1.
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Zakat sebagai salah satu rukun Islam mempunyai ciri khas yang berbeda
karena ia tidak hanya berdimensi vertikal seperti rukun Islam lainnya –yaitu
hubungan ibadah kepada Allah SWT– tetapi juga berdimensi horizontal yaitu
hubungan ibadah terhadap sesama manusia. Dimensi
horizontal ini mempunyai efek yang luas: secara sosial diharapkan dapat
membangun masyarakat madani atas dasar silaturahmi, dan secara ekonomi menurut
Mustaq Ahmad adalah sumber utama kas negara dan sekaligus merupakan sokoguru
dari kehidupan ekonomi yang dicanangkan Alquran.
Zakat merupakan
injeksi dalam perekonomian sehingga memunculkan kekuatan baru dalam
penghimpunan investasi yang signifikan sehingga akan mendorong peningkatan
produksi dalam siklus perekonomian suatu daerah. Bahkan secara makro zakat akan
dapat meningkatkan agregat demand karena meningkatnya purchasing
power (daya beli) masyarakat atas barang-barang dan jasa. Ketika zakat
diiplementasikan secara tersistem, dalam artian bahwa zakat adalah peraturan
yang mengikat dalam diri setiap muslim dengan peran pemerintah sebagai
regulator sekaligus badan amil zakatnya, maka secara pasti akan menyebabkan
munculnya lapangan-lapangan kerja baru yang sangat luas sehingga setiap warga
negara mempunyai lahan pekerjaan dan otomatis akan terjadi migrasi pengangguran
menjadi karyawan dalam jumlah yang sangat besar.
Zakat juga berperan
penting dalam mewujudkan terciptanya keadilan dalam bidang ekonomi di mana
seluruh anggota warga negara mempunyai sumber pendapatan dan income untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari
dalam rangka menjalankan roda kehidupan dimuka bumi ini. Oleh karena diperlukan
lapangan pekerjaan yang cukup sebagai sumber atau ladang pendapatan yang halal.
Dengan zakat maka akan terkumpul dana baru (fresh capital) yang bebas
dari tekanan-tekanan apapun karena memang bersifat sukarela dan merupakan hak
para kaum miskin (Amma, 2004).
Jika melihat fakta Indonesia,
dengan memiliki sekitar 220 juta penduduk yang mayoritas muslim, tentunya
mempunyai potensi zakat yang luar biasa yang bisa mengangkat perekonomian
rakyat. Sebagai perbandingan, Malaysia melalui Pusat Pungutan Zakat, dari 3
juta jiwa penduduk dapat mengumpulkan sekitar Rp.150 miliar. Kemudian,
Singapura melalui Majelis Ugama Singapura, dari 450.000 penduduk dapat
mengumpulkan sekitar Rp 55 miliar (tahun 2004). Sementara, Indonesia melalui
Badan Amil Zakat Infak Sadaqah (BAZIS), dari 220 juta penduduknya di mana
80%nya adalah muslim hanya mengumpulkan sekitar Rp 830 milyar per tahun (ini menurut data pengumpulan zakat
oleh lembaga, baik BAZ maupun LAZ). Itu artinya hanya lebih kurang 0,043% saja
dari nilai potensinya. Sungguh sangat mengecewakan.
Padahal, secara matematis, semestinya minimal yang kita dapatkan adalah sekitar
angka Rp 19,3 trilyun per tahun. Dari data di atas, terlihat bahwa potensi
zakat yang berhasil digali di Indonesia
masih sangat kecil.
Di sisi lain, angka kemiskinan dari hari ke hari
grafiknya semakin naik. Menurut data yang ada, angkanya saat ini sudah mencapai
108,78 juta jiwa atau sekitar 49% dari penduduk Indonesia (Media Indonesia, 12
Juli 2008). Apalagi nampaknya krisis multi dimensi ini masih akan terus
berlanjut. Memang masalah kemiskinan merupakan tanggung jawab negara. Namun
melihat kondisi tersebut, setidaknya dana zakat (beserta infaq, shadaqah,
wakaf, dan sejenisnya) dengan potensinya yang demikian besar tadi dapat
berperan dalam membantu pemerintah dalam mengatasi berbagai problem sosial
tadi.
Tidak tercapainya
pemerataan kekayaan atau terjadinya ketimpangan dalam sistem perekonomian
dewasa ini yang ditandai dengan munculnya kemiskinan yang bersifat global dan
struktural adalah akibat sistem yang berlaku sekarang ini, bukan karena
kemalasan, langkanya sumber daya alam, atau karena korupsi para pejabat
pemerintahan sebagaimana orang banyak perdebatkan. Sebagaimana yang dikemukakan
oleh Myrdal, ”Ketidakmerataan sosial
dalam segala bentuknya bertentangan dengan produktifitas”. Itu artinya
bahwa sistem yang ada sekarang ini adalah menghambat produktifitas suatu bangsa
bahkan dapat menyebabkan tejadinya eksploitasi yang berlebihan oleh
bangsa-bangsa maju terhadap negara-negara berkembang dan terbelakang. Ini
menunjukan bahwa sistem yang ada dengan segala instrumennya telah gagal dalam
melaksanakan tugasnya yaitu menciptakan pemerataan sosial dalam kehidupan.
Berbicara zakat, yang terpenting dan tidak boleh
dilupakan adalah peran para amil zakat selaku pengemban amanah pengelolaan
dana-dana itu. Jika amil zakat baik, maka tujuh asnaf mustahik lainnya insya
Allah akan menjadi baik. Tapi jika amil zakatnya tidak baik, maka jangan
diharap tujuh asnaf mustahik yang lain akan menjadi baik. Itulah nilai
strategisnya amil zakat. Dengan kata lain, hal terpenting dari zakat adalah
bagaimana mengelolanya (manajemennya). Saat ini di Indonesia terdapat sekitar
147 lembaga amil zakat dan 95 badan amil zakat menurut data Forum Zakat (FOZ)
tahun 2006. Hal-hal itulah yang menjadi latar belakang perlu dibuatnya
peraturan perundang-undangan tentang pengelolaan zakat. Saat ini telah ada
berbagai peraturan yang mengatur masalah ini, yaitu:
- Undang-Undang Nomor 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat.
- Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000 tentang Perubahan Ketiga atas UU No. 7 Tahun 1983 Tentang Pajak Penghasilan
- Keputusan Menteri Agama Nomor 581 Tahun 1999 tentang Pelaksanaan UU No. 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat
- Keputusan Dirjen Bimas Islam dan Urusan Haji Nomor D/291 tentang Pedoman Teknis Pengelolaan Zakat.
Tentunya
dengan adanya aturan-aturan tersebut, pengelolaan zakat yang dilakukan oleh
organisasi pengelola zakat, baik BAZ maupun LAZ, diharapkan bisa lebih baik.
Sehingga kepercayaan masyarakat muzakki kepada organisasi
pengelola zakat dapat meningkat.
1.2 Maksud dan Tujuan Penelitian
Penelitian ini dimaksudkan untuk
mengidentifikasi hal-hal yang menjadi masalah dalam pengelolaan zakat di
Indonesia, kemudian untuk dapat dipakai sebagai landasan dalam memberikan
berbagai alternatif pemecahan dan strategi kebijakan yang tepat untuk
mengatasi masalah tersebut.
Tujuannya adalah untuk memberikan
masukan-masukan kepada stakeholder terkait
seperti organisasi pengelola zakat, ataupun bagi Departemen Agama sebagai wakil
pemerintah yang mengurusi ihwal zakat untuk dapat mengambil policy action yang
tepat untuk mengatasi masalah-masalah yang ada, dalam rangka
mencapai tujuan yang diinginkan.
1.3 Metodologi
Untuk sampai kepada tujuan penelitian yang
diinginkan, beberapa tahapan
dilakukan. Focus Group
Discussion (FGD) dan indepth
interview dilakukan untuk
mendapatkan gambaran mendalam mengenai problem pengelolaan
zakat ini. Hasilnya kemudian dipergunakan sebagai dasar merancang model dalam kerangka
metode Analytic Network Process (ANP)
beserta model kuesionernya untuk
mendapatkan data yang diperlukan. Setelah itu, survey
menggunakan kuesioner ini
dilakukan kepada pakar dan praktisi zakat yang dianggap paling
menguasai dan ahli tentang
masalah ini. Untuk melengkapi analisis dilakukan benchmarking di beberapa
negara. Secara lebih detail, tahapan tersebut adalah:
1. Focus Group
Discussion (FGD), yaitu suatu forum diskusi yang diadakan untuk memperoleh data
mengenai hal-hal yang menjadi akar problem pengelolaan zakat di Indonesia, serta
pandangan-pandangan dan
harapan-harapan dari masing-masing responden. Responden FGD adalah kalangan
organisasi pengelola zakat sendiri, akademisi, pakar, Masyarakat Ekonomi Syariah (MES), MUI,
Dewan Syariah Nasional,
maupun Departemen Agama sebagai representasi pemerintah.
2. Indepth
Interview, yaitu wawancara secara mendalam untuk menjaring informasi yang lebih
detil khususnya dari pakar-pakar zakat maupun praktisi organisasi pengelola
zakat yang tidak terjaring di dalam FGD.
3. Benchmarking,
yaitu melihat kondisi dan praktek pengelolaan zakat di negara lain dan
alternatif solusi/kebijakan
yang mereka terapkan. Hal ini dilakukan dengan survey terhadap literatur
yang ada.
4. Survey,
yaitu pengumpulan data yang dititikberatkan bagi kalangan praktisi organisasi
pengelola zakat maupun pakar untuk mendapatkan data-data yang diperlukan untuk
analisa kuantitatif
dalam kerangka analisis yang akan digunakan kemudian.
5. Metode
Analisis, yaitu metoda analisis kuantitatif dengan menggunakan pendekatan Analytic
Network Process (ANP) untuk mencari masalah-masalah utama yang paling dominan dan menentukan
urutan prioritasnya, untuk
dipergunakan mencari prioritas alternatif solusi dan strategi
kebijakan yang tepat,
sehingga dapat memberikan masukan policy recommendations yang
tepat dan optimal.
2. LANDASAN TEORI
2.1 Konsep Pengelolaan (Manajemen)
Seperti diketahui, ilmu kelola-mengelola (manajemen)
berkembang terus hingga saat ini. Ilmu manajemen memberikan pemahaman kepada
kita tentang pendekatan ataupun tata cara penting dalam meneliti, menganalisis
dan memecahkan masalah-masalah yang berkaitan dengan hal pengelolaan terhadap
sesuatu (Dalimunthe, 2007).
IImu manajemen merupakan salah satu disiplin ilmu
sosial. Pada tahun 1886 Frederick W. Taylor melakukan suatu percobaan time and motion study dengan teorinya ban berjalan. Dari sini lahirlah konsep teori efisiensi dan
efektivitas. Kemudian Taylor menulis buku berjudul The Principle of Scientific Management (1911) yang merupakan awal dari lahirnya manajemen sebagai ilmu. Selanjutnya
ilmu manajemen merupakan kumpulan disiplin ilmu sosial yang mempelajari dan
melihat manajemen sebagai fenomena dari masyarakat modem. Di mana fenomena
masyarakat modem itu merupakan gejala sosial yang membawa perubahan terhadap
organisasi.
Pada kenyataannya manajemen sulit dedifenisikan
karena tidak ada defenisi manajemen yang diterima secara universal. Mary Parker Follet mendefenisikan manajemen sebagai seni dalam menyelesaikan pekerjaan melalui orang lain.
Defenisi ini mengandung arti bahwa para manajer untuk mencapai tujuan organisasi melalui pengaturan orang lain untuk melaksanakan berbagai tugas yang mungkin dilakukan.
Manajemen memang bisa berarti seperti itu, tetapi bisa juga mempunyai
pengertian lebih dari pada itu. Sehingga dalam kenyataannya tidak ada defenisi yang
digunakan secara konsisten oleh semua orang. Stoner mengemukakan suatu defenisi yang
lebih kompleks yaitu sebagai berikut:
"Manajemen adalah suatu proses perencanaan, pengorganisasian,
pengarahan dan pengawasan, usaha-usaha para anggota organisasi dan penggunaan
sumber daya-sumber daya organisasi lainnya agar rnencapai tujuan organisasi
yang telah ditetapkan".
Dari defenisi di atas terlihat bahwa Stoner telah
menggunakan kata "proses", bukan "seni". Mengartikan manajernen sebagai "seni" mengandung
arti bahwa hal itu adalah kemampuan atau ketrampilan pribadi. Sedangkan suatu
"proses" adalah cara sistematis untuk rnelakukan pekerjaan. Manajemen
didefenisikan sebagai proses karena semua manajer tanpa harus memperhatikan kecakapan
atau ketrampilan khusus, harus melaksanakan kegiatan-kegiatan yang saling
berkaitan dalam pencapaian tujuan yang diinginkan.
Berdasarkan uraian diatas disimpulkan bahwa pada
dasarnya manajemen merupakan kerjasama dengan orang-orang untuk menentukan,
menginterpretasikan dan mencapai tujuan-tujuan organisasi dengan pelaksanaan
fungsi-fungsi perencanaan (planning), pengorganisasian (organizing), pengarahan
(actuating), dan pengawasan (controlling).
Menurut Dalimunthe
(2007), mempelajari dan memahami teori manajemen menjadi penting dan urgen. Ada
beberapa alasan untuk mengetahui dan mempelajari perkembangan ilmu manajemen,
yaitu:
1. Membentuk
pandangan kita mengenai organisasi. Mempelajari teori manajemen juga memberi petunjuk
kepada kita di mana kita mendapatkan beberapa ide mengenai organisasi dan
manusia di dalamnya.
2. Membuat
kita sadar mengenai lingkungan usaha. Mempelajari berbagai teori manajemen
berdasarkan perkembangannya, kita dapat memahami bahwa setiap teori adalah karena
berdasarkan lingkungannya yaitu ekonomi, sosial, politik dan pengaruh teknologi
yang dirasakan pada waktu dan tempat terjadinya peristiwa tertentu. Pengetahuan
ini membantu setiap orang untuk memahami apa sebabnya teori tertentu cocok
terhadap keadaan yang berbeda.
3. Mengarahkan
terhadap keputusan manajemen. Mempelajari evolusi manajemen membantu memahami
proses dasar sehingga dapat memilih suatu tindakan yang efektif. Pada
hakekatnya suatu teori merupakan asumsi-asumsi yang koheren/logis, untuk
menjelaskan beberapa fakta yang diobservasi. Teori yang absah, dapat
memprediksi apa yang akan terjadi pada situasi tertentu. Dengan adanya
pengetahuan ini, kita bisa menerapkan teori manajemen yang berbeda terhadap
situasi yang berbeda.
4. Merupakan
sumber ide baru. Mempelajari perkembangan teori manajemen memungkinkan kita
pada suatu kesempatan mengambil pandangan yang berbeda dari situasi
sehari-hari.
2.2 Prinsip Dasar Manajemen Organisasi
Pengelola Zakat
Setelah
menjelaskan tentang konsep dasar pengelolaan (manajemen), berikut ini akan
ditampilkan beberapa hal mendasar tentang manajemen organisasi pengelola zakat.
Kemudian kita sebut dengan prinsip-prinsip dasar manajemen organisasi pengelola
zakat (OPZ) yang mencakup tiga aspek yakni: (a) aspek kelembagaan, (b) aspek
sumber daya manusia, dan (c) aspek sistem pengelolaan.
A.
Aspek Kelembagaan
Dari
aspek kelembagaan, sebuah OPZ seharusnya memperhatikan berbagai faktor berikut:
(a) Visi dan misi yang jelas. Hanya dengan visi dan misi inilah maka
aktivitas/kegiatan akan terarah dengan baik. Jangan sampai program yang dibuat
cenderung ‘sekedar bagi-bagi uang’. Apalagi tanpa disadari dibuat program
‘pelestarian kemiskinan’, (b) Kedudukan dan Sifat Lembaga yang
independen, netral, tidak berpolitik dan tidak diskriminasi. Artinya, lembaga
ini tidak mempunyai ketergantungan kepada orang-orang tertentu atau lembaga
lain. Lembaga yang demikian akan lebih leluasa untuk memberikan pertanggungjawaban
kepada masyarakat donatur, dan (c) Legalitas dan Struktur Organisasi.
Khususnya untuk LAZ, badan hukum yang dianjurkan adalah Yayasan yang terdaftar
pada akta notaris dan pengadilan negeri. Struktur organisasi seramping mungkin
dan disesuaikan dengan kebutuhan, sehingga organisasi akan lincah dan efisien.
B.
Aspek Sumber Daya Manusia (SDM)
SDM
merupakan asset yang paling berharga. Sehingga pemilihan siapa yang akan
menjadi amil zakat harus dilakukan dengan hati-hati. Untuk itu perlu
diperhatikan hal-hal sebagai berikut:
(1) Merubah Paradigma Amil Zakat
Begitu mendengar pengelolaan zakat, sering yang
tergambar dalam benak kita adalah pengelolaan yang tradisional, dikerjakan
dengan waktu sisa, SDM-nya paruh waktu, pengelolanya tidak boleh digaji, dan
seterusnya. Sudah saatnya kita merubah paradigma dan cara berpikir kita. Amil
zakat adalah sebuah profesi. Konsekuensinya dia harus professional. Untuk
professional, salah satunya harus bekerja purna waktu (full time). Untuk itu
harus digaji secara layak, sehingga dia bisa mencurahkan segala potensinya
untuk mengelola dana zakat secara baik. Jangan sampai si amil zakat masih harus
mencari tambahan penghasilan, yang pada akhirnya dapat mengganggu pekerjaannya
selaku amil zakat.
(2) Kualifikasi SDM
Jika kita mengacu di jaman Rasulullah SAW, yang
dipilih dan diangkat sebagai amil zakat merupakan orang-orang pilihan. Orang
yang memiliki kualifikasi tertentu. Secara umum kualifikasi yang harus dimiliki
oleh amil zakat adalah: muslim, amanah, dan paham fikih zakat.
C.
Sistem Pengelolaan
OPZ
harus memiliki sistem pengelolaan yang baik. Unsur-unsur yang harus
diperhatikan adalah: (a) Memiliki sistem, prosedur dan aturan yang jelas, (b)
Manajemen terbuka, (c) Mempunyai rencana kerja (activity plan), (d)
Memiliki Komite Penyaluran (lending committee), (e)
Memiliki sistem akuntansi dan manajemen keuangan, (f) Bersedia
diaudit, (g) Menjunjung transparansi, dan (h) Senantiasa melakukan perbaikan terus-menerus (continous improvement).
2.3 Identifikasi Problem
Pengelolaan Zakat
Terdapat beberapa masalah dalam
hal pengelolaan zakat di Indonesia sehingga berimplikasi tidak maksimalnya
proses pengelolaan, pengumpulan hingga penyaluran zakat. Berikut ini adalah
problem-problem tersebut yang berhasil dihimpun dari berbagai literatur.
1. Lemahnya sosialisasi
UU nomor 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat beserta peraturan di
bawahnya. Kenyataan di lapangan menunjukkan, masih sangat banyak masyarakat
yang belum mengetahui dan memahami peraturan perundang-undangan tentang
pengelolaan zakat ini. Padahal UU no. 38/1999 sudah berjalan hampir 2 tahun.
2. Belum adanya
Peraturan Pemerintah (PP) atau Surat Keputusan Bersama (SKB) UU no. 38/1999 setidaknya
melibatkan tiga departemen: Departemen Agama, Departemen Dalam Negeri dan
Otonomi Daerah, dan Departemen Keuangan. Tanpa dipayungi oleh PP atau SKB,
dapat diprediksi bahwa implementasi UU no. 38/1999 tersebut tidak akan dapat
berjalan secara mulus.
3. Standardisasi
Mutu SDM Amil Zakat. Agar SDM yang menjadi amil zakat adalah orang-orang
yang benar-benar memenuhi kualifikasi dan profesional, maka diperlukan suatu
standar kualifikasi SDM Amil Zakat. Pada akhirnya, dibutuhkan suatu sistem
sertifikasi dan uji kelayakan (fit and proper test) terhadap SDM yang akan
berkiprah sebagai amil zakat.
4. Standardisasi
Lembaga OPZ. Selain standardisasi SDM, diperlukan juga standardisasi
lembaga OPZ. Hal ini berguna sebagai petunjuk bagi setiap pihak yang ingin
mendirikan OPZ. Tujuannya agar lembaga OPZ ini benar-benar bisa berjalan secara
baik dan dapat dipertanggungjawabkan.
5. Masih lemahnya akuntabilitas publik dan Open Management, selain masih lemahnya kapasitas pengorganisasian dan
manajerial. Pelembagaan mekanisme pertanggung jawaban publik dalam tingkat
standar masih menjadi fenomena langka. Justru lembaga filantropi yang dikelola secara swadaya
masyarakat yang nampaknya paling siap menerapkan asas transparansi dan akuntabilitas
publik, terutama DD dan PKPU yang dalam hal ini telah memanfaatkan jasa akuntan
publik.
6. Kesadaran umat Islam untuk mengeluarkan ZIS masih terbilang rendah
akibat pemahaman yang salah dengan menganggap membayar ZIS akan mengurangi
hartanya. Padahal, apabila dana masyarakat terutama ZIS bisa dioptimalkan,
jelas akan membuat Indonesia tidak perlu bergantung pada bantuan dari
negara-negara lain, seperti saat ini hingga pemerintah tak bisa berkutik dengan
"pesanan" negara-negara luar.
7. Paradigma umat yang keliru akan formalitas zakat. Artinya, zakat
hanya dianggap sebagai kewajiban normatif, tanpa memperhatikan efeknya bagi
pemberdayaan ekonomi umat. Akibatnya, semangat keadilan ekonomi dalam
implementasi zakat menjadi hilang. Orientasi zakat tidak diarahkan pada
pemberdayaan ekonomi masyarakat, tapi lebih karena ia merupakan kewajiban dari
Tuhan. Bahkan, tidak sedikit muzakki yang mengeluarkan zakat disertai maksud
untuk menyucikan harta atau supaya hartanya bertambah (berkah). Ini artinya, muzakki
membayarkan zakat untuk kepentingan subyektivitasnya sendiri. Memang tidak
salah, tapi secara tidak langsung, substansi dari perintah zakat serta efeknya
bagi perekonomian masyarakat menjadi terabaikan.
8. Fiqh Zakat yang “Usang” dan tidak sesuai zaman, tentang Nishab,
Objek Zakat, Penentuan Mustahiq, dll.
9. Model pendistribusian
dana yang tidak menyertakan pemetaan ekonomi dan sosial. Tidak sedikit
muzakki yang langsung memberikan zakat kepada fakir miskin tanpa memperhatikan
apakah dana zakat tersebut mampu meningkatkan level kesejahteraan mereka atau
tidak. Di sinilah pentingnya amil dalam proses penyaluran zakat. Lembaga amil
yang profesional sangat diperlukan agar proses pengumpulan dana (fundraising)
serta pendistribusiannya dapat dilakukan secara efektif dan efisien. Salah satu
yang membuatnya efektif dan efisien adalah dengan melakukan pemetaan sosial dan
ekonomi.
10. Pendayagunaan
zakat hanya mengambil bentuk bantuan konsumtif yang hanya bersifat peringanan
beban sesaat (Temporary Relief). Tidak forward
looking yang sifatnya lebih jangka panjang, melainkan hanya untuk manfaat
jangka pendek semata.
11. Kurangnya
inovasi di bidang distribusi dan pemanfaatan dana zakat. Hanya terbatas
pada masalah-masalah charity:
pembangunan mesjid dan madrasah, penyantunan fakir-miskin, anak yatim dan
bantuan korban bencana, dan bukan program-program yang sifatnya noncharity seperti: advokasi kebijakan
publik, bantuan hukum, HAM, perlindungan anak, pelestarian lingkungan dan
pemberdayaan perempuan.
12. Masyarakat
yang mengeluarkan zakat (muzakki) lebih memilih dan fokus kepada “orang” dan
bukan pada “lembaga”. Sehingga kurang tertatanya pendayagunaan zakat dan
beberapa efek negatif lain seperti: hanya menampilkan parade kemiskinan, tidak
memberdayakan, tidak mendidik, menghasilkan ketergantungan, salah sasaran
hingga salah kelola. Ini menandakan bahwa tingkat kepercayaan masyarakat
terhadap organisasi pengelola zakat masih terhitung rendah.
13. Belum
adanya lembaga independen yang mengatur dan mengawasi semua pengelola dan
penyalur zakat secara maksimal, sehingga penggunaan dan manfaat zakat dapat
benar-benar dirasakan oleh masyarakat (mustahiq).
14. Tidak lengkapnya mekanisme dalam
sistem perzakatan nasional, baik dari pengelolaan, pengawasan dan
perundang-undangan. Tiga
unsur pokok inilah, yakni pengelolaan, pengawasan dan perundang-undangan, yang
secara spesifik belum eksplisit termuat dalam UU No. 38 Tahun 1999.
15. Belum
tersedianya cetak biru (blue print) konstruksi perzakatan nasional sebagai
bingkai dan acuan pengaturan dalam pelaksanaan pengelolaan zakat di Indonesia.
Siapa yang operasional, siapa yang menjadi pengawas dan siapa yang mengupayakan
perundang-undangan zakat sehingga sistem pengelolaan zakat terstruktur, operasi
serta sasaran pencapaiannya menjadi terarah dan jelas.
3. METODOLOGI
PENELITIAN
3.1 Jenis
dan Sumber Data
Dalam metodologi Analytic Network
Process (ANP), data yang digunakan merupakan data primer yang didapat dari
hasil wawancara (indepth interview) dengan
pakar, praktisi, dan regulator, yang memiliki pemahaman tentang permasalahan
yang dibahas. Dilanjutkan dengan pengisian kuesioner pada pertemuan kedua
dengan responden. Data siap olah dalam ANP adalah variabel-variabel penilaian
responden terhadap masalah yang menjadi objek penelitian dalam skala numerik
(Jarkasih, 2008).
3.2 Populasi dan Sampel
Pemilihan responden pada penelitian ini dilakukan secara purposive sample (sengaja) dengan
mempertimbangkan pemahaman responden tersebut terhadap permasalahan dalam pengelolaan
zakat di Indonesia.
Jumlah responden dalam penelitian ini terdiri dari lima orang, dengan
pertimbangan bahwa mereka cukup berkompeten dalam mewakili keseluruhan
populasi. Dalam analisis ANP jumlah sampel/responden tidak digunakan sebagai
patokan validitas. Syarat responden yang valid dalam ANP adalah bahwa mereka
adalah orang-orang yang ahli di bidangnya. Oleh karena itu, responden yang
dipilih dalam survei ini adalah para pakar/peneliti ekonomi Islam dan para
praktisi/profesional yang berkecimpung dalam masalah pengelolaan zakat.
Pertanyaan dalam kuesioner ANP berupa pairwise comparison (pembandingan
pasangan) antar elemen dalam cluster untuk mengetahui mana diantara keduanya
yang lebih besar pengaruhnya (lebih dominan) dan seberapa besar perbedaannya
dilihat dari satu sisi. Skala numerik 1-9 yang digunakan merupakan terjemahan
dari penilaian verbal.
Pengisian kuesioner oleh responden harus didampingi peneliti untuk
manjaga konsistensi dari jawaban yang diberikan. Pada umumnya, pertanyaan
pada kuesioner ANP sangat banyak
jumlahnya. Sehingga faktor-faktor non teknis dapat menyebabkan tingginya
tingkat inkonsistensi.
Tabel 3.1 Perbandingan Skala Verbal dan Skala
Numerik
SKALA
VERBAL
|
SKALA
NUMERIK
|
Amat sangat lebih besar pengaruhnya
|
9
|
|
8
|
Sangat
lebih besar pengaruhnya
|
7
|
|
6
|
Lebih
besar pengaruhnya
|
5
|
|
4
|
Sedikit
lebih besar pengaruhnya
|
3
|
|
2
|
Sama
besar pengaruhnya
|
1
|
Sumber: Ascarya (2005)
3.3 Teknik Analisis
Data
Data yang didapatkan dari penelitian akan
dianalisa dengan metode ANP yang merupakan metode yang dapat digunakan dalam
berbagai studi kualitatif yang beragam, seperti pengambilan keputusan, forecasting, evaluasi, mapping, strategizing, alokasi sumber daya, dan lain sebagainya.
A. Gambaran Umum ANP
Analytic Network Process atau ANP merupakan pendekatan baru metode kualitatif. Diperkenalkan
Profesor Thomas Saaty, pakar riset dari Pittsburgh University, dimaksudkan
untuk menyempurnakan metode Analytic Hierarchy Process (AHP). Kelebihan
ANP dari metodologi yang lain adalah kemampuannya melakukan pengukuran dan
sintesis sejumlah faktor-faktor dalam hierarki atau jaringan. Tidak ada
metodologi lain yang mempunyai fasilitas sintesis seperti metodologi ANP.
Menurut Saaty dalam Ascarya (2005) ANP digunakan untuk
menurunkan rasio prioritas komposit dari skala rasio individu yang mencerminkan
pengukuran relatif dari pengaruh elemen-elemen yang saling berinteraksi
berkenaan dengan kriteria kontrol. ANP merupakan teori matematika yang
memungkinkan seseorang untuk memperlakukan dependence dan feedback
secara sistematis yang dapat menangkap dan mengkombinasi faktor-faktor tangible
dan intangible.
ANP merupakan pendekatan baru dalam proses pengambilan keputusan yang
memberikan kerangka kerja umum dalam memperlakukan keputusan-keputusan tanpa
membuat asumsi-asumsi tentang independensi elemen-elemen pada level yang lebih
tinggi dari elemen-elemen pada level yang lebih rendah dan tentang independensi
elemen-elemen dalam suatu level. Berbeda dengan
Analytic Hierarchy Process (AHP), ANP dapat menggunakan jaringan tanpa harus menetapkan
level seperti pada hierarki yang digunakan dalam AHP. Konsep utama dalam ANP
adalah influence ‘pengaruh’, sementara konsep utama dalam AHP adalah preferrence
‘preferensi’. AHP dengan asumsi-asumsi dependensinya tentang cluster dan
elemen merupakan kasus khusus dari ANP (Ascarya, 2005).
Pada jaringan AHP terdapat level tujuan, kriteria, subkriteria, dan
alternatif, dimana masing-masing level memiliki elemen. Sementara itu, pada
jaringan ANP, level dalam AHP disebut cluster
yang dapat memiliki kriteria dan alternatif di dalamnya, yang sekarang disebut
simpul (baca gambar 3.1).
Sumber: Ascarya (2005)
Gambar 3.1 Perbandingan Hierarki Linier dan
Jaringan Feedback
Dengan feedback, alternatif-alternatif
dapat bergantung/terikat pada kriteria seperti pada hierarki tetapi dapat juga
bergantung/terikat pada sesama alternatif. Lebih jauh lagi, kriteria-kriteria
itu sendiri dapat tergantung pada alternatif-alternatif dan pada sesama
kriteria. Sementara itu, feedback meningkatkan prioritas yang diturunkan
dari judgements dan membuat
prediksi menjadi lebih akurat. Oleh karena itu, hasil dari ANP diperkirakan
akan lebih stabil. Dari jaringan feedback pada gambar 2.1 dapat dilihat
bahwa simpul atau elemen utama dan simpul-simpul yang akan dibandingkan dapat
berada pada cluster-cluster yang berbeda. Sebagai contoh, ada hubungan
langsung dari simpul utama C4 ke cluster lain (C2 dan C3), yang merupakan outer
dependence. Sementara itu, ada simpul utama dan simpul-simpul yang akan
dibandingkan berada pada cluster yang sama, sehingga cluster ini terhubung
dengan dirinya sendiri dan membentuk hubungan loop. Hal ini disebut inner dependence.
Dalam suatu jaringan, elemen dalam suatu komponen/cluster
bisa saja berupa orang (contoh, individu di Bank Indonesia) dan elemen dalam
komponen/cluster yang lain bisa saja juga berupa orang (contoh, individu
di DPR). Elemen dalam suatu komponen/cluster dapat mempengaruhi elemen
lain dalam komponen/cluster yang sama (inner dependence), dan dapat pula
mempengaruhi elemen pada cluster yang lain (outer dependence) dengan
memperhatikan setiap kriteria. Yang diinginkan dalam ANP adalah mengetahui
keseluruhan pengaruh dari semua elemen. Oleh karena itu, semua kriteria harus
diatur dan dibuat prioritas dalam suatu kerangka kerja hierarki kontrol atau
jaringan, melakukan perbandingan dan sintesis untuk memperoleh urutan prioritas
dari sekumpulan kriteria ini. Kemudian kita turunkan pengaruh dari elemen
dalam feedback dengan
memperhatikan masing-masing kriteria. Akhirnya, hasil dari pengaruh ini dibobot
dengan tingkat kepentingan dari kriteria, dan ditambahkan untuk memperoleh
pengaruh keseluruhan dari masing-masing elemen (Ascarya, 2005)
B. Landasan ANP
ANP memiliki tiga aksioma yang menjadi landasan
teorinya :
- Resiprokal. Aksioma ini menyatakan bahwa jika PC (EA,EB) adalah nilai pembandingan pasangan dari elemen A dan B, dilihat dari elemen induknya C, yang menunjukkan berapa kali lebih banyak elemen A memiliki apa yang dimiliki elemen B, maka PC (EB,EA) = 1/ Pc (EA,EB). Misalkan, jika A lima kali lebih besar dari B, maka B besarnya 1/5 dari besar A.
- Homogenitas. Aksioma ini menyatakan bahwa elemen-elemen yang dibandingkan sebaiknya tidak memiliki perbedaan terlalu besar, yang dapat menyebabkan kesalahan judgements yang lebih besar.
- Aksioma ini menyatakan bahwa mereka yang mempunyai alasan terhadap keyakinannya harus memastikan bahwa ide-ide mereka cukup terwakili dalam hasil agar sesuai dengan ekspektasinya.
C. Prinsip Dasar ANP
Prinsip-prinsip dasar ANP ada
tiga, yaitu dekomposisi, penilaian komparasi (comparative judgements),
dan komposisi hierarkis atau sintesis dari prioritas.
Prinsip
dekomposisi diterapkan untuk menstrukturkan masalah yang kompleks menjadi kerangka
hierarki atau jaringan cluster, sub-cluster, sus-sub cluster, dan seterusnya.
Dengan kata lain dekomposisi adalah memodelkan masalah ke dalam kerangka ANP.
Prinsip
penilaian komparasi diterapkan untuk membangun pembandingan pasangan (pairwise
comparison) dari semua kombinasi elemen-elemen dalam cluster dilihat dari
cluster induknya. Pembandingan pasangan ini digunakan untuk mendapatkan
prioritas lokal dari elemen-elemen dalam suatu cluster dilihat dari cluster
induknya.
Prinsip
komposisi hierarkis atau sintesis diterapkan untuk mengalikan prioritas lokal dari
elemen-elemen dalam cluster dengan prioritas ‘global’ dari elemen induk, yang
akan menghasilkan prioritas global seluruh hierarki dan menjumlahkannya untuk
menghasilkan prioritas global untuk elemen level terendah (biasanya merupakan
alternatif).
D.
Fungsi Utama ANP
Metodologi ANP memiliki tiga
fungsi utama sebagai berikut:
1. Melakukan strukturisasi pada kompleksitas
Dalam
penelitiannya, Saaty menemukan adanya pola-pola yang sama dalam sejumlah contoh
tentang bagaimana manusia memecahkan sebuah kompleksitas dari masa ke masa. Dimana kompleksitas
distruktur secara hierarkis ke dalam cluster-cluster yang homogen dari
faktor-faktor.
2.
Pengukuran ke dalam skala rasio.
Metodologi pengambilan keputusan yang terdahulu pada
umumnya menggunakan pengukuran level rendah (pengukuran ordinal atau interval),
sedangkan metodologi ANP menggunakan pengukuran skala rasio yang diyakini
paling akurat dalam mengukur faktor-faktor yang membentuk hierarki. Level
pengukuran dari terendah ke tertinggi adalah nominal, ordinal, interval, dan
rasio. Setiap level pengukuran memiliki semua arti yang dimiliki level yang
lebih rendah dengan tambahan arti yang baru. Pengukuran interval tidak memiliki
arti rasio, namun memiliki artiinterval, ordinal, dan nominal. Pengukuran rasio
diperlukan untuk mencerminkan proporsi. Untuk menjaga kesederhanaan metodologi,
Saaty mengusulkan penggunaan penilaian rasio dari setiap pasang faktor dalam
hierarki untuk smendapatkan (tidak secara langsung memberikan nilai) pengukuran
skala rasio. Setiap metodologi dengan struktur hieraki harus menggunakan
prioritas skala rasio untuk elemen diatas level terendah dari hierarki. Hal ini
penting karena prioritas (atau bobot) dari elemen di level manapun dari
hierarki ditentukan dengan mengalikan prioritas dari elemen pada level dengan
prioritas dari elemen induknya. Karena hasil perkalian dari dua pengukuran
level interval secara matematis tidak memiliki arti, skala rasio diperlukan
untuk perkalian ini. AHP/ANP menggunakan skala rasio pada semua level terendah
dari hierarki/jaringan, termasuk level terendah (alternatif dalam model
pilihan). Skala rasio ini menjadi
semakin penting jika prioritas tidak hanya digunakan untuk aplikasi pilihan,
namun untuk aplikasi-aplikasi lain, seperti untuk aplikasi alokasi sumber daya.
3.
Sintesis.
Sintesis
merupakan kebalikan dari analisis. Kalau analisis berarti mengurai entitas
material atau abstrak ke dalam elemen-elemennya, maka sintesis berarti
menyatukan semua bagian menjadi satu kesatuan. Karena kompleksitas, situasi
keputusan penting, atau prakiraan, atau alokasi sumber daya, sering melibatkan
terlalu banyak dimensi bagi manusia untuk dapat melakukan sintesis secara
intuitif, kita memerlukan suatu cara untuk melakukan sintesis dari banyak
dimensi. Meskipun ANP memfasilitasi analisis, fungsi yang lebih penting lagi dalam
ANP adalah kemampuannya untuk membantu kita dalam melakukan pengukuran dan
sintesis sejumlah faktor-faktor dalam hierarki atau jaringan.
4. HASIL PENELITIAN
4.1. Kerangka ANP
Kerangka
dalam ANP terbagi menjadi dua bagian. Bagian pertama terdiri dari hierarki
kontrol atau jaringan dari kriteria dan subkriteria yang mengontrol interaksi.
Bagian kedua adalah jaringan pengaruh-pengaruh diantara elemen dan cluster Secara lebih rinci, jaringan feedback
yang digunakan dalam analisis ini diperlihatkan pada gambar 4.1.
Gambar
4.1. Jaringan Feedback Penelitian Zakat di Indonesia
Seperti
dikemukakan sebelumnya, masalah pengembangan zakat di Indonesia dapat dilihat dari dua sisi atau aspek, yaitu aspek internal dan aspek eksternal.
Dari
hasil wawancara,
masalah-masalah pada masing-masing aspek mengerucut pada 8 (delapan) masalah utama yang meliputi 4 (empat) masalah dari sisi internal, dan 4 (empat) masalah dari sisi eksternal.
a.
Aspek
Internal:
1) Amil Zakat yang masih
belum terstandarisasi;
2) Belum standarnya Fiqh
Global, khususnya terkait zakat;
3) Belum standarnya
Organisasi Pengelola Zakat (OPZ);
dan 4) Minimnya
inovasi produk.
b.
Aspek
Eksternal: 5) Belum ada Blue Print (Cetak
Biru) Perzakatan Nasional; 6) Belum menunjangnya Peraturan Pemerintah
(PP) dan peraturan sejenis terkait zakat; 7) Lemahnya sosialisasi zakat; dan 8)
Kesadaran umat yang masih rendah.
Dari
hasil wawancara dan analisa penulis, terdapat 8 (delapan) solusi alternatif
pemecahan masalah dalam pengembangan zakat di Indonesia yang dibagi dalam jangka
pendek dan jangka panjang yakni
antara lain:
- Perlunya inovasi produk baik dalam sisi pengumpulan maupun penyaluran zakat;
- Meningkatkan sosialisasi yang utuh dan komprehensif terkait kewajiban zakat kepada khalayak masyarakat;
- Standarisasi kompetensi Sumber Daya Manusia pengelola zakat;
- Pentingnya Standarisasi Organisasi Pengelola Zakat;
- Pembuatan blue print perzakatan nasional;
- Sosialisasi Undang-Undang dan Peraturan dari Pemerintah;
- Perlunya institusionalisasi zakat;
- Standarisasi Fiqh Global;
4.2. Data Kuesioner
Dalam
rangka mendapatkan data primer tentang persepsi para pakar, praktisi, dan
regulator tentang permasalahan seputar pengembangan zakat di Indonesia, dalam kerangka
model ANP yang telah dirancang, survey menggunakan kuesioner dilakukan.
Responden terdiri
dari
seorang pakar
dan seorang
praktisi.
Dalam analisis
ANP jumlah sampel/responden tidak
digunakan sebagai patokan
validitas. Syarat responden yang valid dalam ANP adalah bahwa mereka adalah
orang-orang yang ahli di bidangnya. Oleh
karena itu, responden
yang dipilih dalam
survey ini adalah
pihak-pihak yang terkait langsung maupun tidak
langsung dalam aktivitas pengembangan zakat di Indonesia.
4.3. Pengolahan Data
Hasil survey yang
diperoleh diolah terlebih
dahulu per masing-masing
individu responden dengan
menggunakan kerangka ANP yang telah dibuat menggunakan software Super Decisions 1.6.0. Data yang
diolah dari masing-masing responden
tersebut menghasilkan tiga
supermatriks yang
memberikan urutan prioritas
aspek-aspek terpenting dan
masalahnya, alternatif pemecahan masalah, dan pilihan strategi
kebijakan yang tepat menurut masing-masing responden.
Selanjutnya hasil
pengolahan tersebut dikelompokkan menjadi kelompok pakar, kelompok praktisi, dan kelompok
regulator untuk menghasilkan urutan prioritas masing kelompok menggunakan software Microsoft Excel 2007.
4.4.
Hasil ANP
Dari data yang diolah
dari hasil pengisian kuesioner menggunakan software Super Decision 1.6.0 dan Microsoft
Excel 2007 didapatkan hasil dalam bentuk tabel sebagai berikut:
Tabel
5.1. Tabel Hasil ANP
KETERANGAN
|
PAKAR/N
|
PRAKTISI/EO
|
TOTAL
|
||||
ASPEK
|
NR
|
R
|
NR
|
R
|
NR
|
R
|
|
INTERNAL
|
0.49
|
2
|
0.48
|
2
|
0.49
|
2
|
|
EKSTERNAL
|
0.51
|
1
|
0.52
|
1
|
0.51
|
1
|
|
INTERNAL
|
|
|
|
|
|
|
|
Standarisasi
Amil
|
0.28
|
2
|
0.51
|
1
|
0.40
|
1
|
|
Standarisasi
Fiqh Global
|
0.53
|
1
|
0.04
|
4
|
0.28
|
2
|
|
Standarisasi
OPZ
|
0.12
|
3
|
0.14
|
3
|
0.13
|
4
|
|
Inovasi
Produk
|
0.07
|
4
|
0.31
|
2
|
0.19
|
3
|
|
EKSTERNAL
|
|
||||||
Belum
ada Blue Print
|
0.50
|
1
|
0.48
|
1
|
0.49
|
1
|
|
Belum
ada PP & SKB
|
0.30
|
2
|
0.05
|
4
|
0.18
|
3
|
|
Lemahnya
Sosialisasi UU
|
0.12
|
3
|
0.31
|
2
|
0.21
|
2
|
|
Kesadaran
Umat Rendah
|
0.08
|
4
|
0.16
|
3
|
0.12
|
4
|
|
SOLUSI
|
|
|
|
|
|
|
|
JANGKA
PENDEK
|
|
||||||
Inovasi
Produk
|
0.06
|
4
|
0.32
|
2
|
0.19
|
3
|
|
Meningkatkan
Sosialisasi
|
0.54
|
1
|
0.15
|
3
|
0.34
|
2
|
|
Standarisasi
Kompetensi SDM
|
0.26
|
2
|
0.49
|
1
|
0.38
|
1
|
|
Standarisasi
OPZ
|
0.14
|
3
|
0.04
|
4
|
0.09
|
4
|
|
JANGKA
PANJANG
|
|
||||||
Blue
Print
|
0.30
|
2
|
0.49
|
1
|
0.40
|
1
|
|
Sosialisasi
UU
|
0.06
|
4
|
0.17
|
3
|
0.11
|
4
|
|
Institusionalisasi
Zakat
|
0.15
|
3
|
0.29
|
2
|
0.22
|
3
|
|
Standarisasi
Fiqh Global
|
0.49
|
1
|
0.05
|
4
|
0.27
|
2
|
|
*NR:
nilai rata-rata; R: rangking rata-rata
Dari
hasil wawancara dan analisis peneliti, berbagai solusi alternatif pemecahan
masalah dalam pengembangan zakat di Indonesia adalah: (a) Meningkatkan sosialisasi yang
utuh dan komprehensif terkait kewajiban zakat kepada khalayak masyarakat; (b) Standarisasi kompetensi
Sumber Daya Manusia pengelola zakat;
(c) Penyusunan blue print perzakatan nasional; dan (d) Perlunya Standarisasi
Fiqh Global terkait zakat;
a.
Menurut Pakar
Masalah
utama yang menghambat perkembangan zakat di Indonesia menurut
pakar terletak pada masalah
belum standarnya fiqih global tentang zakat, belum adanya standarisasi amil
(internal), belum adanya blue print perzakatan nasional dan peraturan
pemerintah ihwal zakat (eksternal)
Menghadapi
masalah tersebut, pakar berpendapat bahwa standarisasi
fiqih global sangat diperlukan dalam jangka panjang, termasuk juga penyusunan
blue print perzakatan nasional. Sementara dalam jangka pendek perlunya
sosialisasi terus-menerus dan adanya standarisasi kompetensi untuk para SDM
amil.
b.
Menurut Praktisi
Berbeda
dengan pakar, praktisi berpendapat bahwa
belum standarnya amil zakat
menjadi aspek utama yang menghambat perkambangan zakat,
lalu kemudian belum
adanya blue print zakat
diurutan berikutnya. Selain
itu kurangnya inovasi produk dan lemahnya sosialisasi juga menjadi isu penting
dikalangan praktisi.
Praktisi
berpendapat bahwa perlunya
standar kompetensi SDM pengelola zakat menjadi solusi utama dalam menangani masalah
tersebut, selain dari inovasi
produk.
Praktisi juga menganggap penyusunan blue print dan
institusionalisasi zakat pada jangka panjang adalah sebuah sinyal positif
bahwa pemerintah mendukung berkembangnya zakat di Indonesia.
Daftar Pustaka
Abidin, Hamid (Ed), 2004, Reinterpretasi Pendayagunaan ZIS, Menuju
Efektivitas Pemanfaatan Zakat Infak Sedekah, Jakarta: Piramedia.
Amma, Faris, dkk, 2004,
”Zakat Pilar Islamisasi Ekonomi di Indonesia”, Makalah.
Ascarya, 2005, Analytic Network Process (ANP): Pendekatan
Baru Studi Kualitatif, Pusat Pendidikan dan Studi Kebanksentralan, Bank
Indonesia.
Dalimunthe, Ritha F., 2007,
”Sejarah Perkembangan Ilmu Manajemen”, Makalah.
Hafidhuddin, Didin, 2006,
”Zakat sebagai Tiang Utama Ekonomi Syariah”, Makalah pada Seminar Bulanan
Masyarakat Ekonomi Syariah (MES), Jakarta, Aula Bank Mandiri Tower, 20 Nopember
2006.
Jarkasih, Muhamad, 2008,
”Analisis Masalah dalam Pengembangan Sukuk Korporasi di Indonesia dengan Metode
Analytic Network Process (ANP)”, Skripsi
pada Sekolah Tinggi Ekonomi Islam (STEI) Tazkia, tidak diterbitkan.
Prianita, Anita, 2005, ”Peran
Lembaga Zakat dalam Pemberdayaan Ekonomi Umat”, Makalah pada Lomba Karya Tulis
Ekonomi Islam (LKTEI), Temilnas IV FoSSEI 2005, Mataram.
Sudewo, Eri, 2004, Manajemen Zakat: Tinggalkan 15 Tradisi
Terapkan 4 Prinsip Dasar, Jakarta: Spora Internusa Prima.
Suharto, Edi, 2008, ”Islam
dan Negara Kesejahteraan”, Makalah pada Perkaderan Darul Arqam Paripurna (DAP)
Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM), Jakarta 18 Januari 2008.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar