Disebut madzhab
Iqtishouna mengingat buku yang ditulis oleh Muhammad Baqir Shadr setelah buku lainnya terbit, Falsafatuna.
Iqtishoduna sendiri pada hakikatnya adalah bagian dari buku yang pertama
ditulis oleh Ayatullah Muhammad Baqir Shadr sendiri dalam memberikan gambaran
lengkap dan utuh bangunan ideal sebuah masyarakat Islam yang tak terkecuali
menyangkut urusan public dan hajat orang banyak.
Ayatullah Muhammad
Baqir Ash Shadr memang berpendapat sejatinya Ekonomi Islam hanya mencakup
doktrin dan gagasan fundamental yang telah diatur oleh Islam dalam hal hubungan
muamalah namun bukan berarti ada pemisahan atas dua dasar ruang lingkup mereka
yang berbeda. Karena dengan begitu, tulis Shadr, kita akan memandang
karakteristik doktrinal dan karakteristik keilmuan sebagau dua hasil dari ruang
lingkup yang berbeda (Ash Shadr,
2008: 82).
Ayatullah Muhammad
Baqir Ash Shadr dikenal oleh para pengagumnya sebagai sosok pemikir Islam yang
tak melulu bersikap reaktif dan apologis terhadap pemikiran Barat yang
menginvasi dunia islam dalam hal kebudayaan dan intelektual. Namun dalam buku
Iqtishodunanya, Ayatullah Muhammad Baqir Ash Shadr dikenal dengan amat fasih menjabarkan gambaran luas pandangan
hidup Barat yang centang perenang dengan
alam kapitalisme sekulernya dan alam sosialisme atheisnya.
Falsafatuna dan Iqtishaduna telah menonjolkan Muhammad Baqir
Ash-Shadr sebagai pemikir kebangkitan Islam terkemuka. Sistem falsafah dan
ekonomi alternatif ini disempurnakan melalui masyarakat dan institusi. Dalam Falsafatunadan Iqtishaduna,
Baqir Shadr mengemukakan kritik yang serius terhadap aliran marxisme dan
kapitalisme. Buku ini baik dari segi sturuktur mahupun metodologi, tak
diragukan lagi inilah sumbangsih paling serius dan paling banyak dipuji dalam
bidang ini.
Muhammad Baqir As-Sayyid Haidar Ibn Ismail Ash-Shadr,
seorang sarjana, ulama, guru dan tokoh politik, lahir di Kazimain, Baghdad,
Iraq pada 25 DzulQa’dah 1353 H/1 Mac 1935 M dari keluarga beragama. Pada usia
empat tahun, Muhammad Baqir Ash-Shadr kehilangan ayahnya, dan kemudian diasuh
oleh ibunya dan saudara kandungnya, Ismail, yang juga seorang mujtahid terkenal
di Iraq. Ash-Shadr menunjukkan tanda-tanda kepintaran semenjak usia
kanak-kanak. Pada usia sepuluh tahun, Ash-Shadr berceramah tentang sejarah
Islam, dan juga tentang beberapa aspek lain mengenai budaya Islam. Ash-Shadr
mampu menangkap isu-isu teologikal yang sulit dan bahkan tanpa bantuan seorang
guru pun. Ketika usia sebelas tahun, Ash-Shadr mengambil pendidikan logik, dan
menulis sebuah buku yang mengkritik para failasuf.
Pada usia tiga belas tahun, datuknya mengajarkan
kepadanya Ushul ‘Ilm al-Fiqh. Pada
usia sekitar enam belas tahun, Ash-Shadr pergi ke Najaf untuk menuntut
pendidikan yang lebih baik dalam berbagai cabang ilmu-ilmu Islam. Sekitar empat
tahun kemudian, Ash-Shadr menulis sebuah ensiklopedia tentang Ghayat
Al-Fikr fi al-Ushul. Justeru, dengan rekod-rekod ini, Ash-Shadr
menjadi seorang mujtahid pada usia tiga puluh tahun. Sebagai salah seorang pemikir yang
paling terkemuka, Ash-Shadr melambangkan kebangkitan intelektual yang
berlangsung di Najaf antara 1950-1980. Ciri lain yang ketara dari kebangkitan
itu adalah dimensi politiknya, dan saling pengaruh antara apa yang terjadi di
lorong gelap dan sekolah tinggi berdebu Najaf, dan Timur-Tengah pada umumnya.
Manakala, peristiwa hukuman mati Ash-Shadr bersama
saudara perempuannya yang bernama Bint Al-Huda pada 8 April 1980 oleh
pemerintahan Saddam Hussein, barangkali ini merupakan titik puncak tentangan
terhadap Islam di Iraq. Dengan meninggalnya Ash-Shadr, Iraq sebenarnya telah
kehilangan intelektual Islamnya yang paling penting. Dan, reputasinya semenjak
itu diakui di berbagai kalangan masyarakat. Namanya telah melintasi
Mediteranian, ke Eropah dan Amerika Syarikat
Pada 1981, Hanna Batatu, dalam sebuah artikel di Middle
East Journal di
Washington, menunjukkan kepada kita betapa pentingnya Ash-Shadr kepada gerakan
intelektual dan Islamiyyah di Iraq. Pada 1984, Istishaduna diterjemahkan ke dalam bahasa
Jerman, di sertai dengan mukadimah panjang mengenal biografi Ash-Shadr oleh
seorang orientalis muda Jerman.
Justeru,
tidak mungkin untuk kita mengabaikan nilai signifikan dan asas yang dibentuk
oleh Muhammad Baqir Ash-Shadr ini dalam kebangkitan terhadap gerakan Islam dewasa ini.
Isu-Isu Konservasi Lingkungan dan
Pengelolaan Kekayaaan Alam
Seperti yang sudah
kami jelaskan di atas, ada sebuah garis yang bersinggungan antara pemikiran
Ayatullah Muhammad Baqir Ash Shadr yang mengangkat perihal kepemilikan dan
distribusi secara pandangan lebih luas dengan Syaikh Taqiyuddin An Nabhani
dalam An Nizham Al Iqtishod nya yang inshaAllah akan dibahas pada pembahasan
madhazb ekonomi Islam kontemporer lainnya.
Dalam
Iqtishodunanya, Muhammad Baqir Ashadr memandang perlindungan dan kewajiban
negara sangat terkait erat dengan sejauh mana masyarakat terhadapa suatu object
di alam bebas dapat diambil dan dimanafaatkan. Semisal beliau memandang
kandungan tambang dan mineral yang dikandung oleh tanah di sebuah daulah.
Muhammad Baqir Ash Shadr membagi kandungan tambang dan mineral menjadi dua
bagian : Azh Zhahir (Terbuka) dan bathin (tersembunyi ) yang
dimaksud dengan kandungan mineral azh zhahir bagi Muhammad Baqir Shadr
adalah keadaan yang sudah jadi dan tinggal menangkut atau memanfaatkan
keberadaan tambang mineral yang telah terbuka untuk selanjutnya dikelola oleh
negara. Dan Bathin inilah yang disebut memerlukan usaha keras untuk bisa
mengeksplorasinya untuk kemudian didistribusikan oleh Daulah dan
memproteksinya bagi kemanfaatan rakyat banyak.
Syariah, kata
Muhammad Baqir Ash Shadr secara absolut melarang praktik monopoli individu atau
oligopoli corporate besar terhadap objct sumber daya alam yang terutama
dikandung oleh perut bumi. Dalam perbendaharaan khazanah Fiqh Muamalah yang
sering dikaji adalah akad-akad dalam perbankan syariah namun berkali-kali
mencoba diingatkan kembali oleh intelektual muslim yang ulama seperti halnya
Ayatullah Muhammad Baqir Ash Shadr memandang khazanah fiqh muamalah secara
lebih luas dan dalam kerangka makroekonomi meskipun ia lagi-lagi menegaskan
yang ada adalah doktrin atau cara yang direkomendasikan oleh islam dalam
mengejar kehidupan ekonomi.
Maka, perbendaharaan khazanah Fiqh muamalah seperti Ihya Al Mawat,
Ijarah, Hima dan Iqta kembali coba dihidupkan oleh Ayatullah Muhammad Baqir Ash
Shadr. Apalagi kalau kita pindahkan konteksnya secara terkini ke Indonesia dan
sejumlah negara berkembang yang mempunyai permasalahan praproduksi dan pasca
produksi tertambah dengan distribusnya. Isu-isu kelangkaan minyak dunia,
misalnya, pertama kali dikumandangkan tahun 1919 dan secara resmi diingatkan
oleh Badan Federal untuk Konservasi Minyak pada tahun 1924.
(Ditulis bersama dengan Willy Mardian)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar