pada pasar
komoditas;
7.
pengeluaran konsumsi rumah tangga pada kebutuhan
perumahan;
8.
permintaan investasi;
9.
permintaan konsumsi pemerintah;
10.
penerimaan pemerintah;
11.
pengeluaran pemerintah.
Blok
keempat adalah blok constrain
market yang terdiri dari
1.
market
factor;
2.
composite
comodity market;
3.
current-account
balance for the rest of the world, dalam mata uang asing;
4.
neraca pemerintah;
5.
rate pajak;
6.
tabungan institusi;
7.
simpanan investasi;
8.
penyerapan total;
9.
rasio anatara investasi dan penyerapan;
10.
rasio konsumsi pemerintah dan tingkat
penyerapan;
3.3
Teknik Analisis
Untuk menganalisa model CGE digunakan softwear GAMSIDE, software ini secara otomatis akan
mengelompokkan variabel-variabel dan parameter-parameter sesuai dengan tabel SAM
yang menjadi input pada model CGE. Dalam analisa ini, kita dapat menemukan
pembagian antara sektor produk non agriculture dan sektor agricultur. Shock
akan dilakukan pada kelompok parameter harga disektor tarif ekspor agriculture,
parameter harga di sektor pajak produk pertanian yang dijual didalam negeri dan
sebagainya.
Untuk mengetahui dampak perubahan dari bentuk proteksionisme
pemerintah terhadap sektor pertanian, maka didalam tulisan ini, shock diberikan
dengan men set besaran parameter dari variabel pertanian. Misalnya untuk
memberikan subsidi pemerintah melalui pengurangan tarif ekspor maka perhitungan
dilakukan dengan melakukan perubahan terhadap parameter pwec yang
merupakan parameter ekspor price sehingga nantinya akan mempengaruhi besaran
jumlah ekspor produk.
Ketika terjadi perubahan parameter akan memberikan pengaruh
perubahan terhadap sektor-sektor lainnya terutama sekali sektor yang memiliki
hubungan erat dengan sektor pertanian. Selanjutnya adalah kita akan melihat
besaran perubahan yang terjadi terhadap sektor-sektor lainnya yang berada
didalam empat blok didalam CGE seperti blok blok harga, blok perdagangan dan
produksi, blok institusi, dan blok constarin
market.
3.3.1. Skenario Analisis CGE Model
Dengan mengadopsi CGE model,
penulis melakukan simulasi dampak ekonomi terkait penerapan kebijakan
proteksionisme dan membandingkan hasilnya dengan simulasi yang
merepresentasikan efficiency-driven
policy. Simulasi tidak dilakukan secara bersamaan, melainkan satu persatu.
Skenario simulasi yang dilakukan penulis pada model CGE 5 (IFPRI Standard
Model) adalah :
A.
Kebijakan Proteksionisme
1.
Peningkatan 30 persen subsidi ekspor pada
komoditas pertanian (0.3 + te(‘AGR-C’)à Sim.
A1
2.
Peningkatan 30 persen tarif impor komoditas non
pertanian (1.3*tm(‘NAGR-C’))à Sim.
A2
3.
Penurunan 30 persen pajak penjualan untuk
komoditas pertanian atau bisa juga berarti subsidi domestik untuk komoditas
pertanian (0.7*tq(‘AGR-C’))à Sim.
A3
B.
Efficiency-driven
Policy
1.
Peningkatan 30 persen parameter efisiensi
teknologi di sektor pertanian (1.3*ad(‘AGR-A’)) atau disebut juga shock
produktifitas pertanianà Sim.
B1
2.
Peningkatan 30 persen permintaan investasi untuk
komoditas pertanian (1.3*qinvbar(‘AGR-C’))à Sim.
B2
Representasi
dari kebijakan proteksionisme pada skenario simulasi CGE model diatas dipilih
dengan prinsip standar yaitu memiliki tujuan untuk melindungi produsen domestik
dan meningkatkan kesejahteraannya dengan cara-cara yang berkebalikan dengan
prinsip market efficiency.
Peningkatan subsidi ekspor dipilih karena kebijakan tersebut membuat ekspor
lebih murah dan kebijakan tersebut berorientasi melindungi dan mendorong
produsen domestik untuk lebih giat mengekspor barang pertaniannya, tetapi
dengan cara yang distortif dan bersifat proteksionisme. Peningkatan tarif impor
barang non-pertanian dipilih karena pada model standardnya tidak ada tarif
impor untuk barang pertanian dan penulis juga ingin melihat apakah yang terjadi
pada sektor pertanian serta kesejahteraan masyarakat pada umumnya jika sektor
non-pertanian diproteksi. Penurunan pajak penjualan untuk komoditas pertanian
dipilih karena sifat dan dimensinya yang sama dengan kebijakan pemberian
subsidi domestik untuk barang pertanian, dan dalam konteks ini kebijakan
tersebut bisa dilihat sebagai suatu bentuk proteksi domestik untuk membuat
barangnya lebih murah daripada barang impor.
Di
lain sisi, representasi dari efficiency-driven
policy pada skenario simulasi CGE model diatas dipilih dengan prinsip dasar
yaitu memiliki karakteristik yang mendukung dan bisa meningkatkan efisiensi dan
produktifias sektor pertanian. Peningkatan parameter efisiensi sektor pertanian
(produktifitas pertanian) dipilih karena peningkatan koefisien tersebut
memiliki arti bahwa sekarang (setelah simulasi) efisiensi aktifitas pertanian
itu lebih meningkat dibanding sebelumnya, menghasilkan lebih banyak produk
dengan lebih sedikit input. Hal tersebut juga berarti bahwa terjadi peningkatan
pada struktur teknologi di sektor pertanian. Peningkatan permintaan investasi
pada sektor pertanian dipilih karena simulasi tersebut melambangkan pengaruh
aktivitas investasi di sektor pertanian, mengingat investasi adalah syarat
utama untuk perkembangan (ekspansi) sektor pertanian yang lebih baik dan
produktif kedepannya. Perbandingan kedua grup simulasi tersebut dilakukan
sebagai sebuah upaya untuk melihat perbedaan dampak ekonomi dari kebijakan yang
berorientasi pada bentuk-bentuk proteksionisme dengan kebijakan yang
berorientasi pada peningkatan efisiensi di sektor pertanian.
BAB IV
HASIL
DAN PEMBAHASAN
Penelitian
ini mengadopsi lima jenis simulasi, 3 diantaranya merepresentasikan kebijakan
proteksionisme, sedangkan 2 yang lainnya menggambarkan efficiency-driven policy. Penulis akan menganalisis dampaknya
terhadap beberapa indikator terpilih di dalam variabel-variabel yang tersedia
di dalam model CGE tersebut. Indikator yang dipilih untuk dianalisis adalah
kelompok variabel yang mewakili (i) proses produksi dan sistem harga baik yang
terkait domestik maupun ekspor impor; (ii) supply dan pendapatan faktor
produksi, serta transfernya terhadap rumah tangga; (iii) kesejahteraan rumah
tangga dan institusi lainnya; (iv)
serta GDP dan faktor penyusunnya. Secara umum, tiga kebijakan yang paling besar dampaknya dalam
peningkatan kesejahteraan masyarakat adalah kebijakan peningkatan produktifitas pertanian, subsidi atau
pengurangan pajak penjualan terhadap produk pertanian, serta peningkatan
investasi pada komoditas pertanian. Kebijakan proteksi perdagangan luar negeri
terbukti sama sekali tidak menguntungkan bagi kesejahteraan tumah tangga,
bahkan terbukti mencederai produksi domestiknya sendiri. Sedangkan kebijakan
proteksi pemberian subsidi atau pengurangan pajak penjualan untuk barang
pertanian yang lebih ditujukan untuk arus domestik akan menghasilkan dampak
yang lebih moderat dibandingkan kebijakan proteksionisme lainnya, bahkan
kebijakan tersebut termasuk salah satu dari 3 tipe kebijakan yang berdampak
baik bagi kesejahteraan selain efficiency-driven
policy.
4.1. Dampaknya pada Blok Sektor Produksi, Arus Perdagangan, dan Sistem
Harga
Simulasi
kebijakan proteksionisme yang mengedepankan kebijakan-kebijakan subsidi ekspor
(Sim. A1) dan hambatan tarif impor yang tinggi (Sim. A2) terlihat menimbulkan
hasil yang tidak baik, bahkan untuk keberlangsungan perdagangan internsional itu
sendiri. Pada kebijakan peningkatan subsidi ekspor komoditas pertanian dan
peningkatan tarif impor produk non-pertanian, total ekspor barang dan jasa di
dalam perekonomian malah mencatatkan pertumbuhan yang negatif, hal tersebut
juga terjadi pada sisi impor. Terjadi penurunan sekitar 32 persen dari total
ekspor barang dan jasa akbiat diberlakukannya subsidi ekspor sektor pertanian.
Jika pemerintah memberlakukan kebijakan peningkatan tarif impor produk
non-pertanian, maka total ekspor akan turun lebih moderat, namun total impor
barang dan jasa akan menurun lebih drastis dibandingkan kebijakan subsidi
ekspor.
Pada
kebijakan subsidi ekspor produk pertanian, terjadi depresiasi nilai tukar
sebesar hampir 11 persen. Keadaan tersebut menyebabkan harga impor menjadi
mahal dan permintaan impor menurun. Lesunya impor menyebabkan proses produksi
domestik terganggu[1],
kuantitas barang-barang yang disupplai di dalam negeri (QQ) pun kemudian
berkurang sebesar 4.5 persen (untuk produk pertanian) dan 5.13 persen (untuk produk
non pertanian). Lesunya proses produksi tersebut kemudian berimbas kepada total
output domestik (QX) yang menurun hampir sebesar 8 persen untuk komoditas
pertanian, dan sekitar 3 persen untuk komoditas non pertanian. Akibat lumpuhnya
proses produksi di dalam negeri tersebut, kuantitas produk pertanian yang
diekspor pun ikut menurun drastis hampir sebesar 39 persen. Tidak heran
kemudian jika total kegiatan ekspor impor barang dan jasa di bawah rezim
kebijakan ini akan berkurang sebesar hampir 32 persen (ekspor) dan 1.5 persen
(impor). Serangkaian kejadian tersebut menunjukkan bahwa pada akhirnya
kebijakan proteksionisme subsidi ekspor hanya akan berakhir pada mengecilnya
volume aktifitas produksi dan arus perdagangan.
Kebijakan
yang awalnya bertujuan baik namun berujung pada lesunya aktifitas produksi dan
volume perdagangan luar negeri juga terjadi pada rezim kebijakan proteksionisme
yang melakukan peningkatan tarif impor produk non-pertanian. Peningkatan tarif
impor produk non-pertanian tersebut menyebabkan harga-harga barang impor
meningkat sebesar 2.5 persen. Peningkatannya tidak sebesar pada kebijakan yang
sebelumnya, karena pada kali ini peningkatan harga barang-barang impor ter-offset oleh apresiasi nilai tukar
sebesar 5.2 persen. Namun demikian, aktifitas produksi dalam negeri tetap saja
mengalami kemunduran dan terganggu dalam besaran yang cukup signifikan akibat
kebijakan distortif tersebut. Kuantitas barang yang disupplai di dalam negeri
(QQ) berkurang sebesar 1.189 (pertanian) dan 1.2 persen (non-pertanian) yang
kemudian juga akan mengurangi total output domestik (QX) sebesar 2.1 persen
(pertanian) dan 0.6 persen (non-pertanian). Total komoditas pertanian untuk
tujuan ekspor kemudian juga berkurang sebesar 9.6 persen akibat lesunya
aktifitas domestik tersebut. Pada akhirnya kebijakan proteksionisme tersebut
tidak dipungkiri lagi dapat mengurangi volume arus perdagangan barang dan jasa
dalam jumlah yang signifikan, yaitu sebesar 14.28 persen dari sisi ekspor dan
7.8 persen dari sisi impor.
Di
lain sisi, hasil yang relatif baik tercipta dari kebijakan pemotongan pajak
penjualan komoditas pertanian sebesar 30 persen. Hal ini penulis analogikan
sebagai upaya yang serupa dengan bentuk subsidi domestik terhadap komoditas
pertanian. Pemotongan pajak penjualan tersebut jelas menurunkan harga komoditas
komposit produk pertanian (PQAGR) sebesar 0.865 persen. Insentif pemotongan
pajak tersebut membuat produksi dan aktifitas domestik semakin menggeliat[2], sehingga semua indikator
pada blok produksi dan sistem harga terlihat menunjukkan presentase perubahan
yang positif. Peningkatan
produksi domestik akibat insentif pajak tersebut membuat arus produksi barang
dan jasa semakin lancar, sehingga berimbas pada peningkatan aktifitas
perdagangan internasional. Kuantitas barang yang diekspor meningkat 1.1 persen,
sedangkan kuantitas impor meningkat sebesar 0.31 persen. Kemajuan tersebut pada
gilirannya membuat total aktifitas perdagangan meningkat sebesar 1.4 persen
dari sisi ekspor, dan 0.65 persen dari sisi impor.
Tabel 1. Persentase
Perubahan Beberapa Indikator Terpilih dalam Setiap Simulasi CGE Model (dalam %
terhadap nilai dasar)
Indikator**
|
Simulasi CGE Model*
|
||||
Sim.
A1
(TEINCR)
|
Sim.
A2
(TMINCR)
|
Sim.
A3
(TQINCR)
|
Sim.
B1
(ADINCR)
|
Sim.
B2
(QINVINCR)
|
|
EXRREP
|
10.800
|
-5.200
|
0.300
|
-3.100
|
-0.700
|
PMREP
(NAGR)
|
10.800
|
2.500
|
0.300
|
-3.100
|
-0.700
|
PEREP
(AGR)
|
-22.500
|
-5.200
|
0.300
|
-3.100
|
-0.700
|
QMREP
(NAGR)
|
-11.063
|
-2.744
|
0.308
|
21.024
|
-0.723
|
QEREP
(AGR)
|
-38.720
|
-9.603
|
1.080
|
73.583
|
-2.530
|
PQREP
(AGR)
|
-3.269
|
-0.865
|
-0.865
|
-16.923
|
1.923
|
PQREP
(NAGR)
|
1.061
|
0.289
|
0.289
|
5.207
|
-0.579
|
QQREP
(AGR)
|
-4.552
|
-1.189
|
0.941
|
27.720
|
2.819
|
QQREP
(NAGR)
|
-5.136
|
-1.210
|
0.362
|
14.213
|
-0.821
|
PXREP
(AGR)
|
-5.000
|
-1.300
|
0.300
|
-15.200
|
1.700
|
PXREP
(NAGR)
|
-2.400
|
-0.600
|
0.200
|
8.400
|
-0.500
|
QXREP
(AGR)
|
-7.904
|
-2.076
|
0.956
|
33.016
|
2.251
|
QXREP
(NAGR)
|
-2.828
|
-0.641
|
0.381
|
11.860
|
-0.857
|
QFSREP
(LAB)
|
-12.302
|
-3.244
|
1.581
|
12.885
|
2.407
|
WFAREP
(CAP AGR)
|
-15.300
|
-4.100
|
1.900
|
4.700
|
4.600
|
WFAREP
(CAP NAGR)
|
-6.300
|
-1.500
|
0.900
|
29.200
|
-1.900
|
YFREP
(UHHD LAB)
|
-9.981
|
-2.548
|
1.305
|
19.244
|
0.709
|
YFREP
(UHHD CAP)
|
-9.482
|
-2.398
|
1.246
|
20.610
|
0.346
|
YFREP
(RHHD LAB)
|
-9.980
|
-2.548
|
1.305
|
19.245
|
0.710
|
YFREP
(RHHD CAP)
|
-9.482
|
-2.399
|
1.246
|
20.611
|
0.346
|
EGREP
|
0.225
|
0.060
|
0.062
|
1.177
|
-0.135
|
YGREP
|
3.627
|
5.441
|
-2.031
|
13.545
|
-0.371
|
QHREP
(AGR UHHD)
|
-4.452
|
-0.347
|
1.376
|
57.638
|
-5.918
|
QHREP
(AGR RHHD)
|
-4.611
|
-1.796
|
2.061
|
41.318
|
-1.514
|
QHREP
(NAGR UHHD)
|
-8.469
|
-1.463
|
0.211
|
24.482
|
-3.507
|
QHREP
(NAGR RHHD)
|
-8.622
|
-2.896
|
0.886
|
11.591
|
1.009
|
YHREP
(UHHD)
|
-5.977
|
-2.627
|
1.031
|
15.014
|
0.284
|
YHREP
(RHHD)
|
-7.706
|
-2.639
|
1.161
|
17.411
|
0.403
|
MPSREP
(UHHD)
|
4.545
|
-4.167
|
1.515
|
-38.636
|
12.121
|
GDPMP1
|
-7.372
|
-0.470
|
0.522
|
19.448
|
0.354
|
PRVCON
|
-7.617
|
-1.805
|
0.768
|
25.282
|
-2.202
|
GOVCON
|
0.310
|
0.083
|
0.085
|
1.619
|
-0.186
|
INVEST
|
-0.051
|
-0.013
|
-0.014
|
-0.269
|
7.610
|
EXP
|
-32.130
|
-14.280
|
1.433
|
68.133
|
-3.250
|
IMP
|
-1.500
|
-7.775
|
0.658
|
17.223
|
-1.458
|
GDPFC
|
-9.711
|
-2.467
|
1.273
|
19.983
|
0.513
|
*
: Sim. A1 = peningkatan subsidi ekspor komoditas pertanian sebesar 30 persen;
Sim. A2 = peningkatan tarif impor komoditas non-pertanian sebesar 30 persen;
Sim. A3 = penurunan pajak penjualan komoditas non pertanian sebesar 30 persen;
Sim. B1 = peningkatan parameter efisiensi fungsi produksi sektor pertanian
sebesar 30 persen; dan Sim. B2 = peningkatan permintaan investasi di komoditas
pertanian sebesar 30 persen.
**
: AGR = pertanian; NAGR = non pertanian; CAP = kapital / modal; LAB = tenaga
kerja; UHHD = rumah tangga perkotaan; RHHD = rumah tangga pedesaan; REP = hasil
simulasi; EXR = nilai tukar (domestic / foreign currency); PM = harga impor
(domestic currency); PE = harga ekspor (domestic currency); QM = kuantitas
impor; QE = quantitas ekspor; PQ = harga komoditas komposit; QQ = kuantitas
barang yang diproduksi secara domestik (composite
supply); PX = harga produsen; QX = kuantitas output domestik; QFS = jumlah
penawaran faktor produksi, diasumsikan jumlah kapital tetap (fixed); WFA =
harga dari faktor produksi (CAP, LAB) untuk aktifitas sektor tertentu (AGRI,
non agri) di dalam model CGE standard ini upah faktor produksi tenaga kerja di
asumsikan rigid hanya balas jasa kapital yang diizinkan untuk berubah; YF =
transfer pendapatan dari faktor produksi terhadap rumah tangga; EG =
pengeluaran pemerintah; YG = pendapatan pemerintah; QH = kuantitas komoditi
(Agri, non agri) yang dikonsumsi oleh rumah tangga; YH = pendapatan rumah
tangga; MPS = marginal (dan average) prospensity to save dari rumah tangga; GDPMP1 = GDP dari sisi
pengeluaran (berdasarkan harga pasar); PRVCON = konsumsi swasta; GOVCON =
konsumsi pemerintah; INVEST = investasi; EXP = ekspor barang dan jasa; IMP =
Impor barang dan jasa; GDPFC = GDP pada harga faktor produksi.
|
Blok
Sektor Produksi, Arus Perdagangan, dan Sistem Harga
|
|
Blok Supply dan Pendapatan Faktor Produksi, Serta Transfer terhadap Rumah Tangga
|
|
Blok kesejahteraan
rumah tangga dan institusi lainnya
|
No Color
|
Blok GDP dan faktor
penyusunnya (tidak termasuk ekspor impor)
|
Sumber : Perhitungan
Penulis
Simulasi
kebijakan peningkatan produktifitas (parameter efisiensi) pada sektor pertanian
memberikan dampak yang sangat baik (bahkan paling baik) bagi aktifitas produksi
dalam negeri. Kebijakan tersebut, kini, membuat sektor pertanian dapat
memproduksi lebih banyak barang dengan input yang sama. Hal tersebut membuat
harga-harga produk pertanian baik harga indeks komposit (PQ) maupun harga
produsen (PX) disertai dengan peningkatan kuantitas barang yang diproduksi.
Kebijakan tersebut bukan hanya mempengaruhi sektor pertanian saja, sektor
non-pertanian juga ikut terpengaruh olehnya. Karena produksi pertanian meningkat,
maka bahan baku permintaan antara untuk sektor non pertanian juga meningkat,
hal tersebut pada gilirannya akan meningkatkan juga output-output komoditas
non-pertanian. Hal yang berbeda adalah, karena efisiensi produksi sektor
non-pertanian tidak berubah, maka seiring meningkatnya permintaan antara dan
aktifitas produksi komoditas non-pertanian, harga-harga komoditas sektor itu
pun juga cenderung meningkat. Selain itu, bangkitnya aktifitas produksi dalam
negeri tersebut berhasil menurunkan harga ekspor produk pertanian (Karen
produksi yang semakin murah) dan harga impor produk non-pertanian yang juga
semakin murah (akibat apresiasi nilai tukar). Pada akhirnya, aktifitas produksi
domestic yang semakin efisien tersebut berhasil meningkatkan total volume
perdagangan dalam jumlah yang signifikan yaitu 68.1 persen untuk volume ekspor
dan 17.2 persen untuk volume impor.
Simulasi
kebijakan peningkatan investasi di sektor pertanian mempunyai efek yang
dilematis bagi pengambil kebijakan. Hal tersebut karena memang pada awalnya
investasi sektor pertanian yang meningkat akan menaikkan aktifitas produksi
pertanian, yaitu kuantitas dan harga produksi yang meningkat dari sebelumnya.
Namun setelah itu, terjadi kontraksi pada aktifitas produksi sektor non-pertanian
karena asumsi capital yang fixed dan activity-specific.
Kini untuk mengimbangi peningkatan investasi di sektor pertanian maka resources di sektor non-pertanian akan
beralih ke sektor pertanian. Hal ini menyebabkan transaksi input di sektor non
pertanian menurun dan permintaan antara untuk aktifitas non pertanian pun menurun[3]. Hal
tersebutlah yang paling tidak dapat menjelaskan terjadinya kontraksi pada
sektor non-pertanian. Kontraksi sektor non-pertanian tersebut dapat dilihat
dari presentase perubahan yang negatif pada indikator PQ, PX, QX, dan QQ.
Lesunya aktifitas non-pertanian menyebabkan permintaan barang-barang impor
non-pertanian pun menurun, sehingga menurunkan baik kuantitas barang non-pertanian
yang di impor maupun harga barang impornya itu sendiri. Apresiasi kurs
menyebabkan ekspor terperosok lebih jauh, sehingga tidak heran jika total
volume ekspor menurun sampai 3.25 persen dan volume impor menurun sampai hamper
1.5 persen akibat tipe kebijakan ini.
4.2. Dampaknya pada Blok Supply dan Pendapatan Faktor
Produksi,
Serta Transfer terhadap Rumah Tangga
Aktifitas
produksi di dalam perekonomian memberikan nuansa terhadap sistem faktor
produksinya. Kebijakan proteksionisme
subsidi ekspor dan tariff impor pada akhirnya akan memberikan dampak yang negatif
bagi sistem faktor produksi. Aktifitas produksi dalam negeri yang lesu
akibat proteksi kebijakan tersebut, termanifestasikan ke dalam penurunan yang
cukup signifikan dari indikator harga faktor produksi, supplai faktor produksi,
bahkan juga transfer dari faktor produksi ke rumah tangga. Penurunan penawaran
tenaga kerja pada simulasi kebijakan A1 dan A2 terjadi karena aktifitas
produksi domestik yang lesu serta volume perdagangan yang menurun. Asumsi dasar
pada model CGE ini adalah supply kapital jumlahnya tetap namun harganya boleh
berubah, sedangkan upah tenaga kerja diasumsikan kaku namun supply nya boleh
berubah. Asumsi tersebut menyebabkan tidak berubahnya supply kapital dan upah
tenaga kerja, namun penurunan aktifitas produksi tersebut terekam dalam
penurunan harga kapital yang cukup signifikan. Harga kapital sektor pertanian
dalam konteks ini merupakan jenis kapital yang paling besar merasakan penurunan
harga. Kebijakan subsidi ekspor menyebabkan penurunan harga kapital yang lebih
besar daripada kebijakan proteksi melalui tariff impor. Penurunan harga input
dan penawaran input tersebut pada akhirnya berdampak juga pada penurunan
transfer pendapatan faktor produksi terhadap rumah tangga. Penurunan yang
terbesar terjadi pada transfer pendapatan tenaga kerja ke rumah tangga, baik
pedesaan maupun perkotaan. Hal ini terjadi karena aktifitas sektor pertanian
mempunyai karakteristik labor intensive
di dalam model CGE ini. Hal ini juga relevan pada tipe kebijakan peningkatan
tariff impor untuk produk non pertanian, karena pada akhirnya sektor pertanian
juga terkena dampak negatifnya.
Sebaliknya,
kebijakan stimulus perpajakan untuk komoditas pertanian, peningkatan parameter
efisiensi aktifitas pertanian, dan peningkatan investasi untuk sektor pertanian
berdampak positif terhadap faktor produksi. Secara umum, ketiga kebijakan
tersebut membawa perubahan yang positif baik dari indikator jumlah penawaran
tenaga kerja, harga kapital, dan transfer dari faktor produksi ke rumah tangga.
Peningkatan harga faktor produksi, penawaran tenaga kerja dan transfer yang
terbesar adalah yang berasal dari tipe kebijakan peningkatan efisiensi produksi
sektor pertanian. Ketiga tipe kebijakan tersebut membawa dampak positif bagi
transfer faktor kepada rumah tangga, khususnya transfer pendapatan tenaga kerja
ke rumah tangga. Hanya tipe kebijakan B1 lah yang ternyata dampaknya bias
terhadap kapital (lebih menguntungkan faktor produksi kapital), hal tersebut
dikarenakan kekauan upah di dalam perekonomian. Penurunan harga kapital hanya
terdeteksi pada dampak kebijakan simulasi B2 di sektor non pertanian. Alasan
mengapa kebijakan peningkatan investasi di sektor pertanian menyebabkan harga
kapital sektor non pertanian menurun adalah terjadinya kontraksi pada sektor
non-pertanian akibat kebijakan tersebut. Meningkatnya aktifitas pertanian
menyebabkan aktifitas non-pertanian menjadi tidak menarik lagi (permintaan
komoditas non-pertanian menurun), sehingga menurunkan harga kapital di sektor
tersebut. Tetapi secara keseluruhan, tipe kebijakan ini masih dapat
meningkatkan transfer pendapatan faktor produksi ke rumah tangga, walaupun
dalam jumlah yang tidak sebesar dua tipe kebijakan lainnya.
4.3. Dampaknya pada Blok
Kesejahteraan Rumah Tangga dan Institusi Lainnya serta pada Blok GDP dan Faktor
Penyusunnya
Lesunya
aktfitas produksi domestik dan menurunnya pendapatan faktor produksi karena
penerapan kebijakan proteksionisme tipe A1 dan A2 menyebabkan pendapatan dan
kesejahteraan rumah tangga secara keseluruhan pun menurun. Dari kesemuanya itu,
tipe rumah tangga yang paling terpukul karena kebijakan proteksionisme tersebut
adalah rumah tangga di pedesaan. Karena kebijakan subsidi ekspor, pendapatan
rumah tangga pedesaan turun sebesar 7.7 persen, sedangkan di perkotaan hanya
turun sebesar 6 persen. Bias seperti ini juga terjadi pada proteksionisme yang
bersumber dari peningkatan tariff impor. Rumah tangga pedesaan merupakan rumah
tangga yang kesejahteraannya menurun paling tajam karena karakteristik pola
menabungnya yang kaku. Masyarakat perkotaan bisa mengatur-atur pola tabungannya
jika terjadi shock pada pendapatannya, jadi dampak yang dirasakan tidak terlalu
besar. Subsidi ekspor menyebabkan rumah tangga perkotaan lebih suka menabung
dari pada sebelumnya, sedangkan tariff impor menyebabkan rumah tangga perkotaan
lebih gemar membelanjakan uangnya. Hal tersebut dapat dimengerti karena tariff
impor membuat harga-harga domestik menjadi lebih mahal, demi meminimumkan
dampak negatif tersebut, serta tetap bisa mengkonsumsi komoditas-komoditas
untuk keberlangsungan hidupnya, maka masyarakat perkotaan tertuntut untuk
meningkatkan kecenderungan tingkat belanjanya. Di lain sisi, kebijakan subsidi
ekspor dapat menyebabkan masyarakat kota lebih gemar menabung karena masyarakat
memandang subsidi tersebut sebagai windfall profit yang layak untuk ditabung.
Selain itu, kuantitas konsumsi barang yang menurun secara besar-besaran
tersebut secara relatif membuat tingkat tabungan menjadi lebih tinggi. Dari
sisi institusi pemerintah, kebijakan peningkatan tariff impor dapat
meningkatkat tabungan publik (YG – EG) pada tingkat yang lebih tinggi dari
kebijakan subsidi ekspor, karena kebijakan tersebut akan menambah pendapatan
pemerintah dalam jumlah yang lebih besar.
Ketiga
tipe kebijakan A3, B1, dan B2 menghasilkan dampak yang positif terhadap
kesejahteraan dan pendapatan rumah tangga. Secara umum, peningkatan pendapatan
rumah tangga yang terbesar terjadi pada rumah tangga di pedesaan. Jika dilihat
secara lebih teliti, peningkatan pendapatan dan konsumsi komoditas terbesar
berasal dari kebijakan peningkatan efisiensi produksi sektor pertanian. Dari
kebijakan tersebut, pendapatan rumah tangga pedesaan meningkat sebesar 17.4
persen dan kuantitas konsumsi rumah tangga perkotaan terhadap barang pertanian
meningkat hamper sebesar 58 persen. Kebijakan peningkatan investasi di sektor
pertanian, walaupun menyebabkan transfer dari faktor ke rumah tangga dan
pendapatan rumah tangga itu sendiri meningkat, hasil simulasi menunjukkan bahwa
kuantitas konsumsi rumah tangga menurun. Hal ini terjadi karena kebijakan
tersebut mendorong rumah tangga untuk lebih meningkatkan tabungannya dari pada
mengkonsumsinya, agar bisa berinvestasi lagi kedepannya. Kekayaan rumah tangga
yang meningkat akibat kebijakan tersebut dimanifestasikna dalam bentuk tabungan
yang lebih tinggi. Kuantitas konsumsi rumah tangga pedesaan tidak terlalu
menurun drastis dan bahkan meningkat, dikarenakan pola tingkat tabungannya yang
cenderung kaku.
Sebagai
konsekuensi kebijakan-kebijakan tersebut terhadap sistem produksi, faktor
produksi, dan kesejahteraan rumah tangga, dapat dianalisis bahwa kebijakan
proteksionisme dapat menurunkan GDP (baik pada harga pasar maupun harga
faktor), kecuali untuk kebijakan stimulus perpajakan domestik. Sedangkan tipe efficiency-driven policy menghasilkan
pertumbuhan yang positif untuk GDP. Peningkatan GDP tertinggi tercipta karena
shock positif pada produktifitas pertanian. Sedangkan penurunan paling dalam
tercipta dari peningkatan subsidi ekspor. Konsumsi swasta pun pada akhirnya
bergerak searah dengan pergerakan GDP, kecuali pada kebijakan investasi sektor
pertanian. Peningkatan GDP di sektor tersebut paling utama disumbangkan oleh
peningkatan investasi. Konsumsi swasta malah menurun volumenya akibat
kecenderungan menabung masyarakatnya yang lebih tinggi.
BAB
V
PENUTUP
Kesimpulan
Secara umum, tiga kebijakan yang paling besar dampaknya dalam
peningkatan kesejahteraan masyarakat adalah kebijakan peningkatan produktifitas pertanian, subsidi atau
pengurangan pajak penjualan terhadap produk pertanian, serta peningkatan
investasi pada komoditas pertanian. Kebijakan proteksi perdagangan luar negeri
terbukti sama sekali tidak menguntungkan bagi kesejahteraan tumah tangga,
bahkan terbukti mencederai produksi domestiknya sendiri. Dampak negatif pada kebijakan proteksionisme
khususnya yang berorientasi pada subsidi ekspor produk pertanian dan tariff
impor produk non-pertanian, secara umum berpangkal pada lesunya aktifitas dan
produksi domestik akibat mahalnya bahan baku yang tercipta akibat distorsi
pasar. Sedangkan dampak positif dari shock pada produktifitas pertanian banyak
bersumber pada semakin efisiennya proses produksi sehingga meningkatkan
aktifitas domestik dan volume perdagangan luar negeri.
Sebagai
konsekuensi kebijakan-kebijakan tersebut terhadap sistem produksi, faktor
produksi, dan kesejahteraan rumah tangga, dapat disimpulkan bahwa kebijakan
proteksionisme dapat menurunkan GDP (baik pada harga pasar maupun harga
faktor), kecuali untuk kebijakan stimulus perpajakan domestik. Sedangkan tipe efficiency-driven policy menghasilkan
pertumbuhan yang positif untuk GDP. Peningkatan (penurunan) GDP pada setiap
tipe kebijakan, secara umum, banyak disumbang oleh peningkatan (penurunan)
konsumsi swasta serta volume perdagangan luar negeri. Sedangkan, peningkatan
GDP pada kebijakan investasi sektor pertanian banyak disumbang oleh peningkatan
volume investasi domestik, bukan oleh konsumsi swasta dan volume perdagangan.
Implikasi Kebijakan dan Saran
Berdasarkan
hasil permodelan menggunakan analisis CGE, penulis menyarankan para pengambil
kebijakan unuk memprioritaskan kebijakan yang mengedepankan peningkatan
produktifitas pertanian, insentif pajak produk pertanian, serta investasi di
sektor pertanian. Jika ingin mendorong pertumbuhan dengan mengandalkan
investasi domestik maka investasi di sektor pertanian layak menjadi prioritas.
Jika ingin meningkatkan aktifitas produksi domestik dengan lebih masif, maka
kebijakan yang berupaya untuk meningkatkan produktifitas dan efisiensi sektor
pertanian merupakan pilihan yang terbaik. Namun, jika kebijakan peningkatan
produktifitas tersebut sangat sulit di raih pada tahap awal pembangunan, maka
pilihan kebijakan yang rasional adalah memberikan insentif perpajakan bagi
produk-produk pertanian. Berdasarkan penelitian ini, dalam justifikasi apapun,
penulis tidak menyarankan para pengambil kebijakan untuk memproteksi dirinya
dari arus perdagangan luar negeri dalam bentuk apapun.
Dalam
rangka memperbaiki kualitas penelitian dan hasil analisis, penelitian yang
sejenis kedepannya diharapkan dapat mengadopsi model yang lebih flexible dengan
mengintroduksi flexibilitas pasar faktor produksi yang lebih luas juga
melepaskan asumsi rigiditas pada tabungan luar negeri.
DAFTAR
PUSTAKA
ADB, SEAMEO SEARCA, Crescent, CASER and Ministry
of Agriculture RI, 2005. Agricultural And
Rural Development Study. Volume II, ADB TA NO.3843-INO, Jakarta.
Anderson, K. dan E. Valenzuela. 2008. Estimates of Global Distortion to
Agricultural Incentive. World Bank, Washington D.C., October 2008.
Arrow, K. J. dan
Debreu. 1954. Existence of Equilibrium for a Competitive Economy. Econometrica.
22:265-90.
Cervantes-Godoy, D. dan J. Dewbre. 2010. Economic Importance of Agriculture for
Poverty Reduction. OECD Food, Agriculture, and Fisheries Working Paper, No.
23, OECD Publishing
Darsono, 2008, Peran Investasi dalam Kinerja
Pertumbuhan Sektor Pertanian Indonesia, Jurnal Agribisnis dan Industri
Pertanian, vol 7 no. 3, Oktober 2008
Glyn. W. 2002. WAYANG:
a general equilibrium model adapted for the Indonesian economy. Centre for
International Economic Studies, School of Economics, The University of
Adelaide. Adelaide.
Haryono, Dwi, 2008. Dampak Industrialisasi
Pertanian Terhadap Kinerja Sektor Pertanian dan Kemiskinan Perdesaan : Model
CGE Recursive Dynamic.
Horison, J. 1997. GEMPACK User Documentation.
Volumes 1 and 2 (GPD-1, GPD2, GPD3), 2nd edition, IMPACT Project, Monash
University , Melbourne.
Just, R.E., Hueth, dan Schmitz. 1982. Applied
Welfare Economics and Public Policy, Prentice-Hall, Inc. New Jersy.
Lofgren, H., R. Lee Harris., dan S. Robinson.
2002, A Standard Computable General
Equilibrium (CGE) Model in Gams. IFPRI : Washington. D.C.
Meijerink, G. dan P. Roza. 2007. The role of agriculture in development. Markets,
Chain, and Sustainable Development Strategy and Policy Paper, No. 5.
Naoi, M. dan I. Kume. 2010. Explaining Mass
Support for Agricultural Protectionism : Evidence from a Survey Experiment
During the Global Recession. Paper prepared for a Conference on Politics in the
New Hard Times in Honor of Peter Gourevitch, April 2010.
Oktaviani, Rina, 2008. Model Ekonommi
Keseimbangan Umum : Teori dan Aplikasinya di Indonesia, Fakultas Ekonomi dan
Manajemen, Institut Pertanian Bogor.
Oktaviani, Puspitawati, dan Novianti, 2006.
Dampak Ekonomi Penurunan Dukungan Domestik Produk Pertanian Negara Maju dan
Peluangnya Bagi Indonesia. Jurnal Manajemen dan Bisnis
Salahudin, 1994. Model Computable General
Equilibrium (CGE) Pendekatan Matematik Dan Aplikasi Model CGE Indonesia.
Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Pertanian Bogor.
Sugiyono, Agus, 2009. Dampak Kebijakan Energi
Terhadap Perekonomian Di Indonesia: Model Komputasi Keseimbangan Umum.
Prosiding Kolokium Nasional Program Doktor, Program Doktor Ilmu-ilmu Ekonomika
dan Bisnis, Yogyakarta, 11-12 Desember 2012.
Tambunan, Tulus, 2010. Dampak dari Liberalisasi
Perdagangan Pertanian Indonesia-China Terhadap Produksi dan Ekspor Pertanian di
Indonesia : Suatu Penelitian dengan Pendekatan Simulasi. Fakultas Ekonomi,
Universitas Trisakti, Jakarta.
[1]
Hal tersebut terjadi karena di dalam rantai proses produksi domestik terdapat
beberapa bagian permintaan antara yang juga bersumber dari impor, atau dengan
kata lain bahan baku yang bersumber impor.
[2]
Efeknya sama dengan peningkatan permintaan pasar atau pergeseran kurva
permintaan pasar ke arah yang lebih tinggi, yaitu harga-harga naik dan diiringi oleh
peningkatan kuantitas produksi juga.
[3] Tenaga
kerja sektor pertanian menurun hamper 2 persen; kuantitas komoditas pertanian
untuk aktifitas produksi non-pertanian menurun hamper sebesar 1 persen; dan
kuantitas komoditas non-pertanian untuk aktifitas produksi non-pertanian juga
tentunya turun, yaitu sebesar hamper 1 persen juga
Tidak ada komentar:
Posting Komentar