PENDAHULUAN
Indonesia merupakan salah satu dari sedikit negara yang telah berhasil menjaga
kondusifitas perekonomian makronya, bahkan pada saat ketidakpastian global
seperti sekarang ini. Di tengah permintaan global yang terus menurun akibat
tidak kunjung usainya krisis utang Eropa (EU
Zone Sovereign Debt Crisis) serta masih belum pulihnya perekonomian Amerika
Serikat (AS) semenjak Sub-prime Mortgage
crisis, Indonesia secara mengesankan berhasil membawa perekonomian
domestiknya tetap tumbuh di level 6.54 persen di kuartal ketiga tahun 2011 (year-on-year) serta diimbangi dengan tingkat inflasi yang terjaga
di poin 4.15 persen (year-on-year
kuartal III)[1].
Hal tersebut merupakan pencapaian yang baik mengingat tidak semua negara berhasil menjaga ketahanan
perekonomian makronya di tengah gejolak global seperti ini. Bahkan di saat
krisis finansial
global di tahun 2008, Indonesia adalah salah satu dari tiga negara (selain China dan India) yang tetap
mencatatkan pertumbuhan ekonomi yang positif di saat semua negara disulitkan oleh pelemahan sektor riil
yang cukup dalam.
Walaupun negara
yang mengandalkan sekitar 65 persen perekonomiannya dari sisi konsumsi ini[2] berhasil selamat dan
mempertahankan kondisi makro perekonomiannya tetap stabil di tengah gejolak
global, Indonesia ternyata tidak bisa menjaga momentum[3] pertumbuhan ekonominya
dengan cukup baik. Hal tersebut terlihat dari turunnya ranking
Indonesia dalam dua index pemeringkat utama di dunia yang menggambarkan tentang
kemudahan menjalankan bisnis (Doing
Business Index) dan tingkat daya saing di suatu negara (Global Competitiveness Index). Peringkat
Indonesia dalam Doing Business index 2011-2012
turun 3 poin menjadi peringkat ke-129 (dari 183 negara), sedangkan di dalam Global Competitiveness Index (GCI)
peringkat Indonesia turun 2 poin menjadi peringkat ke 46 (dari 142 negara). Di
dalam peringkat Doing Business, isu
yang menyumbang rendahnya ranking
Indonesia adalah permasalahan susahnya mendapatkan akses listrik, pengawasan
kontrak, lamanya prosedur memulai bisnis, dan susahnya akses terhadap kredit.
Meski demikian, di dalam GCI Indonesia memiliki peringkat yang cukup baik.
Pencapaian tersebut banyak disumbang oleh keberhasilan pemerintahan Indonesia
dalam menjaga Macroeconomic Environment[4]
tetap kondusif melalui usaha-usaha menekan tingkat utang relatif terhadap GDP,
menjaga tingkat inflasi, serta terus berusaha membuat kebijakan-kebijakan yang
pro terhadap perbaikan makroekonomi[5]. Di lain pihak,
indikator-indikator seperti infrastruktur, kualitas institusi, kesehatan dan
pendidikan, efisiensi tenaga kerja, ketersediaan teknologi, serta perkembangan
pasar finansial
memiliki nilai yang tidak terlalu baik sehingga menyumbang pelemahan ranking bagi overall score GCI di Indonesia (World Bank 2012 dan Schwab 2011)[6].
Berdasarkan keadaan tersebut, paling tidak terdapat dua
permasalahan utama yang dapat menghambat produktifitas sektor riil di
Indonesia, yaitu : buruknya infrastruktur
dan sulitnya akses terhadap pasar
keuangan. Kedua masalah tersebut dipandang sebagai dua dari beberapa
masalah utama yang paling menyulitkan dalam menjalankan bisnis (Schwab 2011).
Infrastruktur dan akses permodalan, tidak dipungkiri lagi, merupakan “mata
rantai” yang paling esensial di dalam pembangunan ekonomi. Infrastruktur yang
buruk, baik dari sisi kualitas maupun ketersediaannya, dapat menghambat
kelancaran arus barang dan jasa di dalam perekonomian. Terbatasnya akses
terhadap permodalan[7]
juga tidak baik bagi pembangunan, karena dapat menghambat pertumbuhan dan
ekspansi sektor riil dalam jangka panjang. Jika tidak ditangani secara serius,
momentum pertumbuhan ekonomi yang tinggi tersebut tidak akan membawa dampak
yang maksimal dan inklusif bagi perekonomian secara keseluruhan.
Hal-hal tersebut diatas mengindikasikan bahwa penanganan
yang serius dalam memperbaiki masalah-masalah seperti keterbatasan terhadap
akses pasar finansial serta buruknya
kualitas dan suplai
infrastruktur akan membawa perubahan yang masif terhadap perekonomian secara
keseluruhan. Dengan kata lain, injeksi dana yang ditujukan untuk memperbaiki
dan menambah infrastruktur serta meningkatkan akses masyarakat terhadap pasar
keuangan akan membawa dampak ekonomi yang luas bagi Indonesia. Mengingat
keterbatasan sumberdaya di dalam perekonomian, maka diperlukan suatu analisis
yang komprehensif tentang alokasi seperti apakah yang membawa dampak terbesar
dan terbaik bagi perekonomian atau paling tidak bagi subjek yang ditetapkan dalam
tujuan perencanaan pembangunan[8]. Hal tersebut mendasari
penulis untuk menganalisa dampak perekonomian secara luas seperti apakah yang
akan terjadi apabila injeksi dana dilakukan dalam rangka membenahi
infrastruktur dan meningkatkan akses masyarakat terhadap pasar finansial.
Analisa ini kemudian akan diperkuat oleh analisis jalur struktural (Structural
Path Analysis) yang mampu mengungkapkan jalur-jalur utama sebuah shock kebijakan di dalam perekonomian.
Dengan analisa-analisa tersebut diharapkan pembuat kebijakan dapat memilih
secara lebih presisi terkait kebijakan apa yang akan diprioritaskan atau
alokasi kebijakan seperti apakah yang akan dilakukan untuk meningkatkan
performa perekonomian nasional ke arah yang lebih baik dan produktif.
TINJAUAN
PUSTAKA
Literature Review
Pada
bagian ini akan disampaikan beberapa hasil penelitian yang telah dilakukan
terkait dengan dampak perubahan faktor infrastruktur (harga listrik, energi)
terhadap masyarakat dan perekonomian secara umum. Seperti
hasil analisa Tribuana (2007) dalam “Rasionalisasi Tarif Listrik”,
menemukan bahwa dampak kenaikan TDL terhadap kemakmuran relatif kecil. Kenaikan
TDL sebesar 30 persen
menyebabkan penurunan surplus konsumen sebesar 0,3% dari belanja bulanan rumah
tangga. Kalangan rumah tangga yang paling miskin tidaklah mempunyai kemampuan
untuk menikmati listrik; suatu rumah tangga haruslah cukup makmur untuk dapat
membayar biaya penyambungan sebesar Rp 200.000 pada tahap awal.
Selain itu juga Makmun dan Abdurahman (2003) turut menulis “Dampak Kenaikan Tarif Dasar
Listrik Terhadap Konsumsi Listrik dan Pendapatan Masyarakat” dimana mereka
menemukan bahwa tingkat pendapatan berkorelasi positif dengan konsumsi listrik baik dari sisi nilai
pengeluaran maupun tingkat konsumsi listrik per Kwh-nya. Hal ini ditunjukkan
dengan tingkat elastisitas pendapatan ter-hadap penggunaan listrik untuk
konsumsi listrik di dengan daya 450 VA pada rumah tangga yang mencapai 0,53
maupun elastisitas pendapatan terhadap pengeluaran listrik untuk konsumsi
listrik mencapai 0,55.
Kedua, kenaikan TDL ternyata
membawa dampak yang negatif terhadap pendapatan riil masyarakat. Setiap upaya
liberalisasi harga listrik untuk masyarakat golongan bawah sebanyak 10 persen,
menyebabkan income riil rumah tangga
buruh tani turun sekitar 1,47 persen dan rumah tangga non pertanian golongan
bawah turun 3,47 persen.
Ketiga,
secara
sektoral, dampak kenaikan
harga listrik menyebabkan permintaan terhadap sektor industri makanan akan
berkurang sebesar 3,15 persen, sektor pertanian tanaman pangan (1,44 persen),
dan sektor perdagangan (1,07 persen). Dampak terhadap sektoral tersebut akan
mengurangi nilai balas jasa faktor produksi menyebabkan penerimaan para pemilik
modal bisa berkurang sampai 3,52 persen. Dan kelompok tenaga kerja tata usaha jasa
yang paling besar penurunan balas jasanya, yaitu sebesar 1,46 persen.
Keempat,
pada
akhirnya, kenaikan tarif listrik akan mengurangi pendapatan institusi. Kelompok
masyarakat yang paling banyak mengalami penurunan income riil adalah rumah tangga bukan pertanian golongan bawah,
yang turun income riilnya sampai 5,26 persen. Sedangkan pengurangan balas jasa
yang diterima perusahaan sekitar 1,46 persen.
Dalam penelitian yang lain terkait Dampak
Kebijakan Energi terhadap Perekonomian di Indonesia oleh Sugiyono (2009) ditemukan bahwa energi memiliki peranan penting
dalam perekonomian Indonesia. Peningkatan pertumbuhan akan turut meningkatkan
permintaan akan energi. Sehingga untuk menjawab hal tersebut, pembangunan
kebutuhan energi baik yang berasal dari fosil maupun energi terbarukan menjadi
sebuah hal yang sangat di butuhkan Indonesia. Dalam penelitian ini,
memperlihatkan besarnya peranan sektor energi bagi peningkatan pertumbuhan
ekonomi Indonesia. untuk itu kebijakan pemerintah yang tepat terhadap penggunaan
energi menjadi sebuah hal yang dibutuhkan. Dibeberapa negara banyak ditemukan
kebijakan energi yang kurang berhasil. Hal ini dikarenakan kurang efisiennya
penggunaan energi dalam perekonomian sebuah negara, sehingga energi yang
digunakan tidak banyak memberikan nilai tambah terhadap pembangunan
perekonomiannya secara nyata.
Permasalahan yang dikemukakan dalam penelitian
yang dilakukan oleh Agus Sugiyono, mengemukakan kebijakan energi yang
dikeluarkan pemerintah melalui KEN (Kebijakan Energi Nasional) yaitu
diversifikasi energi nasional. KEN bermaksud untuk mengurangi penggunaan energi
yang berasal dari minyak bumi, dan mengalihkannya dengan memperbanyak
penggunaan energi yang berasal dari
batubara, gas bumi dan energi terbaharukan. Ketiga sumber energi ini (batubara, gas dan
energi terbarukan) merupakan subtitusi dari minyak bumi. Dalam analisa ini,
Agus Sugiyono menganalisa dampak kebijakan energi pemerintah yang dituangkan
dalam KEN dengan melihat mekanisme subtitusi antar energi tersebut. Pemerintah melakukan mekanisme
subtitusi tersebut dilakukan melalui kebijakan harga energi dan pemberian
insentif untuk pengembangan sumber energi yang masih kurang ekonomis.
Penelitian ini menggunakan model CGE untuk
menganalisis interaksi kebijakan energi dengan perekonomian. Namun sangat
disayangkan penelitian ini belum memberikan hasil dan masih dalam taraf
pengembangan model CGE untuk energi. Namun dalam laporan penelitian ini, Agus
Sugiyono menampilkan hasil perhitungan I-O dari sektor energi yang memberikan
kesimpulan awal yaitu bahwa sektor energi fosil hanya memberikan kontribusi
yang kecil terhadap pertumbuhan sektor lainnya. Besaran dari efek pengali
output dari sektor minyak bumi dan gas bumi lebih kecil dari sektor batubara.
Sektor energi fosil ini kontribusinya kecil karena sebagian besar dari hasil
sektor ini untuk kepentingan ekspor sehingga tidak banyak mempengaruhi
pertumbuhan dari sektor lainnya. Berbeda dengan sektor energi listrik dan gas
yang mempunyai besaran efek pengali yang besar sehingga memegang peranan
penting dalam perkembangan dari sektor-sektor lainnya.
Metode Analisis SAM
Metode Social Accounting Matrix (SAM) merupakan perluasan dari metode I-O model
dimana Model SAM memiliki sumber data yang terdiri dari tabel I-O, statistik
pendapatan nasional, statistik pendapatan dan pengeluaran rumah tangga yang
bisa didapatkan dari survei konsumsi yang dilakukan oleh Badan Pusat Statistik
(BPS). SAM merupakan suatu kerangka data yang disusun dalam bentuk matriks yang
merangkum berbagai variabel ekonomi dan sosial secara kompak dan terintegrasi
sehingga dapat memberikan gambaran umum mengenai perekonomian suatu negara
(wilayah) dan keterkaitan antar variabel-variabel ekonomi dan sosial pada suatu
kurun waktu tertentu. SAM juga merupakan suatu sistem akuntansi dimana
variabel-variabel ekonomi dan sosial disusun dalam bentuk neraca-neraca yang
mempunyai sisi debet dan sisi kredit dan kedua sisi tersebut selalu berada dalam keadaan seimbang (balance).
Penggunaan
Social Accounting Matrix (SAM), sebagai jaringan sistem data general equilibrium meliputi aktivitas
produksi, faktor produksi, dan institusi (perusahaan dan rumah tangga) serta
transaksi-transaksi lain, telah meningkat selama beberapa tahun terakhir. Penyusunan
kerangka SAM dalam menjelaskan hubungan ekonomi dan sosial masyarakat dimulai
dari kenyataan bahwa masyarakat mempunyai kebutuhan dasar (basic needs and
wants) yang harus dipenuhi melalui pembelian sejumlah komoditas. Total
permintaan efektif terhadap paket komoditas tersebut kemudian dipenuhi oleh
sektor-sektor produksi yang menghasilkan berbagai output atau produk. Untuk
dapat menghasilkan output tersebut, sektor produksi membutuhkan
faktor-faktor produksi, seperti tenaga kerja, modal dan sebagainya. Permintaan
turunan (derived demand) terhadap faktor produksi tenaga kerja
memberikan balas jasa berupa upah dan gaji; sedangkan terhadap faktor produksi
modal memberikan balas jasa berupa keuntungan, dividen, bunga, sewa rumah, dan
sebagainya (disebut juga sebagai pendapatan kapital). Distribusi pendapatan
yang diterima masing-masing faktor produksi dan dirinci menurut sektor ekonomi
yang menghasilkan disebut sebagai distribusi pendapatan faktorial. Jumlah upah
dan gaji ditambah dengan pendapatan kapital akan menghasilkan nilai tambah (value
added); dan total nilai tambah tersebut dikenal sebagai PDB atau PDRB
(lihat bagan 1). Sehingga dalam kerangka model SAM kita dapat melihat
keterkaitan antara tiga proses dalam perekonomian yaitu: (1) Struktur Produksi;
(2) Distribusi nilai tambah yang dihasilkan oleh sektor produksi (distribusi
pendapatan faktorial); dan (3) Pendapatan konsumsi, tabungan, dan investasi
(distribusi pendapatan dan pengeluaran rumah tangga).
Gambar 1. Aliran Penerimaan pada Social Accounting Matrix
Sumber: Bahan
Kuliah Applied Economic Modeling,
Pasca FEUI (2011)
Bentuk Kerangka SAM
Matriks
SAM merupakan matriks 4x4 yang terdiri dari terdiri dari baris dan kolom dimana
baik baris dan kolom terdiri dari empat neraca utama yaitu 1) neraca faktor
produksi; 2) neraca institusi; 3)neraca sektor produksi;dan 4) neraca
rest of the world. Baris pada matriks SAM menggambarkan
pendapatan dari ke-empat neraca. Sedangkan kolom menggambarkan pengeluaran. Neraca
faktor produksi pada baris merupakan neraca yang berkaitan dengan alokasi nilai
tambah sektor produksi kepada faktor produksi seperti balas jasa terhadap
tenaga kerja dan modal. Pendapatan dari neraca faktor produksi ini juga
meliputi pendapatan faktor-faktor produksi yang digunakan diluar negeri (misal:
transfer payment). Sedangkan pada
sisi pengeluaran (kolom) menggambarkan aktivitas transaksi alokasi pendapatan
faktor produksi terhadap institusi, seperti upah buruh yang ditransfer kepada
rumah tangga, pembayaran pajak pendapatan kepada pemerintah dan sebagainya. Kolom
neraca aktivitas (pengeluaran aktivitas) meliputi pengeluaran untuk impor,
biaya-biaya dari jasa perdagangan, dan pembayaran pajak tidak langsung.
Neraca
institusi dibagi kedalam tiga neraca yang terdiri dari neraca rumah tangga,
neraca perusahaan dan neraca pemerintah. Neraca baris rumah tangga meliputi
penerimaan atas kompensasi tenaga kerja, keuntungan atas modal, transfer antar
rumah tangga, penerimaan transfer dari perusahaan, transfer dari pemerintah dan
transfer dari luar negeri. Untuk neraca
kolom rumah tangga terdiri dari pengeluaran konsumsi, transfer antar rumah
tangga, transfer kepada perusahaan, pembayaran pajak langsung, dan tabungan
pada neraca modal.
Tabel 1. Skema Social
Accounting Matrix
Penerimaan Þ
|
|||||
Pengeluaran
ß
|
Faktor Produksi
|
Institusi
|
Sektor produksi
|
Neraca lainnya (Neraca Eksogen)
|
Total
|
Faktor Produksi
|
T11
0
|
T12
0
|
T13
Alokasi Nilai Tambah ke Faktor Produksi
|
X14
Pendapatan Faktor Produksi dari Luar Negeri
|
Y1
Distribusi Pendapatan Faktorial
|
Institusi
|
T21
Alokasi Pendapatan Faktor Produksi ke Institusi
|
T22
Transfer Antar Institusi
|
T23
0
|
X24
Transfer dari Luar Negeri
|
Y2
Distribusi Pendapatan Institusi
|
Sektor Produksi
|
T31
0
|
T32
Permintaan Akhir
|
T33
Permintaan Antara
|
X34
Ekspor dan Investasi
|
Y3
Total Output Produksi
|
Neraca lainnya (Neraca Eksogen)
|
X41
Alokai Pendapatan Faktor Produksi ke Luar Negeri
|
X42
Tabungan
|
X43
Impor, Pajak Tidak Langsung Neto
|
X44
Transfer dan Neraca lainnya
|
Y4
Total Penerimaan Lainnya
|
Total
|
Y’1
Distribusi Pengeluaran Faktorial
|
Y’2
Distribusi Pengeluaran Institusi
|
Y’3
Total input
|
Y’4
Total Pengeluaran Lainnya
|
Sedangkan
neraca baris perusahaan meliputi laba ditahan, transfer dari rumah tangga, dan
transfer dari pemerintah. Di sisi
kolom, neraca perusahaan terdiri dari transfer kepada rumah tangga, pembayaran
pajak, dan tabungan pada
neraca kapital. Neraca pemerintah disisi baris menggambarkan penerimaan
pemerintah dari pajak dan bukan pajak. Sedangkan pengeluaran (sisi kolom)
merupakan pengeluaran pemerintah dalam bentuk subsidi, transfer kepada rumah
tangga dan perusahaan, belanja barang dan jasa, serta tabungan pemerintah. Sedangkan
neraca faktor produksi menggambarkan final
demand di dalam negeri, permintaan antara dan ekspor dan investasi (lihat
tabel 1).
Dengan
mengacu pada tabel 1, maka dapat dirumuskan persamaan matriks pendapatan dan
pengeluaran neraca agregat sebagai berikut:
...............................................................................................................................(1)
Dimana Y merupakan total pendapatan
neraca endogen (T) dan neraca eksogen (X)
........................................................................................................................(2)
.............................................................................................................(3)
.............................................................................................................(4)
..................................................................................................(5)
Dimana:
Yi = total pendapatan
Tij = pendapatan dari
neraca endogen
Xij = Pendapatan dari
neraca eksogen
Persamaan-persamaan ini menunjukkan
baris didalam neraca SAM, persamaan 2 menunjukkan total pendapatan dari faktor
produksi. Seterusnya diikuti oleh persamaan yang menunjukkan pendapatan
institusi, total pendapatan sektor produksi dan pendapatan lainnya.
Analisa Dampak SAM
Dari
kerangka SAM dapat dicari besaran pengeluaran rata-rata (average expenditure
propensity) yang nantinya dimanfaatkan untuk menyusun kerangka matriks
analisis accounting multiplier. Besaran ini dapat dicari dengan membagi
masing-masing isian (entry) dari setiap neraca terhadap nilai total
keseluruhan, yaitu:
...................................................................................................................(6)
di
mana
Aij = kecenderungan pengeluaran rata-rata (average
expenditure propensity) baris ke-I, kolom
ke-j
Tij = neraca baris ke-I; kolom ke-j
tj-1 = total kolom ke-j
Dengan
menggunakan persamaan diatas, maka tabel 1 dapat dituliskan dalam bentuk matriks
sebagai berikut:
t1
|
0 0 A1.3
|
t1
|
X1
|
|||
t2
|
=
|
A2.1 A2.2 0
|
t2
|
+
|
X2
|
|
t3
|
0 A3.2 A3.3
|
t3
|
X3
|
|||
t44
|
0
A4.2 A4.3
|
X4
|
Dengan
Xi merupakan vektor dari matriks T1.4 untuk masing-masing i = 1, 2,
3, 4. Karena Ai.j merupakan suatu matriks dengan unsur-unsurnya yang
konstan, maka matriks T dengan unsur-unsurnya yang konstan, maka persamaan matriks
tersebut dapat ditulis sebagai berikut:
T1
|
0 0 A1.3
|
t1
|
X1
|
|||
T2
|
=
|
A2.1 A2.2 0
|
t2
|
+
|
X2
|
|
T3
|
0 A3.2 A3.3
|
t3
|
X3
|
dan t4 = A4.2
t2 + A4.3 t3 + X4
Dari
persamaan matriks diatas dapat dilihat bahwa nilai t4 dapat dicari
bila t2 dan t3 diketahui. Neraca t4 merupakan neraca eksogen dalam kerangka
SAM. Persamaan
matriks diatas dapat ditulis dalam notasi matriks sebagai:
..............................................................................................................................(7)
Sehingga
.......................................................................................................................(8)
Atau
.................................................................................................................................(9)
dimana
Ma = (I-A)-1 =
pengganda neraca (accounting multiplier)
Model
tersebut menjelaskan bahwa perubahan neraca eksogen (X) akan menyebabkan
perubahan terhadap neraca endogen (t) sebesar (I-A)-1. Analisis accounting multiplier
(atau disebut juga sebagai analisis pengganda neraca) ingin memperlihatkan
keterkaitan sektor-sektor ekonomi suatu wilayah sebagai bagian dari analisis
ekonomi dan mampu memberikan informasi mengenai pemerataan pendapatan dan
kesempatan kerja kepada masyarakat sebagai bagian dari analisis sosial.
Sebelum model pengganda neraca
diaplikasikan, perlu dilakukan penyesuaian terhadap kerangka SAM. Tindakan
penyesuaian tersebut adalah mengenai penetapan neraca-neraca eksogen dalam
kerangka dan implikasinya terhadap bentuk kerangka SAM dalam usaha memperoleh
pengganda neraca. Yang dianggap sebagai neraca-neraca eksogen dalam model
pengganda neraca adalah:
a. Neraca
pemerintah
b. Neraca
kapital
c. Neraca
pajak tidak langsung neto, dan
d. Neraca
luar negeri (luar wilayah).
Sehingga
perubahan dalam perekonomian dapat dipengaruhi oleh kebijakan penerimaan yang
diambil dari ke empat neraca tersebut, baik yang berupa pengeluaran pemerintah,
investasi, penetapan pajak, subsidi dan kebijakan luar negeri.
Perhitungan
SPA
Metode analisa selanjutnya yang digunakan adalah
Structural Path Analysis (SPA),
dimana analisa ini merupakan penggabungan pada teknik SAM. SPA digunakan untuk
melihat besarnya pengaruh langsung maupun tidak langsung dari adanya perubahan
(shock) dari sektor-sektor yang
disimulasikan untuk di injeksi. Dari formulasi perhitungan SAM, dapat
diidentifikasi adanya tiga pengaruh kepada neraca-neraca dalam SAM. Pengaruh
tersebut adalah: 1) pengaruh langsung jika terjadi perubahan dalam neraca SAM;
2) pengaruh total; dan 3) pengaruh total.
Pada bagan 2, dapat dijelaskan pengaruh langsung
diukur sepanjang busur yang menghubungkan dua kutub I dan J (disebut juga elementary path)
Pengaruh ini mengukur perubahan pendapatan atau produksi di kutub J yang
diakibatkan oleh satu unit perubahan pada kutub I, dengan asumsi bahwa produksi
dan pendapatan kutub lainnya konstan. Sedangkan pengaruh total menangkap sejumlah
besar interaksi dari berbagai kutub. Sehingga pengaruh langsung Axi Ayx dalam
Gambar1 ditransmisikan kembali dari Y ke X, menciptakan efek (Axi Axy)(Axy +
Azy Axz), dan kemudian ditransmisikan kembali ke Y. Akhirnya serangkaian impuls
digeneralisasi dan menghasilkan suatu multiplier.
.....................................................................................(10)
Gambar 2. Diagram Structural
Path Analysis
X
|
Y
|
I
|
Z
|
J
|
Axy
|
Ayx
|
Axz
|
Azy
|
Axi
|
Ajy
|
Persamaan tersebut dikalikan dengan ajy karena
busur terakhir j tersambung dengan
y untuk melengkapi semua jalur yang ada (seperti ditunjukkan dalam Gambar.1).
Akibatnya besar Pengaruh Total adalah sebagai berikut:
......................................................................(11)
Pengaruh selanjutnya adalah Pengaruh Global.
Pengaruh ini mengukur efek total pada produksi dan pendapatan pada kutub j
sebagai akibat adanya injeksi satu unit output atau pendapatan pada kutub i. Hal ini secara mendasar
equivalen dengan multiplier SAM yang
baku. Pada SAM sederhana:
..........................................................................................................................(12)
Di mana y dan x secara berturut-turut adalah
vektor variabel endogen dan eksogen. Sedangkan untuk memperoleh multiplier SAM adalah sebagai berikut:
.....................................................................................................................(13)
Dilihat
dari pengaruhnya, Pengaruh Global mengakumulasikan semua pengaruh yang
ditimbulkan dan feedback yang
merupakan hasil dari keberadaan arus melingkar seperti yang ditunjukkan pada
bagan 2.
METODOLOGI
PENELITIAN
Aktivitas ekonomi suatu wilayah secara garis besar
terdiri atas kegiatan produksi dan kegiatan konsumsi. Kegiatan produksi
dilakukan oleh perusahaan di berbagai sektor dan kegiatan konsumsi dilakukan
oleh rumah tangga. Dalam melaksanakan kegiatan produksi,
perusahaan memerlukan berbagai input, baik input primer maupun input-antara.
Input primer berasal dari institusi rumahtangga dan institusi lainnya,
sedangkan input-antara berasal dari perusahaan-perusahaan lain. Transaksi
input-antara akan menggambarkan keterkaitan antar sektor-sektor ekonomi,
sedangkan transaksi input primer akan menggambarkan pendapatan rumah tangga dan institusi lainnya.
Selanjutnya, pendapatan rumahtangga dan institusi
lainnya digunakan untuk membeli barang-barang konsumsi dan sisanya ditabung.
Belanja barang-barang konsumsi akan mendorong perusahaan meningkatkan output,
yang kemudian memerlukan tambahan input, sehingga perusahaan-perusahaan lain
sebagai pemasok input akan terdorong untuk meningkatkan outputnya. Rantai
transaksi ini akan terus berlanjutnya dan apabila tidak mengalami kebocoran
maka ekonomi wilayah itu akan meningkat pesat, yang pada gilirannya akan
mengatasi pengangguran dan meningkatkan kesejahteraan
Aktivitas ekonomi sebagaimana diuraikan di atas dapat
ditangkap secara komprehensif oleh model Social
Accounting Matrix (SAM). Secara garis besar, model ini dibagi atas empat
neraca, yaitu: (1) neraca faktor produksi, (2) neraca institusi, (3) neraca
sektor produksi, dan (4) Rest of The World. Tiga neraca yang disebutkan
pertama merupakan neraca endogen dan yang disebutkan terakhir neraca eksogen.
Secara matematis, empat neraca tersebut disusun dalam
bentuk matriks, yang terdiri atas baris dan kolom. Neraca baris menunjukkan
penerimaan dan neraca kolom menggambarkan pengeluaran. Setiap sel menggambarkan
interaksi antara neraca baris i dan neraca kolom j. Makna dari
setiap sel transaksi terdapat dalam Tabel 1. Dari Tabel 1 nampak bahwa SAM
dapat menggambarkan keterkaitan antar sektor, distribusi pendapatan (faktorial
distribution dan income distribution), dan pengaruh dari konsumsi,
investasi, serta ekspor-impor terhadap pendapatan regional dan kesempatan
kerja.
Tabel 2. Penjelasan Social Accounting Matrix
Sumber : Thorbecke 2001
Selanjutnya, Thorbecke (2001) mengembangkan
neraca-neraca dalam SAM menjadi enam tipe neraca, yakni: (1) neraca aktivitas
produksi, (2) neraca komoditas, (3) neraca faktor produksi, (4) neraca
institusi, (5) neraca modal (kapital), dan (6) neraca Rest of The World.
Neraca aktivitas produksi merupakan neraca yang berkaitan dengan transaksi
pembelian raw material, intermediate goods, dan sewa faktor
produksi untuk menghasilkan barang dan jasa (komoditas). Pada baris neraca
aktivitas meliputi hasil penjualan komoditas pada pasar domestik dan pasar luar
negeri, serta penerimaan subsidi ekspor dari pemerintah. Kolom neraca aktivitas
(pengeluaran aktivitas) meliputi pengeluaran untuk impor, biaya-biaya dari jasa
perdagangan, dan pembayaran pajak tidak langsung.
Neraca institusi oleh Thorbecke (2001) dipecah lagi
menjadi tiga neraca, yaitu: (1) rumah tangga, (2)
perusahaan, dan (3) pemerintah. Baris neraca rumah tangga meliputi penerimaan atas kompensasi tenaga kerja, keuntungan atas modal, transfer antara rumah tangga, penerimaan transfer dari perusahaan (berupa
asuransi), transfer dari pemerintah, dan transfer luar negeri. Sedangkan kolom
neraca rumah tangga meliputi pengeluaran konsumsi, transfer antar
rumah tangga, transfer kepada perusahaan, pembayaran pajak
langsung, dan tabungan pada neraca modal. Selanjutnya, baris neraca perusahaan
(penerimaan perusahaan) meliputi laba yang ditahan, transfer dari rumah tangga, dan transfer pemerintah. Sedangkan kolom neraca perusahaan (pengeluaran
perusahaan) meliputi transfer kepada rumah tangga, pembayaran
pajak, dan tabungan perusahaan pada neraca kapital. Baris neraca pemerintah meliputi semua penerimaan pajak,
yakni pajak nilai tambah, pajak tidak langsung, pajak pendapatan, pajak
langsung, dan pajak keuntungan dari perusahaan. Sedangkan kolom neraca
pemerintah meliputi pengeluaran subsidi ekspor, belanja barang dan jasa,
transfer kepada rumah tangga dan perusahaan, serta tabungan pemerintah. Sisi
penerimaan dari neraca kapital meliputi tabungan rumah tangga, tabungan perusahaan, dan tabungan pemerintah,
sedangkan sisi pengeluarannya meliputi pembagian keuntungan kepada rumah tangga dan pembayaran pajak kepada pemerintah.
Sebenarnya model SAM merupakan perluasan dari model
Input-Output. Namun demikian model ini memiliki sejumlah keterbatasan yang
melekat pada asumsi-asumsinya. Adapun asumsi-asumsi yang digunakan adalah: (a)
seluruh produk yang dihasilkan oleh setiap sektor habis dikonsumsi pada periode
tertentu, (b) hubungan input-output dalam kegiatan produksi bersifat linier
atau constant return to scale, (c) tidak ada substitusi antara faktor
produksi yang digunakan, (d) suatu kelompok produk tidak dihasilkan bersama-sama
oleh dua perusahaan atau lebih, (e) harga konstan, (f) tidak ada eksternalitas
negatif, dan (g) perekonomian dalam keadaan keseimbangan.
Sekalipun SAM memiliki sejumlah keterbatasan, namun
model ini telah digunakan secara luas, yang antara lain oleh Nokkala (2002)
dalam penelitiannya yang berkaitan dengan kebijakan investasi sektor pertanian
di Zambia, Iqbal dan Siddiqui (2000) untuk menganalisis dampak penyesuaian
struktural terhadap ketidakmerataan pendapatan (income inequity) di
Pakistan; Wagner (1999) untuk menganalisis dampak ecotourism terhadap
perekonomian region APA de Guarquechaba, Brazil; dan Bautista (2000) untuk
menganalisis dampak pembangunan sektor pertanian terhadap perekonomian region
Vietnam.
Argumentasi umum yang dikemukakan dalam menggunakan
model SAM adalah bahwa model ini dapat memotret keterkaitan aktivitas
perekonomian pada suatu region atau interregional dengan disagregasi yang luas
sehingga dapat diperoleh objek yang beragam. Wagner (1999) mengemukakan tiga
alasan mengapa ia memakai model SAM, yaitu: (1) model SAM dapat menjelaskan
keterkaitan antara aktivitas produksi, distribusi pendapatan, konsumsi barang
dan jasa, tabungan dan investasi, serta perdagangan luar negeri, (2) SAM dapat
memberikan suatu kerangka kerja yang bisa menyatukan dan menyajikan seluruh
data perekonomian regional, dan (3) dengan SAM dapat dihitung multiplier perekonomian
regional yang berguna untuk mengukur dampak dari ecotourism terhadap
produksi, distribusi pendapatan dan permintaan, yang menggambarkan struktur
perekonomian.
Analisis Dampak Pengganda (Multiplier Analysis)
Matriks Pengganda Neraca SAM menangkap dampak keseluruhan
dari perubahan sektor tertentu terhadap sektor-sektor lain dalam ekonomi.
Selain itu, matriks ini menjelaskan dampak perubahan neraca eksogen terhadap
neraca endogen. Matriks pengganda neraca yang merupakan invers standar dari matriks (I-A) yang
dapat diturunkan dari kerangka dasar SAM (Hartono, 2011).
y = A y + x Û y = (I – A)-1
x Û y = Ma x
dimana
Sehingga
Dalam konteks ini, A mengandung koefisien-koefisien
yang menunjukkan dampak langsung dari perubahan satu sektor ke sektor lain
melalui pendekatan keterkaitan ke belakang.
Ma = (I
– A)-1 dikenal dengan matriks pengganda neraca yang
menunjukkan dampak global dari perubahan sektor ekonomi tertentu terhadap
sektor lain dengan pendekatan keterkaitan ke belakang pula.
Dengan memanfaatkan analisis multiplier pada tabel SAM, penelitian ini akan mencoba melakukan
beberapa skenario simulasi penginjeksian dana ke dalam sistem untuk melihat
dampaknya pada beberapa sektor, institusi, dan faktor produksi di dalam
perekonomian.
Skenario Simulasi Dampak Injeksi :
1)
Perekonomian akan diinjeksi
dana sebesar 90 triliun ke dalam 3 sektor yaitu : sektor 50 (Bank dan asuransi),
sektor 42 (listrik, gas, dan air minum), serta sektor 43 (konstruksi). Injeksi
terhadap sektor 50 merepresentasikan usaha untuk memperbaiki akses terhadap
pasar finansial[9],
sedangkan injeksi terhadap sektor 42 dan 43 menggambarkan usaha untuk memperbaiki
kualitas maupun suplai infrastruktur. Injeksi
terhadap sektor 42 (listrik, gas, dan air minum) mewakili usaha-usaha yang
dilakukan untuk meningkatkan kemudahan dan ketersediaan dari suppy listrik di
Indonesia, sedangkan injeksi pada sektor 43 mewakili usaha-usaha untuk
meningkatkan kualitas jalan raya dan sarana-sarana yang dapat memperlancar arus
barang dan jasa di dalam perekonomian.
2)
Simulasi akan dilakukan melalui
dua tipe, yaitu : (i) Simulasi grup A
mengasumsikan bahwa injeksi dana datang dari luar perekonomian (exogenous shock), dan (ii) simulasi grup B mengasumsikan dana
injeksi berasal dari pemerintah (dari dalam perekonomian)[10].
3)
Pada setiap grup akan dilakukan
simulasi sebanyak tujuh kali dengan asumsi bahwa terdapat 3 jenis rezim
pengambilan kebijakan, yaitu : extremist
(terlalu condong ekstrim hanya pada salah satu sektor), populist (fair regime),
dan biased policy (condong, tetapi
tidak ekstrim, ke salah satu masalah antara infrastruktur atau akses terhadap
pasar finansial). Hal tersebut berimplikasi
bahwa pengambil kebijakan yang menganut pola extremist akan mengalokasikan seluruh dananya untuk menginjeksi
hanya pada salah satu sektor prioritas (antara 50, 42, atau 43), sedangkan fair regime akan mengalokasikan dananya
merata ketiga sektor. Di lain sisi, Biased policy
akan mengalokasikan dananya condong kepada salah satu prioritas (antara akses
pasar financial atau infrastruktur) tetapi juga tidak melupakan sektor lainnya[11].
Keterangan lebih lengkapnya adalah sebagai berikut :
·
Simulasi
Grup A
a) Simulasi A1
(financial extremist) : dana diinjeksi sebesar 90 triliun di sektor bank dan
asuransi (50)
b) Simulasi A2 (electricity
extrimist) : dana diinjeksi sebesar 90 triliun di sektor lostrik, gas , dan
air minum
c) Simulasi A3 (construction
extrimist) : dana diinjeksi sebesar 90 triliun di sektor konstruksi
d) Simulasi A4 (fair) : dana sebesar 90 triliun di bagi merata kepada tiga
sektor tersebut (50, 42, dan 43)
e) Simulasi A5 (financial bias)
: dari dana sebesar 90 triliun itu dialokasikan menjadi 70 triliun untuk sektor
50 dan masing-masing 10 triliun untuk sektor 42 dan 43
f) Simulasi A6 (financial bias)
: dari dana sebesar 90 triliun itu dialokasikan menjadi 50 triliun untuk sektor
50 dan masing-masing 20 triliun untuk sektor 42 dan 43
g) Simulasi A7 (infrastructure bias)
: dana 90 triliun tersebut dialokasikan menjadi 10 triliun untuk sektor 50 dan
masing-masing 40 triliun untuk sektor 42 dan 43
·
Simulasi Grup B
a)
Simulasi
A1 (financial
extremist) : dana diinjeksi sebesar 90 triliun di
sektor bank dan asuransi (50)
b) Simulasi A2 (electricity
extrimist) : dana diinjeksi sebesar 90 triliun di sektor listrik, gas , dan air minum
c)
Simulasi A3 (construction extrimist) : dana diinjeksi
sebesar 90 triliun di sektor konstruksi
d) Simulasi A4 (fair) : dana sebesar 90 triliun di bagi merata kepada tiga
sektor tersebut (50, 42, dan 43)
e)
Simulasi A5 (financial bias) : dari dana sebesar 90
triliun itu dialokasikan menjadi 70 triliun untuk sektor 50 dan masing-masing
10 triliun untuk sektor 42 dan 43
f)
Simulasi A6 (financial bias) : dari dana sebesar 90
triliun itu dialokasikan menjadi 50 triliun untuk sektor 50 dan masing-masing
20 triliun untuk sektor 42 dan 43
g)
Simulasi A7 (infrastructure bias) : dana 90 triliun
tersebut dialokasikan menjadi 10 triliun untuk sektor 50 dan masing-masing 40
triliun untuk sektor 42 dan 43
Structural
Path Analysis
Structural
Path Analysis (SPA) adalah sebuah metode untuk
mengidentifikasi sistem jaringan yang memuat seluruh jalur yang menghubungkan
satu sektor dengan sektor yang lain dalam neraca SAM. Sebuah jalur didefinisikan
sebagai jalur dasar jika jalur tersebut tidak melewati sebuah sektor lebih dari
satu kali. Di sisi lain, dimungkinkan dampak dari sebuah sektor setelah
mempengaruhi sektor lain akan kembali lagi ke sektor yang bersangkutan.
Kemungkinan ini disebut dengan sirkuit.
Dalam
rangka membuka “kotak hitam” dari sistem perekonomian dan mengetahui secara
lebih jelas mengenai hubungan dan keterkaitan antara sektor, institusi, serta
faktor produksi di dalam perekonomian, penulis akan menggunakan Structural Path Analysis. Alat analisis
ini berfungsi untuk melihat bagaimanakah jalur antara sumber gangguan (origin of shock) sampai kepada destinasi
tertentu (poles of destination).
Hasil multiplier dari SPA ini
nantinya dapat memberikan gambaran tentang jalur mana yang paling besar
dampaknya atau kritis dalam mempengaruhi suatu destinasi tertentu. Penelitian
ini menentukan destinasinya berdasarkan 3 faktor produksi, institusi, dan
sektor yang paling terkena dampak besar dari penginjeksian dana sebesar 90
triliun tersebut, sedangkan poles of
origin-nya yaitu sektor 50, 42, dan 43 (sumber shock di dalam penelitian ini).
HASIL DAN DISKUSI
Analisis Multiplier
Sesuai dengan yang sebelumnya telah dijabarkan pada bagian
metodologi penelitian, penulis akan menganalisis dampak dari penginjeksian dana
sebesar Rp 90 triliun
terhadap beberapa blok di dalam tabel SAM, hasil yang akan didiskusikan akan
dikelompokkan menjadi 4 bagian, yaitu : (i) dampak terhadap perekonomian secara
keseluruhan, (ii) dampak terhadap blok faktor produksi, (iii) dampak terhadap
blok institusi, dan (iv) dampak terhadap blok sektor (activities).
Dari tujuh kali simulasi baik pada grup simulasi A (exogenous shock) maupun grup simulasi B
(injeksi dana yang berasal dari dalam sistem perekonomian / endogenous shock), di dapatkan hasil
bahwa empat tipe simulasi yang
menghasilkan dampak terbesar bagi keseluruhan total pendapatan faktor
produksi, institusi dan output sektoral adalah tipe simulasi 1, 5, 6, dan 3
(disusun dari yang memberikan dampak paling besar sampai terkecil). Hal ini
berarti bahwa, terlepas dari sumber injeksi dananya (baik exogenous maupun endogenous
shock), tipe kebijakan yang menghasilkan dampak paling besar bagi
keseluruhan perekonomian adalah tipe kebijakan yang ekstrim (tipe simulasi 1)
dan / atau bias terhadap sektor finansial (tipe simulasi 5 dan 6). Di lain
pihak, tipe pengambilan kebijakan yang ekstrim hanya pada sektor konstruksi
saja (tipe simulasi 3) akan menghasilkan dampak terbesar keempat di dalam perekonomian,
sedangkan tipe pengambilan kebijakan yang ekstrim kepada sektor listrik, gas,
dan air minum (simulasi 2), hanya akan menghasilkan dampak yang paling kecil
dari keseluruhan tipe simulasi (dari mulai simulasi 1 sampai 7, baik pada grup
simulasi A dan B). Hasil lebih lengkap dapat dilihat pada Tabel 3.
Terdapat banyak penjelasan terkait superioritas sektor
finansial (bank dan asuransi) di dalam perekonomian, argumen yang relevan dalam
studi kasus Indonesia paling tidak dapat dirangkum ke dalam beberapa poin di
bawah ini :
a) Menurut Schwab (2011), Indonesia adalah salah satu dari
beberapa negara yang berada pada tahap kedua pembangunan, yaitu Efficiency Driven. Pada tahap ini
produktivitas dan tingkat upah akan meningkat seiring dengan majunya pembangunan.
Terlebih lagi, peningkatan efisiensi proses produksi , kualitas produk, dan
tingkat gaji (dengan tingkat harga yang kaku) membuat Indonesia harus mencari
sumber-sumber pendongkrak efisiensi yang baru sehingga secara perlahan mulai
meninggalkan strategi yang terlalu bergantung kepada keberlimpahan sumberdaya
dan beralih pada strategi yang lebih mengedepankan efisiensi pasar tenaga
kerja, pasar barang, pasar modal atau
keuangan, ketersediaan teknologi, dan struktur pasar domestik. Mengingat
injeksi dana untuk memperbaiki efisiensi pasar keuangan dapat meningkatkan
produktifitas dan performa perekonomian Indonesia dengan sangat masif, oleh
karena itu usaha-usaha penginjeksian dan yang ditujukan untuk sektor finansial
akan lebih besar efeknya daripada usaha-usaha yang dilakukan untuk memperbaiki
kualitas infrastruktur[12].
b) Adanya suatu fenomena bernama financial accelerator di dalam sektor finansial juga turut
memperkuat superioritas sektor finansial di Indonesia. Shock di dalam sektor riil akan diperbesar efeknya oleh keterkaitan
timbal balik antara sektor riil dan sektor finansial melalui jalur utama yaitu credit cycle. Perubahan yang sangat
besar akibat diinjeksikannya dana ke dalam sektor 50 (bank dan asuransi)
adalah, dalam beberapa hal, sumbangan dari fenomena yang disebut financial accelerator. Usaha-usaha dalam
memperbaiki akses terhadap pasar finansial pada gilirannya akan menurunkan
biaya pendanaan, meningkatkan akumulasi kapital, memicu kemajuan teknologi, dan
menstimulasi ekspansi sektor riil di dalam perekonomian (Zhang dan Zhang 2009).
Terlihat disini bahwa ada tambahan feedback
effect (financial accelerator)
yang akan dirasakan perekonomian jika pilihan kebijakannya adalah memperbaiki
akses terhadap pasar finansial, sehingga dampaknya terhadap keseluruhan
perekonomian pun akan lebih besar dari pada usaha-usaha lainnya.
Tabel 3. Nilai Akhir dari
Pendapatan Faktor Produksi, Institusi, dan Output Sektoral akibat Injeksi dana sebesar Rp 90
Triliun (satuan dalam miliar rupiah)
Dampak
total berdasarkan blok
|
Simulasi
A (exogenous injection)
|
Simulasi
B (endogenous injection)
|
||||||||||||||
A1
|
A2
|
A3
|
A4
|
A5
|
A6
|
A7
|
B1
|
B2
|
B3
|
B4
|
B5
|
B6
|
B7
|
|||
faktor
|
TK
|
Agri
|
12215.6
|
11119.0
|
12831.4
|
12055.3
|
12162.1
|
12108.7
|
12001.9
|
1509.9
|
413.3
|
2125.7
|
1349.7
|
1456.5
|
1403.1
|
1296.2
|
Non-agri
|
58002.3
|
48001.9
|
62741.3
|
56248.5
|
57417.7
|
56833.1
|
55663.9
|
22183.6
|
12183.2
|
26922.6
|
20429.8
|
21599.0
|
21014.4
|
19845.2
|
||
All
|
70217.9
|
59120.9
|
75572.6
|
68303.8
|
69579.9
|
68941.8
|
67665.8
|
23693.6
|
12596.6
|
29048.3
|
21779.5
|
23055.5
|
22417.5
|
21141.4
|
||
Non-TK
|
86353.6
|
79465.0
|
63282.1
|
76366.9
|
83024.7
|
79695.8
|
73038.0
|
57606.1
|
50717.5
|
34534.6
|
47619.4
|
54277.2
|
50948.3
|
44290.5
|
||
institusi
|
RT
|
Agri
|
27195.3
|
23611.5
|
25359.3
|
25388.7
|
26593.1
|
25990.9
|
24786.5
|
-919.0
|
-4502.9
|
-2755.1
|
-2725.7
|
-1521.2
|
-2123.5
|
-3327.9
|
Non-agri
|
80827.3
|
70232.2
|
78274.7
|
76444.7
|
79366.4
|
77905.6
|
74983.9
|
25307.9
|
14712.8
|
22755.3
|
20925.3
|
23847.0
|
22386.2
|
19464.5
|
||
All
|
108022.6
|
93843.6
|
103634.0
|
101833.4
|
105959.6
|
103896.5
|
99770.3
|
24388.9
|
10209.9
|
20000.2
|
18199.6
|
22325.8
|
20262.7
|
16136.6
|
||
Firm
|
63070.6
|
57880.0
|
46846.5
|
55932.3
|
60691.2
|
58311.8
|
53552.9
|
32709.3
|
27518.7
|
16485.2
|
25571.1
|
30329.9
|
27950.5
|
23191.7
|
||
Gov
|
26476.4
|
24060.5
|
20449.4
|
23662.1
|
25538.3
|
24600.2
|
22724.0
|
-93377.4
|
-95793.3
|
-99404.4
|
-96191.7
|
-94315.5
|
-95253.6
|
-97129.8
|
||
Sektor
|
Agriculture (30-34)
|
25004.6
|
22757.4
|
27543.2
|
25101.7
|
25037.0
|
25069.4
|
25134.1
|
3287.5
|
1040.2
|
5826.1
|
3384.6
|
3319.8
|
3352.2
|
3416.9
|
|
Mining (35-36)
|
3464.1
|
21582.4
|
12227.5
|
12424.6
|
6450.9
|
9437.8
|
15411.5
|
668.4
|
18786.7
|
9431.8
|
9629.0
|
3655.2
|
6642.1
|
12615.8
|
||
Industri
(37-41)
|
67808.4
|
85775.1
|
102374.1
|
85319.2
|
73645.3
|
79482.3
|
91156.2
|
12287.5
|
30254.2
|
46853.2
|
29798.3
|
18124.4
|
23961.3
|
35635.2
|
||
Other
services
(44-49 & 51-53)
|
68272.7
|
60675.1
|
72747.6
|
67231.8
|
67925.8
|
67578.8
|
66884.8
|
3917.3
|
-3680.3
|
8392.3
|
2876.4
|
3570.4
|
3223.4
|
2529.5
|
||
Infrastructure
defined
(42-43)
|
6348.2
|
110438.3
|
95864.7
|
70883.7
|
27860.0
|
49371.9
|
92395.6
|
882.3
|
104972.3
|
90398.8
|
65417.8
|
22394.1
|
43906.0
|
86929.6
|
||
Financial
(50)
|
117887.3
|
7359.3
|
8241.2
|
44495.9
|
93423.5
|
68959.7
|
20032.1
|
112388.7
|
1860.7
|
2742.6
|
38997.3
|
87924.9
|
63461.1
|
14533.6
|
||
All
sector
|
170898.0
|
301228.2
|
310757.2
|
260961.2
|
200919.1
|
230940.1
|
290982.2
|
21042.9
|
151373.1
|
160902.1
|
111106.0
|
51064.0
|
81085.0
|
141127.1
|
||
Whole economy
|
821167.1
|
775922.1
|
807989.6
|
801692.9
|
814675.7
|
808184.3
|
795201.6
|
226534.6
|
181289.7
|
213357.1
|
207060.5
|
220043.2
|
213551.8
|
200569.1
|
Keterangan
: angka yang ditebalkan merupakan 4 angka terbesar dari keseluruhan simulasi
Sumber : perhitungan penulis
Pada blok faktor produksi baik dengan menggunakan simulasi A
maupun B : tenaga kerja pertanian,
non pertanian serta total keduanya paling merasa diuntungkan jika tipe
kebijakan yang diambil adalah tipe construction
extrimist atau dengan kata lain mengalokasikan seluruh injeksi dana hanya
pada sektor konstruksi (sektor 43). Sedangkan, akumulasi kapital tertinggi akan
tercipta jika tipe kebijakan yang dipilih adalah financial extrimist. Hal ini terjadi karena ekspansi di sektor
konstruksi akan menyerap tenaga kerja yang sangat banyak seperti pada program
pembangunan jalan serta infrastruktur fisik lainnya (labor intensive), sehingga akan lebih banyak tenaga kerja terlibat
dan total pendapatan faktor produksinya pun juga meningkat. Di lain sisi,
injeksi pada sektor perbankan jelas sekali akan berdampak sangat besar pada
peningkatan akumulasi kapital di dalam perekonomian (capital intensive). Hal ini dikarenakan injeksi tersebut dapat
meningkatkan transaksi finansial di sektor perbankan itu sendiri (baik dalam
arus deposito maupun kredit) yang juga memiliki arti bahwa terjadi peningkatan
modal di dalam perekonomian.
Di lain pihak, dengan menggunakan simulasi A (injeksi dana
eksogen) pendapatan dari keseluruhan institusi yaitu rumah tangga pertanian,
non-pertanian, perusahaan, maupun pemerintah akan sangat diuntungkan jika yang
dilakukan adalah tipe kebijakan A1, yaitu mengalokasikan seluruh injeksi dana
untuk sektor finansial saja (bank dan asuransi atau sektor 50). Pada simulasi B[13], di semua tipe kebijakan
(tipe 1 sampai 7), terjadi penurunan penerimaan rumah tangga pertanian dalam
jumlah yang tidak sedikit, khususnya bagi buruh pertanian dan pengusaha
pertanian golongan rendah. Rumah tangga pertanian akan paling merasa terpukul
jika yang dilakukan adalah tipe kebijakan B2 (electricity extrimist), sedangkan merasa paling tidak terpukul jika
yang dilakukan adalah tipe kebijakan B1 (financial
extrimist). Rumah tangga non-pertanian serta total pendapatan rumah tangga
secara keseluruhan dan juga institusi perusahaan akan merasakan peningkatan
yang paling besar apabila tipe kebijakan B1 (financial extrimist) yang dilakukan.
Hasil simulasi A dan B diatas merepresentasikan peran
penting sektor finansial
dalam pendapatan rumah tangga, khususnya rumah tangga pertanian. Selain itu,
hasil diatas juga menunjukkan bahwa terdapat peran pemerintah yang besar dalam
membantu (mensubsidi) rumah tangga pertanian, hal ini ditunjukkan oleh sangat
terpukulnya rumah tangga pertanian, khususnya buruh dan pengusaha golongan
rendah, saat pemerintah mengurangi belanjanya untuk kemudian dialokasikan
kepada sektor-sektor yang dituju dalam target simulasi kebijakan. Hasil pada
simulasi B menunjukkan kepada kita bahwa sektor financial yang lebih terbuka
aksesnya akan menjadi obat yang baik (good
remedy) pada kasus pengurangan belanja pemerintah bagi rumah tangga
pertanian. Dengan kata lain, subsidi-subsidi dari pemerintah tersebut bisa
digantikan oleh usaha-usaha pemerintah untuk mempermudah akses rumah tangga
pertanian terhadap pasar keuangan-dalam hal ini akses untuk mendapatkan kredit
(Yaron et.al 1998). Hal tersebut dapat terjadi karena lembaga keuangan memiliki
peran yang sangat esensial bagi kesejahteraan rumah tangga pertanian, yaitu
melalui perannya sebagai akselerator
peningkatan aset pertanian, ekspansi usaha, dan pengaman ekonomi
keluarga di tengah tidak menentunya produksi pertanian (Vetrivel dan
Kumarmangalam 2010).
Sebagai agen yang menginjeksikan dana ke dalam sistem
perekonomian yang terekam dalam tabel SAM, pemerintah akan mengalami feedback effect, yaitu suatu kondisi
dimana dampak global yang dirasakan pemerintah adalah lebih besar dan lebih
dalam daripada jumlah rupiah yang ia injeksikan ke dalam perekonomian, yaitu
sebesar Rp 90 triliun.
Pemerintah akan merasakan dampak yang paling buruk jika dilakukan tipe
kebijakan B3 (construction extrimist),
tetapi paling rendah dampak negatif-nya
apabila yang dilakukan adalah tipe kebijakan B1 (financial extrimist). Hal ini konsisten dengan temuan pada simulasi
A, yaitu pemerintah akan merasakan dampak peningkatan pendapatan yang sangat
besar apabila dilakukan kebijakan A1, dan sebaliknya akan merasakan dampak yang
paling moderat jika dilakukan tipe kebijakan A3. Sedikit banyak, hal ini
disebabkan karena peningkatan pendapatan pemerintah dipengaruhi paling besar
oleh volatilitas dari pendapatan perusahaan[14], dimana akumulasi balas
jasa kapital adalah determinan utamanya. Hal ini berarti pemerintah akan
mendapatkan manfaat yang besar apabila tipe kebijakan yang diambil adalah pro
terhadap peningkatan akumulasi kapital, yang mana dalam konteks ini, injeksi
terhadap pasar finansial yang memberikan
dampak terbesar terhadap akumulasi balas jasa kapital. Hal inilah yang
melatarbelakangi terciptanya dampak yang paling besar atas injeksi pasar
keuangan terhadap peningkatan pendapatan pemerintah dibandingkan dengan tipe
simulasi yang lainnya.
Untuk alasan penyederhanaan analisis, sektor-sektor produksi
(blok activities) di dalam SAM akan
dirangkum menjadi empat grup sektor besar (kecuali sektor 50, 42, dan 43 yang
menjadi basis penginjeksian dana), yaitu sektor pertanian (terdiri dari sektor
nomor 30 sampai 34), sektor pertambangan (terdiri dari sektor 35 dan 36),
sektor industri manufaktur (terdiri dari sektor 37 sampai 41), serta sektor
jasa lainnya (terdiri dari sektor 44 sampai 49 dan sektor 51 sampai 53).
Output-output sektor pertanian, industri manufaktur, dan jasa-jasa lainnya
paling besar peningkatannya pada simulasi kebijakan yang menganut rezim construction extrimist, baik pada simulasi grup A maupun B. Sektor pertambangan,
baik pada grup simulasi A maupun simulasi B, merasakan peningkatan output yang
paling besar apabila dipilih tipe kebijakan yang dipilih adalah tipe electricity extrimist (mengalokasikan
semua dana untuk sektor listrik, gas, dan air minum). Namun demikian, karena
pada simulasi B dana diambil dari belanja pemerintah, maka kerugian atau
penurunan output dalam suatu sektor perekonomian merupakan hal yang tidak
terelakkan lagi, khususnya untuk sektor 52 (sektor pemerintahan dan pertahanan,
pendidikan, kesehatan, film, dan jasa sosial lainnya). Pada simulasi B2 (electricity extrimist), penurunan yang
paling dalam adalah berasal dari output sektor jasa lainnya, dimana penyebab
utamanya adalah penurunan pada sektor perhotelan (sektor 46); pemerintahan dan
pertahanan, pendidikan, kesehatan, film, dan jasa sosial lainnya (sektor 52);
serta jasa perseorangan, rumah tangga dan jasa lainnya (sektor 53).
Latar belakang besarnya dampak sektor konstruksi terhadap
sektor-sektor lainnya di dalam blok activities
adalah tingginya tingkat keterkaitan antar sektor. Hal ini berarti ekspansi
pada sektor konstruksi akan menarik peningkatan output-output sektor lainnya di
dalam perekonomian secara lebih besar daripada yang bisa dilakukan oleh sektor
bank dan asuransi serta sektor listrik, gas, dan air minum. Penurunan
output sektor 52 di dalam simulasi B
adalah jelas karena skenario
pengeluaran pemerintah yang berkurang di dalam simulasi tersebut. Di lain
pihak, peningkatan output sektor pertambangan, khususnya sektor nomor 35,
karena opsi pilihan kebijakan tipe 2 adalah lebih dikarenakan juga oleh
keterkaitan yang tinggi dan kedekatan aktivitas diantara sektor 42 dengan 35
tersebut.
Structural
Path Analysis
Pada bagian ini akan dianalisis dua dari tiga tipe simulai
utama di dalam penelitian ini, yaitu injeksi yang bermula dari sektor financial
(50) dan sektor konstruksi (43). Hal ini mengingat kedua tipe simulasi inilah
yang paling besar dampaknya terhadap perekonomian. Berdasarkan hasil analisis
multiplier, penulis akan mengidentifikasi masing-masing tiga dari blok faktor produksi, institusi, dan sektor produksi yang
terkena dampak paling besar dari shock
yang bermula dari poles : sektor bank
dan asuransi (sektor 50) serta konstruksi (sektor 43). Hal ini berarti akan ada
sembilan jalur dasar di setiap poles yang
kemudian akan dilihat struktur jalurnya dalam mempengaruhi tujuan akhirnya
(destinasi).
Untuk simulasi kebijakan yang bersumber dari shock di sektor 50 (bank dan asuransi), destinasi yang terpilih adalah :
faktor produksi tenaga kerja penerima upah gaji pada bidang tata usaha,
penjualan, dan jasa-jasa di pedesaan serta perkotaan, serta faktor produksi
bukan tenaga kerja (kapital), sedangkan destinasi untuk blok institusi adalah
rumah tangga non-pertanian bukan angkatan kerja dan golongan tidak jelas,
pengusaha bebas, dan institusi perusahaan. Destinasi pada sektor produksi
adalah sektor real estate dan jasa
perusahaan, peternakan dan hasil-hasilnya, serta restoran. Karena tidak
terdeteksi ada bagian pengeluaran sektor bank dan asuransi untuk sektor
peternakan, maka untuk kepentingan analisis sektor tersebut akan diganti oleh
sektor pertanian tanaman pangan (sektor 30). Di lain pihak, destinasi dari shock
di sektor 43 (konstruksi) adalah : faktor produksi tenaga kerja penerima
upah gaji pada bidang Produksi, Operator
Alat Angkutan, Manual dan buruh kasar di desa; tenaga kerja bukan penerima
upah gaji pada bidang Produksi, Operator
Alat Angkutan, Manual dan buruh kasar di perkotaan; serta tenaga kerja
pada bidang Kepemimpinan, Ketatalaksanaan, Militer, Profesional dan Teknisi
bukan penerima upah gaji di pedesaan. Pada blok institusi, destinasinya adalah
RT non-pertanian pengusaha bebas kelas bawah serta bukan angkatan kerja dan
golongan tidak jelas di pedesaan, serta RT non-pertanian pengusaha bebas kelas
bawah di perkotaan. Pada
blok sektor, destinasinya adalah sektor kehutanan dan perburuan, pertambangan
dan penggalian lainnya, serta industri kayu dan barang dari kayu (lihat Tabel 4 untuk penjabarannya).
Dari setiap destinasi, akan dipilih dan dianalisis dua jalur yang paling besar atau kritis pengaruhnya (rule of thumb-nya adalah lebih besar
sama dengan 1 persen dari global
influence-nya).
Tabel
4. Destinasi
dari setiap shock dalam Structural Path
Analysis
Sumber
injeksi dana (origin of shock)
|
||
Bank dan asuransi (50)
|
Konstruksi (43)
|
|
Destinasi[15]
|
9 (f)
|
5 (f)
|
10 (f)
|
8 (f)
|
|
17 (f)
|
15 (f)
|
|
28 (inst)
|
22 (inst)
|
|
27 (inst)
|
23 (inst)
|
|
26 (inst)
|
25 (inst)
|
|
51 (sector)
|
33 (sector)
|
|
30 (sector)
|
36 (sector)
|
|
45 (sector)
|
39 (sector)
|
Pada kasus diinjeksikannya dana ke sektor 50 (bank dan
asuransi), jalur yang paling kritis atau besar dampaknya dalam mempengaruhi
ketiga faktor produksi tersebut adalah melalui jalur langsung, yaitu dari peningkatan output sektor bank dan
asuransi secara langsung-tidak melewati suatu jalur tertentu akan menyebabkan peningkatan pendapatan
faktor produksi tenaga kerja penerima upah gaji pada bidang tata usaha,
penjualan, dan jasa-jasa di pedesaan serta perkotaan, serta balas jasa kapital (bukan tenaga kerja). Jalur terbesar
kedua yang berpengaruh terhadap peningkatan pendapatan faktor produksi tenaga
kerja penerima upah gaji pada bidang tata usaha, penjualan, dan jasa-jasa di
perkotaan adalah melewati peningkatan masukan sektor real estate dan jasa perusahaan (sektor 51) serta sektor
pemerintahan dan pertahanan, pendidikan, kesehatan, film, dan jasa sosial
lainnya (sektor 52) terlebih dahulu (1 persen dari global influence). Dua jalur
terbesar yang mempengaruhi blok institusi Rumah Tangga (RT) non-pertanian
bukan angkatan kerja (golongan tidak jelas) dan pengusaha bebas kelas atas di
perkotaan adalah melalui jalur peningkatan pendapatan faktor produksi tenaga
kerja (TK) penerima upah gaji pada bidang tata usaha, penjualan, dan jasa-jasa
di perkotaan serta balas jasa kapital (bukan tenaga kerja), dimana jalur yang
melewati faktor produksi TK lebih kritis daripada
yang
melalui kapital. Di lain pihak, dua jalur paling kritis yang berpengaruh
terhadap peningkatan pendapatan perusahaan (28) adalah melalui jalur
peningkatan balas jasa kapital (74.3 persen) dan melalui jalur yang lebih
panjang yaitu melewati sektor real estate
dan jasa perusahaan (sektor 51) terlebih dahulu lalu mempengaruhi balas jasa
kapital sebelum kemudian meningkatkan pendapatan perusahaan (2.3 persen).
Struktur jalur paling kritis dalam rute perjalanan dari
sektor 50 ke 51 adalah secara langsung (38.7 persen) dan melalui faktor
produksi tenaga kerja penerima upah gaji pada bidang tata usaha, penjualan, dan
jasa-jasa di perkotaan, lalu ke Rumah Tangga (RT) non-pertanian pengusaha bebas
kelas atas di perkotaan, baru kemudian ke sektor 51 itu sendiri, yaitu real estate dan jasa perusahaan (2.7
persen). Jalur yang paling kritis dalam menuju destinasinya yaitu sektor
restoran adalah sama-sama melewati faktor produksi tenaga kerja penerima upah
gaji pada bidang tata usaha, penjualan, dan jasa-jasa di perkotaan lalu menuju
ke RT non-pertanian pengusaha bebas kelas bawah di perkotaan atau pengusaha
bebas kelas atas sebelum kemudian mempengaruhi sektor restoran (sektor 45).
Dampak yang paling besar dapat dirasakan jika injeksi mengalir ke RT non-pertanian
pengusaha bebas kelas atas di perkotaan sebelum kemudian meningkatkan output
sektor restoran. Dalam rute strukturalnya mempengaruhi sektor pertanian tanaman
pangan, terdapat tiga jalur terpenting yang kesemuanya merupakan percabangan
dari aliran sektor bank dan asuransi (50) terhadap faktor produksi tenaga kerja
penerima upah gaji pada bidang tata usaha, penjualan, dan jasa-jasa di
perkotaan (10). Setelah dari sini, rute struktural terbagi menjadi 3
kemungkinan rute yang menghasilkan dampak paling besar sebelum pada akhirnya
mempengaruhi sektor pertanian tanaman pangan (30), rute tersebut yaitu : (i)
melewati RT pengusaha pertanian kelas bawah, (ii) melewati RT non-pertanian
pengusaha bebas kelas bawah di perkotaan, serta (iii) RT non-pertanian pengusaha
bebas kelas atas di perkotaan (lihat Tabel 5).
Mata rantai jalur struktural dari pole of origin, yaitu sektor bank dan asuransi, menuju destinasi
yang telah disebutkan sebelumnya, pada umumnya melibatkan komponen-komponen blok
faktor, institusi, dan sektor produksi yang terimbas paling besar karena
dilakukannya shock di sektor keuangan
tersebut. Contohnya adalah pada jalur menuju destinasi nomor 26, 27, 28, 30,
dan 45. Untuk menuju destinasi terkait, shock
dari sektor bank dan asuransi pasti akan melewati komponen nomor 10 dan 17
terlebih dahulu. Hal ini berarti bahwa, sebelum sampai kepada destinasi blok
institusi dan sektor, terlebih dahulu akan terjadi peningkatan yang besar dari
pendapatan tenaga kerja penerima upah dan gaji pada bidang tata usaha,
penjualan, dan jasa-jasa di perkotaan serta balas jasa kapital di dalam
perekonomian. Hal ini konsisten karena pada Structural
Path Analysis (SPA) ini, jalur yang paling kritis dari sektor 50 menuju
komponen 10 dan 17 adalah jalur langsung. Dengan kata lain, sektor bank dan
asuransi memiliki dampak yang masif terhadap perekonomian secara keseluruhan
melalui peningkatan yang besar terhadap balas jasa kapital dan tenaga kerja
penerima upah dan gaji pada bidang tata usaha, penjualan, dan jasa-jasa di perkotaan.
Pada analisis jalur yang menempatkan sektor konstruksi
sebagai sumber utamanya, terdapat beberapa hasil yang menarik namun seirama
dengan apa yang terjadi pada jalur sektor 50 seperti di analisis sebelumnya.
Untuk menuju destinasi Rurwagehard dan Urbnonwagehard, jalur yang paling
kritis dampaknya adalah jalur langsung (terbesar) serta jalur yang melalui
sektor pertambangan dan penggalian lainnya terlebih dahulu (kedua terbesar). Di
lain pihak, dalam menuju destinasi Rurnonwageleadpro, jalur yang paling kritis
bukanlah jalur langsung, melainkan jalur yang melalui sektor pertambangan dan
penggalian lainnya terlebih dahulu. Komponen 5 , yaitu faktor produksi tenaga
kerja penerima upah dan gaji pada bidang produksi, operator alat angkutan,
manual dan buruh kasar di pedesaan, menjadi mata rantai jalur paling kritis
dalam menuju destinasi nomor 22 dan 23 (Lowrurnonagrihh
dan Midrurnonagrihh). Sedangkan jalur
paling kritis dalam menuju destinasi Lowurbnonagrihh adalah
dengan terlebih dahulu melalui faktor produksi tenaga kerja penerima upah dan
gaji pada bidang Produksi, Operator Alat
Angkutan, Manual dan buruh kasar di perkotaan. Namun demikian Urbnonwagehard menjadi mata ranti jalur
yang kritis urutan kedua dalam mencapai destinasi Lowurbnonagrihh.
Argumen
keterkaitan yang tinggi antara sektor konstruksi dengan sektor-sektor lainnya
terbukti di dalam SPA ini. Jalur yang paling kritis yang menghubungkan sektor
konstruksi dengan ketiga sektor destinasinya didominasi oleh jalur langsung.
Terdeteksi hanya ada satu jalur kritis tak langsung yang menghubungkan sektor
konstruksi dengan sektor kehutanan, yaitu rute yang melalui sektor industri kayu dan bahan kayu terlebih dahulu. Namun
demikian, tetap saja jalur yang paling kritis adalah jalur yang mengaitkan
sektor konstruksi dengan sektor kehutanan, industri kayu dan bahan kayu, serta pertambangan
dan penggalian lainnya secara langsung, bahkan jika harus melalui suatu sumbu
tertentu, sumbu pertengahan itu pun merupakan sektor produksi (lihat Tabel 6).
Tabel 5. Structural Path Analysis : Sektor Bank dan
Asuransi Bertindak sebagai Sumbu Awalan
Sumber
|
tujuan[16]
|
Rute paling “kritis”
|
Global
Influence
(GI)
|
Total
Influence
(TI)
|
Presentasi TI dari GI
(%)
|
finance
|
Rurwageadmin
|
50à9
|
0.050
|
0.035
|
68.6
|
finance
|
Urbwageadmin
|
50à10
50à51à10
50à52à10
|
0.265
|
0.199
0.003
0.003
|
75.1
1.0
1.0
|
finance
|
Cap
|
50à17
50à51à17
|
0.926
|
0.716
0.022
|
77.3
2.4
|
finance
|
midurbnonagrihh
|
50à10à26
50à17à26
|
0.080
|
0.027
0.016
|
33.1
19.9
|
finance
|
Upurbnonagrihh
|
50à10à27
50à17à27
|
0.278
|
0.085
0.060
|
30.4
21.4
|
finance
|
firm
|
50à17à28
50à51à17à28
|
0.676
|
0.503
0.016
|
74.3
2.3
|
finance
|
Housesector
|
50à51
50à10à27à51
|
0.092
|
0.036
0.002
|
38.7
2.7
|
finance
|
Foodcropsector
|
50à10à19à30
50à10à25à30
50à10à27à30
|
0.131
|
0.003
0.004
0.003
|
2.1
2.9
2.3
|
finance
|
restaurant
|
50à10à27à45
50à10à25à45
|
0.095
|
0.006
0.006
|
6.7
6.1
|
Sumber
: perhitungan penulis
Tabel 6. Structural Path Analysis : Sektor Konstruksi Bertindak sebagai
Sumbu Awalan
Sumber
|
tujuan[17]
|
Rute paling “kritis”
|
Global
Influence (GI)
|
Total
Influence
(TI)
|
Presentasi TI dari GI
(%)
|
Construction
|
Rurwagehard
|
43à5
43à36à5
|
0.088
|
0.051
0.008
|
57.6
9.1
|
Construction
|
Urbnonwagehard
|
43à8
43à36à8
|
0.048
|
0.020
0.006
|
42.8
13.1
|
Construction
|
Rurnonwageleadpro
|
43à15
43à36à15
|
0.005
|
0.001
0.002
|
23.6
29.8
|
Construction
|
Lowrurnonagrihh
|
43à5à22
43à17à22
|
0.156
|
0.040
0.009
|
25.3
6.0
|
Construction
|
Midrurnonagrihh
|
43à5à23
43à7à23
43à17à23
|
0.050
|
0.005
0.004
0.003
|
9.1
7.7
6.9
|
Construction
|
lowurbnonagrihh
|
43à6à25
43à8à25
43à17à25
|
0.206
|
0.045
0.014
0.012
|
21.8
6.7
6.0
|
Construction
|
Forestry
|
43à33
43à39à33
|
0.030
|
0.020
0.006
|
68.4
20.0
|
Construction
|
Othermining
|
43à36
|
0.070
|
0.068
|
96.8
|
Construction
|
wood
|
43à39
|
0.059
|
0.051
|
86.4
|
Sumber
: perhitungan penulis
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Usaha-usaha dalam mengatasi permasalahan terkait buruknya
infrastruktur serta terbatasnya akses terhadap pasar keuangan di Indonesia,
direpresentasikan oleh injeksi dana pada sektor 50 (bank dan asuransi), 42
(listrik, gas, dan air minum), serta 43 (konstruksi) serta kombinasinya di
dalam kerangka analisis tabel SAM (Social
Accounting Matrix). Hasil yang muncul dari analsis multiplier pada simulasi tipe kebijakan A1 sampai B7 menunjukkan
bahwa alokasi yang dominan dan / atau condong berpihak kepada sektor finansial
(sektor 50) akan membawa dampak yang paling besar bagi keseluruhan
perekonomian. Kebijakan yang ekstrim berpihak terhadap sektor konstruksi akan
membawa dampak terbesar keempat bagi perekonomian, sedangkan kebijakan yang
ekstrim mendukung perbaikan listrik (direpresentasikan oleh sektor 42) di
Indonesia, hanya akan memberikan dampak yang paling moderat dari seluruh tipe
kebijakan. Superioritas sektor finansial di dalam perekonomian Indonesia ini
disebabkan oleh : (i) strategi pembangunan Indonesia yang lebih mengedepankan
pola-pola efficiency-driven daripada
keberlimpahan sumberdaya-nya (factor-driven), serta (ii) adanya
kekuatan financial accelerator yang
menjadi ciri khas di dalam sektor keuangan.
Dampak ekonomi terbesar bagi penerimaan faktor produksi
tenaga kerja akan diciptakan oleh alokasi kebijakan yang ekstrim membelanjakan
seluruh injeksi dananya pada sektor konstruksi, sedangkan balas jasa kapital
(bukan tenaga kerja) tertinggi berasal dari kebijakan financial extremist. Rumah tangga pertanian, non-pertanian (baik di
desa maupun di kota), perusahaan, dan pemerintah akan merasakan dampak ekonomi
yang paling besar jika yang dipilih adalah alokasi kebijakan financial extremist. Hal ini dikarenakan
peran esensial sektor keuangan terhadap rumah tangga baik pertanian maupun
non-pertanian, yang berperan melalui jaring pengaman perekonomian keluarga di
tengah ketidakpastian yang tinggi (khususnya bagi rumah tangga buruh dan
pengusaha kelas rendah di sektor pertanian). Hasil pada simulasi B menunjukkan
bahwa terdapat ketergantungan yang tinggi dari rumah tangga pertanian terhadap
transfer-transfer dari pemerintah (subsidi). Ketergantungan tersebut sangat
potensial digantikan oleh kebijakan pemerintah yang berusaha untuk mengurangi
keterbatasan akses mereka terhadap sektor finansial. Tipe kebijakan financial extremist memberikan dampak
terbesar bagi perusahaan dan pemerintah karena tipe kebijakan tersebut bekerja
melalui peningkatan yang besar terhadap balas jasa kapital. Karena
keterkaitannya diantara sektor produksi yang sangat tinggi, tipe kebijakan construction extremist akan membawa
peningkatan output sektoral yang paling besar dari dampak-dampak yang bisa
ditimbulkan oleh tipe kebijakan yang lainnya.
Pada bagian Structural
Path Analysis jalur yang paling kritis dari sektor bank dan asuransi menuju
destinasinya pada blok faktor produksi adalah melalui jalur langsung. Dalam
rangka menuju destinasinya pada blok institusi, jalur yang paling kritis adalah
jalur-jalur yang melewati blok faktor produksi nomor 10 dan 17 dimana mereka
berperan sebagai mata rantainya. Bagi destinasi rumah tangga non-pertanian
bukan angkatan kerja serta pengusaha bebas kelas atas di perkotaan, jalur yang
paling kritis adalah dengan melewati rute mata rantai 10 (faktor produksi
penerima upah dan gaji pada bidang Tata Usaha, Penjualan, Jasa-Jasa di kota),
sedangkan bagi perusahaan jalur paling kritisnya yaitu jalur yang melewati
balas jasa terhadap kapital (17). Di lain pihak, jalur paling kritis dalam
perjalanannya menuju destinasi blok sektor produksi adalah melewati jalur
langsung (untuk destinasi sektor perumahan) serta melewati jalur faktor
produksi tenaga kerja di perkotaan (clerical)
dan rumah tangga non-pertanian pengusaha bebas di perkotaan (untuk destinasi
sektor tanaman pangan dan restoran).
Pada bagian SPA yang bermula dari sektor konstruksi, jalur
langsung mendominasi destinasi yang menuju blok faktor produksi dan sektor (activities). Di lain pihak, jalur paling
kritis bagi destinasi blok institusi, yaitu rumah tangga pertanian pengusaha bebas kelas bawah (22) dan bukan
angkatan kerja (23) di pedesaan, adalah dengan terlebih dahulu melalui mata
rantai nomor 5 (faktor produksi tenaga kerja penerima upah gaji pada bidang Produksi,
Operator Alat Angkutan, Manual dan buruh
kasar di pedesaan. Sedangkan jalur untuk menuju blok institusi nomor 25 (rumah
tangga pertanian pengusaha bebas kelas
bawah di perkotaan) adalah dengan terlebih dahulu melalui blok institusi nomor
6 (faktor produksi tenaga kerja penerima upah gaji pada bidang Produksi,
Operator Alat Angkutan, Manual dan buruh
kasar di perkotaan).
Implikasi
Kebijakan dan Saran
Bagi rezim yang ingin memberikan dampak yang besar bagi
keseluruhan agen di dalam perekonomian, rumah tangga, perusahaan, dan
pemerintahan itu sendiri, maka kebijakan yang tepat adalah dengan cara mengalokasikan
injeksi dana ke dalam sektor bank dan asuransi, sebagai representasi
usaha-usaha mengatasi keterbatasan akses pasar finansial. Namun, jika target
utama kebijakan pemerintah adalah untuk memberikan manfaat yang
sebesar-besarnya bagi tenaga kerja dan sektor-sektor produksi di dalam
perekonomian, maka kebijakan yang tepat adalah menginjeksikan dana tersebut
melalui sektor konstruksi (usaha-usaha memperbaiki kualitas infrastruktur).
Saran
yang penting dilakukan untuk penelitian sejenis di waktu mendatang adalah
melakukan simulasi pada SAM tahun 2008 untuk mengetahui trend dampak kebijakan pada struktur perekonomian yang relatif
lebih baru tersebut. Serta dilakukannya simulasi dampak sektor pasar finansial
dengan menggunakan tabel Financial
SAM (F SAM) agar dampak dan jalur strukturalnya dapat diketahui dengan lebih
detail dan komprehensif khusus yang terkait dunia finansial saja.
DAFTAR PUSTAKA
Bautista, R. 2000. Agriculture-Based
Development: A SAM Perspective on Central Vietnam. International Food
Policy Institute, Washington DC.
Hartono, Djoni. 2011. Materi kuliah Model Ekonomi. Semester
Gasal 2011/2012 PPIE Fakultas Ilmu Ekonomi Indonesia.
Iqbal, Z. and R. Siddiqui. 1998. Salient Features of The Social Accounting Matrix for Pakistan, 1989-1990.
Paper presented at the MIMAP. Third Annual Meeting, November 2-6, 1998.
Kathmandu, Nepal. Google. Pdf. (12-11-03).
Makmun dan Abdurahman.
2003. “Dampak Kenaikan Tarif Dasar
Listrik terhadap Konsumsi Listrik dan Pendapatan Masyarakat”. Jurnal Keuangan
dan Moneter Vol. 6 No. 2.
Nokkala, M. 2002. Social
Accounting Matrices and Sectoral Analysis: The Case of Agriculturral Sector
Investment in Zambia.
Schwab, K. 2011. The Global Competitiveness Report 2011-2012.
World Economic Forum, Geneva.
Sugiyono, Agus. 2009. “Dampak
Kebijakan Energi terhadap Perekonomian di Indonesia: Model Komputasi
Keseimbangan Umum”. Kolokuim Nasional Program Doktor, Yogyakarta,
11-12 Desember 2009.
Thorbecke, E. 1996. A Multiplier Decomposition Method to Analysis Poverty Alleviation.
Journal of Development Economics, (48) : 279-300.
Vetrivel, S.C. dan
Kumarmangalam, S.C. 2010. Role of
Microfinance Institutions in Rural Development. International Journal of
Information technology and Knowledge management, Vol. 2, No.2, pp. 435-441
Wagner, J.E. 1999. Development
a Social Accounting Matrix to Examine Tourism in the Area de Proteçäo Ambiental
de Guaraqueçaba, Brazil. Working Paper No. 58.
World Bank. 2012. Doing Business 2012, Economy Profile :
Indonesia. The World bank, Washington
Yaron, J., McDOnald Benjamin,
dan Stephanie Charitonenko. 1998. Promoting
Efficient Rural Financial Intermediation. The World Bank Research Observer,
Vol. 13, No. 2, pp. 147-170
Zhang, Z. dan Wenlang Zhang.
2009. The road to Recovery : Fiscal
Stimulus, Financial Sector Rehabilitation, and Exit from Policy Easing.
Hong Kong Monetary Authority working paper 18/2009.
----------------. 2001. The Social Accounting Matrix: Deterministic or Stochastic Analysis
Concept?. Paper prepared for a Conference in Honor of Graham Pyatt’s
Retirement, at the Institute of Social Studies, The Hague, Netherlands,
November 29 and 30, 2001. Pdf. (12-11-03).
[1] Statistik
Ekonomi dan Keuangan Indonesia (SEKI), diakses dari www.bi.go.id pada bulan Desember
2011
[2] Lihat footnote 1
[3] “menjaga
momentum” yang dimaksud disini adalah memanfaatkan momen pertumbuhan ekonomi
yang tetap terjaga tersebut untuk sebesar-besarnya perbaikan-perbaikan mendasar
pada sektor riil serta reformasi kebijakan yang dapat mendorong peningkatan
kesejahteraan masyarakat
[4] Merupakan
pilar ke-4 dari 12 pilar pembentuk GCI. Pilar ini mengukur bagaimana kualitas
kualitas postur fiscal, moneter, dan indicator makroekonomi lainnya yang
relevan dalam membentuk tingkat daya saing suatu Negara (detail perhitungan dan
scoring system dapat dilihat di “The Global Competitiveness Report 2011-2012
[5] Hal ini
termanifestasikan oleh meningkatnya country credit rating Indonesia menjadi
Investment Grade (BBB-)
[6] Di dalam
laporan Doing Business 2012 dan Global Competitiveness Report 2011-2012
[7] Terbatasnya
akses permodalan disini bisa berarti : (i) individu tidak terjangkau kegiatan
bank atau lembaga keuangan lainnya, (ii) bunga pinjaman masih terlalu tinggi
atau prosedur terlalu rumit, (iii) pasar keuangan tidak efisien sehingga tidak
bisa memperluas skala ekonominya untuk menjangkau pasar yang lebih banyak lagi
[8] Di dalam
perencanaan kebijakan, terkadang pemilihan kebijakan yang akan dieksekusi bukan
hanya didasarkan pada opsi mana yang paling besar dampaknya pada perekonomian
secara keseluruhan, namun dilihat juga dampaknya pada rumah tangga, tenaga
kerja baik pertanian dan non pertanian, atau desa-kota, atau bahkan dilihat
dampaknya terhadap sektor-sektor perekonomian.
[9] Usaha
untuk memperbaiki kendala akses terhadap pasar finansial bisa dalam bentuk :
(i) memberikan subsidi bunga sehingga pinjaman kredit semakin lebih murah
(terjangkau) dan membuat lebih banyak masyarakat bisa mendapatkan akses
terhadap pasar finansial, (ii) membuat suatu skema kredit baru dengan suku
bunga yang murah seperti Kredit Usaha Rakyat dan sebagainya, dan (iii)
membangun infrastruktur yang baik di dalam sistem perbankan (bisa dalam bentuk
IT dll) agar informasi profil resiko nasabah dapat dinilai dengan lebih valid
sehingga lebih banyak orang akan mendapatkan kesempatan meng-akses pasar
finansial (Lihat Doing Business Report 2011-2012)
[10] Dengan kata
lain pengeluaran pemerintah berkurang sebesar 900 karena harus dialokasikan
untuk menginjeksi ketiga sektor tersebut
[11] Karena
tidak diketahui tingkat kepentingan relatif dari sektor 42 dan 43 di dalam
perekonomian, maka penulis mengasumsikan bahwa pada biased policy, kebijakan
yang condong ke arah baik finansial maupun infrastruktur harus melakukan
alokasi yang seimbang pada sektor 42 (listrik, gas, dan air minum) dan 43
(konstruksi)
[12] Hal
ini terlebih lagi karena supply dan kualitas infrastruktur bukanlah lagi
komponen utama yang menentukan tingkat daya saing bagi negara yang sedang
berada pada tahap pembangunan efficiency-driven
[13] dimana
pemerintah mengurangi belanjanya sebesar 90 triliun untuk kemudian disalurkan
kepada sektor 50, 42, dan 43
[14] Hal ini terjadi
karena perusahaan adalah basis utama pemerintah dalam memperoleh pajak
[15] Disajikan
dalam kode di dalam table SAM, f = factor produksi, inst = institusi, sector =
sektor produksi (activities)
[16] Rurwageadmin
= Faktor produksi tenaga kerja penerima upah dan gaji pada bidang tata usaha,
penjualan, dan jasa-jasa di pedesaan; Urbwageadmin = Faktor produksi tenaga
kerja penerima upah dan gaji pada bidang tata usaha, penjualan, dan jasa-jasa
di perkotaan; Cap = Bukan tenaga kerja (kapital); midurbnonagrihh = rumah
tangga non-pertanian bukan tenaga kerja dan golongan tidak jelas di perkotaan;
Upurbnonagrihh = rumah tangga non-pertanian golongan pengusaha bebas kelas atas
di perkotaan; firm = perusahaan; housesector = sektor real estate dan jasa
perusahaan; foodcropsector = sektor tanaman pangan; restaurant = sektor
restaurant.
[17] Rurwagehard =
faktor produksi tenaga kerja penerima upah dan gaji pada bidang produksi,
operator alat angkutan, manual dan buruh kasar di pedesaan; urbnonwagehard =
faktor produksi tenaga kerja bukan penerima upah dan gaji pada bidang produksi,
operator alat angkutan, manual dan buruh kasar di perkotaan; rurnonwageleadpro
= faktor produksi tenaga kerja bukan penerima upah dan gaji pada bidang
Kepemimpinan, Ketatalaksanaan, Militer, Profesional dan Teknisi di pedesaan;
lowrurnonagrihh = rumah tangga non pertanian pengusaha bebas kalangan bawah di
pedesaan; midrurnonagrihh = rumah tangga non pertanian golongan bukan angkatan
kerja dan golongan tidak jelas di pedesaan; lowurbnonagrihh = rumah tangga
non-pertanian pengusaha bebas kalangan bawah di perkotaan; forestry = sektor
kehutanan dan perburuan; othermining = pertambangan dan penggalian lainnya;
wood = industry kayu & barang dari kayu
(Ditulis bersama dengan Riandy Laksono dan Satria Kusuma Diyuda)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar