Abstraksi
Dalam kehidupan ekonomi, uang mempunyai peranan yang cukup penting. Di
antaranya, uang merupakan standar nilai atas kegiatan ekonomi yang ada, baik
konsumsi, produksi, atau refleksi atas kekayaan dan penghasilan. Uang dapat
memudahkan kita dalam melakukan barter atas barang dan jasa di antara individu
masyarakat. Penggunaan manusia atas uang telah ada sejak zaman dahulu, akan
tetapi transaksi uang yang ada merupakan transaksi ribawi, walaupun telah ada
larangan dari agama samawi atas transaksi ribawi dan bahaya transaksi tersebut
dalam kehidupan perdagangan dan perekonomian. Salah satu ulama muslim terkenal,
Imam Al-Ghazali, ternyata sempat melontarkan konsepnya tentang mata uang.
Tulisan ini akan mencoba menelisik ide ekonominya tentang masalah itu dengan
konsep yang berlaku sekarang.
Kata Kunci: Uang,
Transaksi.
JEL: B15, B22, E42.
I.
PENDAHULUAN
Uang dapat dikatakan sebagai salah satu penemuan terpenting
manusia yang menopang kemajuan peradabannya. Kita yang hidup pada masa kini
dapat menjalani hidup dengan relatif mudah dan nyaman karena adanya uang.
Transaksi-transaksi yang kita lakukan seperti ketika berbelanja, membayar
rekening listrik dan tagihan telepon, maupun transaksi berskala besar, dapat
diselesaikan dengan cepat, mudah, murah, dan akurat karena telah terbangunnya
sistem keuangan yang kuat dan efisien. Dengan uang, manusia dapat mempersiapkan
masa tuanya, tanpa khawatir apa yang diperolehnya membusuk atau kehilangan
nilai karena rusak. Bandingkan dengan apa yang dilakukan oleh nenek moyang dulu
kala, dalam upaya mempersiapkan masa depannya, dengan menyimpan sebagian hasil
panen atau hasil berburu untuk dikonsumsi pada masa mendatang. Tak
terbayangkan, betapa susah dan repotnya kehidupan masa kini, tanpa uang. Urgennya
fungsi dan sentralnya peranan uang inilah yang menyebabkan penulis tertarik
untuk mempelajarinya.
Rumusan masalah dalam tulisan ini dapat disusun
dan diketahui dengan memberikan jawaban dari beberapa pertanyaan berikut:
- Bagaimana konsep uang (mencakup di dalamnya perkembangan, syarat, dan fungsi) menurut teori ekonomi modern?
- Bagaimanakah Al-Ghazali yang merupakan wakil dari tokoh ekonom Islam memberikan sumbangsihnya berupa konsep tentang uang?
- Adakah kesesuaian (relevansi) antara kedua konsep tersebut?
- Manakah dari kedua konsep tersebut yang dipandang lebih baik dan unggul?
Pada penelitian ini penulis mencoba menganalisis
lebih jauh pemikiran tokoh ekonom Muslim, Abu Hamid Al-Ghazali lebih spesifik
tentang permasalahan uang. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui dan
membandingkan antara konsep dan teori uang seorang ekonom Muslim –dalam hal ini
pemikiran ekonomi Ghazali- dengan konsep modern yang dipegang ahli ekonomi
Barat tentang hal serupa.
Tulisan yang merupakan
kajian sederhana ini adalah penelitian studi pustaka atau studi literatur
dengan menggunakan data-data sekunder yang telah dipublikasikan, terdiri dari:
buku referensi, artikel-artikel dan karya ilmiah lain. Paper ini, juga
menggunakan metoda komparasi (perbandingan).
II.
TEORI
II.1 Definisi Uang
Para ahli ekonomi umumnya
sepakat bahwa definisi paling universal tentang uang adalah sesuatu (benda)
yang diterima secara umum dalam proses pertukaran barang dan jasa. Dua unsur
terpenting dari definisi di atas adalah any good (suatu benda) dan generally
accepted (diterima secara umum). Dari definisi di atas kita juga memahami bahwa
uang digunakan untuk memperlancar atau mempermudah kegiatan transaksi dalam
sebuah perekonomian. Dengan demikian, definisi uang mengandung pengertian
ekonomi-sosial, hukum, dan politis.
Dilihat dari sudut pandang
ilmu ekonomi, uang merupakan barang ekonomi (economic good). Karena itu, uang
merupakan barang langka (scare good). Dilihat dari sisi ini dapat dipahami
mengapa uang selalu dibuat dari benda-benda yang relatif paling berharga pada
masanya. Tabel berikut menunjukkan beberapa benda yang pernah digunakan sebagai uang dan
masa atau periode penggunaannya.
Tabel 1 Jenis-Jenis Uang
Nama Benda
|
Masyarakat Pengguna/Periode Penggunaan
|
Pisau
|
Cina, 3000-5000 tahun yang lalu
|
Biji cokelat
|
Indian Kuno, 3000-5000 tahun silam
|
Emas
|
Selain Timur Tengah, pusat-pusat kebudayaan kuno
di Asia (misal Cina dan India), di wilayah Timur Kuno, 6000 tahun silam
|
Garam
|
Kekaisaran Romawi (untuk membayar tentara)
|
Logam-logam mulia selain emas
|
Hampir seluruh wilayah di dunia
|
Batu besar
|
Masyarakat Polinesia
|
Uang adalah aset yang
paling likuid di antara seluruh aset yang ada dalam perekonomian. Suatu aset dikatakan
likuid bila sangat mudah untuk ditukarkan dengan barang/jasa lain, biaya
transaksinya sangat kecil, dan nilai nominalnya relatif stabil. Dengan
demikian, uang merupakan aset yang paling aman untuk disimpan karena risiko
kerugian akibat penyimpanannya relatif kecil.
Dilihat dari sudut pandang
ilmu hukum, uang adalah alat pembayaran yang sah. Di dalam ekonomi modern,
penggunaan suatu benda sebagai uang, dikuatkan berdasarkan keputusan hukum atau
undang-undang. Pelanggaran terhadap ketentuan undang-undang tersebut seperti:
pemalsuan uang atau penggunaan alat tukar yang tidak sesuai ketentuan, akan
dikenai hukuman.
Di masa lalu, penetapan
penggunaan benda sebagai uang juga berdasarkan kekuatan hukum, sekalipun tidak
selalu harus hukum tertulis. Umpamanya, penetapan benda apa yang digunakan
sebagai uang, diputuskan oleh pimpinan atau otoritas tertinggi dalam kelompok
masyarakat bersangkutan.
Definisi uang juga dapat
dilihat dari sudut pandang politis, khususnya dalam perekonomian modern dan
global sekarang ini. Sesuatu yang diterima sebagai uang menunjukkan adanya
penerimaan secara politis. Dalam konteks global, mata uang yang diakui dunia
menunjukkan bahwa mata uang negara yang bersangkutan diterima secara ekonomi,
hukum, dan politis. Dimensi ekonomis, hukum, dan politis, meski dapat dibedakan
namun tidak dapat dipisahkan sebagai suatu kesatuan.[i]
II.2 Jenis Uang
Dari segi hakikat dan
jenisnya, tanpa memandang hubungannya dengan bangsa tertentu, uang dapat dibagi
menjadi beberapa tipe,yakni:
1) Uang komoditas (commodity money). Uang komoditas dipandang sebagai bentuk yang
paling lama. Sejak orang-orang menemukan kesulitan dalam sistem barter, mereka
kemudian menjadikan salah satu barang komoditas yang bisa diterima secara luas,
dan dari segi kuantitas mencukupi kebutuhan untuk berfungsi sebagai alat
tukar-menukar dan unit hitung terhadap barang komoditi dan jasa lain.
2) Uang logam (metallic money). Penggunaan uang logam merupakan fase kemajuan
dalam sejarah uang. Kita sudah mengenal berbagai kesulitan yang dihadapi
manusia ketika bertransaksi menggunakan uang komoditas. Namun perkembangan
kehidupan ekonomi dan peningkatan proses perdagangan, membuat sulit untuk terus
melanjutkan penggunaan uang komoditas. Dari sini orang-orang memikirkan untuk
menemukan media lain yang lebih gampang dan memudahkan mereka melakukan proses
jual beli, juga kekurangan-kekurangan uang komoditas tidak ditemukan lagi,
mereka akhirnya menggunakan uang logam.
3) Uang kertas. Uang kertas yang kita gunakan sekarang, bentuk dan sistemnya adalah hasil
dari perkembangan masa yang panjang. Kertas-kertas ini dinamakan (banknote),
yaitu janji bank (bank promise) untuk membayarkan uang logam kepada pemilik
kertas ini ketika ada permintaan. Uang kertas muncul pertama kali tahun 910 M
di Cina. Kelebihan tersendiri bagi penduduk Cina sebagai penemu pertama. Pada
awalnya mereka menggunakan uang kertas atas dasar penopang logam emas dan perak
100%. Sekitar abad 10 M, pemerintahan Cina menerbitkan uang kertas yang tidak
ditopang total, dan pada abad 12, Cina sudah mengenal uang kertas yang tidak
bisa ditukarkan dengan emas dan perak.
4) Uang bank (Bank Money). Bahwa kemunculan kertas banknote ketika terjadi
penitipan mata uang logam di lembaga keuangan dan menerima akta yang menyatakan
titipan. Akta itu bukan uang, tapi adalah hak atas uang. Karena itu, lebih
mudah dibawa tanpa khawatir terhadap pencurian atau kehilangan. Namun,
kemudahan ini sirna saat kertas berharga menjadi uang dalam arti sebenarnya
secara hukum dan menggantikan posisi uang logam. Dari sini orang berpikir untuk
menemukan media lain untuk menjaga uang kertas dari risiko pencurian dan
kehilangan pada satu sisi, dan untuk mempermudah proses transaksi pada sisi
lain, maka muncullah uang bank atau dikenal dengan uang deposit.[ii]
III. KONSEP EKONOMI MODERN TENTANG UANG
III.1 Perkembangan
Bentuk Uang
Di awal kehidupan manusia, kehidupan masyarakat
yang ada sangat simpel. Dalam arti, untuk memenuhi kebutuhannya, manusia cukup
bekerja sebagai nelayan ataupun memetik buah-buahan yang sudah terdapat dalam hutan.
Dengan semakin bertambahnya populasi manusia, harus ada langkah ke depan untuk
meninggalkan keadaan swasembada penuh dalam memenuhi kebutuhan hidup.
Diperlukan sistem pertukaran barang dan jasa untuk mempermudah proses pemenuhan
kebutuhan hidup.
Pada mulanya, manusia menggunakan sistem barter
(pertukaran barang dengan barang) dalam memenuhi kebutuhan hidup, akan tetapi
dalam perjalanannya terdapat beberapa kendala:
1. Sulitnya untuk menyamakan keinginan atas barang
yang ditukarkan. Jika kita ingin menukarkan gandum dengan daging, terkadang
pemilik daging tidak mempunyai keinginan atas gandum yang kita miliki.
2. Sulit untuk menentukan kadar nilai barang yang
kita tukarkan karena ada perbedaan macam dan jenisnya.
3. Sulit untuk menyimpan komoditas yang kita miliki
sampai kita temukan orang yang menginginkan atas komoditas tersebut. Biasanya
barang tersebut rusak sebelum keinginan kita terealisasikan.
Dengan adanya kesulitan tersebut,
manusia terus melakukan pencarian untuk mendapatkan media sebagai alat tukar yang
dapat diterima oleh semua pihak. (Yusuf A. Wahab, 1390). Di awal abad, manusia
menggunakan hewan sebagai alat tukar, akan tetapi karena adanya kesulitan dalam
penyimpanan dan ketersediaannya, maka sistem tersebut ditinggalkan manusia.
Kemudian digunakan batu sebagai alat tukar, namun karena terlalu banyaknya batu
sehingga alat tersebut tidak mempunyi nilai. Kemudian ditemukan bahan tambang
sebagai alat tukar, di antaranya besi, ataupun tembaga. Seiring dengan
perkembangan zaman, akhirnya manusia menggunakan emas dan perak sebagai alat
tukar (uang) dengan beberapa alasan:
- Kelangkaan yang masuk akal
- Tidak mudah rusak dalam waktu yang relatif lama
- Ringan dan mudah untuk digunakan.
- Dapat diterima untuk mencukupi kebutuhan.
Dengan semakin berkembangnya kehidupan
ekonomi, manusia menyadari akan pentingnya kehadiran uang sebagai alat tukar.
Perkembangan tersebut diiringi dengan adanya panemuan emas dan perak yang
berfungsi sebagai alat tukar. Kemudian ada keinginan untuk menggunakan kertas
sebagai uang. Ekonom menjelaskan, segala sesuatu bisa digunakan sebagai uang
asalkan dapat diterima oleh semua pihak untuk dijadikan sebagai alat tukar, dan
bermanfaat, seperti standar nilai sebuah barang serta bisa merefleksikan
kekayaan.
Perkembangan uang dalam perekonomian terus
berkembang dilihat dari bentuk dan fungsinya. Perkembangan tersebut
mencerminkan tingkat kemajuan ekonomi dan kemajuan teknologi, sehingga uang
yang dibuat menjadi semakin baik dan sempurna. Sedikitnya ada tiga jenis uang
yang kemudian muncul, yakni:
1. Uang Komoditas (Commodity Money)
2. Representatif Uang Komoditas (Representative
Money)
3. Uang Fiat (Token Money)
III.2 Syarat-Syarat
Uang
Agar
dapat digunakan sebagai uang, suatu benda harus memenuhi syarat-syarat: mudah
dibawa (portability), tahan lama (durability), dapat dipecah menjadi unit-unit
nilai yang lebih kecil (divisibility), nilainya stabil/standar
(standardizability), diakui (recognizability), nilainya stabil (stability of
value), dan jumlahnya mencukupi (elasticity of supply).
a. Mudah Dibawa (Portability)
Syarat pertama agar suatu benda dapat digunakan
sebagai uang adalah mudah dibawa (portable). Dengan mudah dibawa ke mana saja,
maka uang akan sangat likuid karena dapat digunakan di mana dan kapan saja. Portability
dari uang juga meningkatkan kenyamanan dan rasa aman memegang uang, sebab uang
dalam jumlah besar dapat disimpan di tempat yang kecil, terlindung dan tidak
diketahui oleh orang lain.
b. Tahan Lama
(Durability)
Uang juga harus tahan lama (awet), agar tidak
perlu setiap saat diganti dengan yang baru. Uang memang berpindah dari satu
tangan ke tangan lain setiap harinya dan frekuensi perpindahannya sering. Maka
nilai fisik uang haruslah dijaga jangan lekas rusak atau robek. Terpenuhinya
syarat durability, menyebabkan nilai uang tidak lekas merosot karena
secara fisik uang tidak lekas rusak.
c. Dapat Dipecah
Menjadi Unit yang Lebih Kecil (Divisibility)
Selain mudah dibawa dan tahan lama, uang juga
harus dapat dipecah menjadi unit-unit yang lebih kecil, agar mampu menjalankan
fungsinya sebagai alat pembayaran untuk transaksi-transaksi yang nilainya
kecil. Hal ini amat penting diperhatikan karena dalam kehidupan sehari-hari,
manusia seringkali terlibat atau membeli sesuatu dalam nilai-nilai kecil tetapi
amat berguna, penting, atau setidaknya memberi kenikmatan: membeli garam atau
bumbu masak, beberapa biji permen untuk menyegarkan mulut, sepotong pisang
goreng, atau selembar perangko.
Di Indonesia, nilai transaksi yang sangat kecil
namun penting itu, kemungkinan hanya beberapa ratus rupiah saja. Jadi dapat
dibayangkan kesulitan yang terjadi jika selembar uang senilai lima puluh atau
dua puluh ribu rupiah tidak dapat dipecah menjadi nilai-nilai yang sangat kecil
seperti lima puluh atau seratus rupiah.
d. Dapat
Distandardisasi (Standardizability)
Syarat standardizability harus dipenuhi
agar pengguna uang tidak merasa ragu akan kualitas uang yang dipakai. Dengan
demikian setiap uang yang digunakan dalam sebuah perekonomian harus dapat
dicetak atau diperbanyak dengan kualitas standar. Tercakup dalam arti kualitas
standar adalah uang amat sulit bahkan kalau mungkin tidak dapat dipalsukan.
e. Diakui
(Recognizability)
Satu syarat lagi yang harus dipenuhi adalah uang
harus dapat diterima oleh masyarakat. Jika syarat ini tidak terpenuhi, maka
masalah yang timbul adalah ketidakpastian apakah uang yang mereka terima
merupakan barang berharga atau sama sekali tidak bernilai.
f. Nilainya Stabil
(Stability of Value)
Manfaat dari sesuatu, yang menjadikan uang
mempunyai nilai. Dan nilai uang ini perlu dijaga agar tetap stabil. Stabil
tidak berarti nilainya tetap, melainkan tidak berfluktuasi secara tajam. Nilai
uang boleh saja berubah, namun fluktuasi perubahannya adalah relatif kecil.
Jika nilai uang tidak stabil, uang tidak akan diterima secara umum, karena masyarakat
mencoba menyimpan kekayaannya dalam bentuk barang-barang yang nilainya stabil,
dan masyarakat juga akan mengurangi fungsi uang sebagai alat penukar dan satuan
hitung.
g. Jumlahnya
Mencukupi (Elastisity of Supply)
Jumlah uang yang beredar haruslah mencukupi
kebutuhan perekonomian (dunia usaha). Persediaan yang tidak cukup untuk
mengimbangi kegiatan usaha akan menyebarkan perdagangan macet dan pertukaran
kembali seperti pada ekonomi barter, yaitu barang ditukar barang lainnya secara
langsung.
Oleh karenanya, bank sentral sebagai badan tunggal
yang menciptakan uang (kartal) haruslah mampu melihat perkembangan
perekonomian, yang kemudian mampu untuk menyediakan uang secara cukup bagi
perekonomian. Dan sebaliknya, bank sentral juga harus bertindak cepat manakala
jumlah uang beredar terlalu banyak dibandingkan dengan kegiatan perekonomian,
sehingga jumlah uang beredar bisa dikurangi. Jadi, kemampuan bank sentral dan
lembaga-lembaga keuangan yang lain dalam penyediaan uang harus dijamin tetap
baik (bersifat elastis).
III.3 Fungsi Uang
Pada
awal pemakaiannya, fungsi uang yang paling utama adalah sebagai alat tukar
(medium of exchange). Tetapi seiring dengan semakin berkembangnya kehidupan
masyarakat, fungsi uang pun mengalami perkembangan. Dewasa ini fungsi uang
tidak hanya sebagai alat tukar, namun juga sebagai penyimpan nilai, standar
nilai, standar pembayaran di masa mendatang, bahkan sebagai alat spekulasi yang
dilarang oleh Islam.
a. Uang Sebagai
Alat Tukar (Medium of Exchange)
Uang sebagai alat tukar memiliki arti bahwa para
pelaku ekonomi menerima uang untuk dapat digunakan sebagai alat untuk membeli
barang/jasa atau para penjual mau menerima uang sebagai pembayaran atas
barang/jasa yang dijualnya. Sebagai alat tukar, uang akan membuat kegiatan
ekonomi semakin mudah dan efisien karena para pelaku ekonomi dapat melakukan
transaksi kapan, di mana, dan dengan siapa saja. Transaksi tersebut juga dapat
dilakukan dalam nilai yang sangat kecil maupun sangat besar.
b. Uang Sebagai
Alat Penyimpan Nilai (Store of Value)
Sebagai alat penyimpan nilai (store of value),
uang memungkinkan setiap hasil produksi atau aktivitas peningkatan dan
penciptaan nilai tambah tersimpan dalam bentuk aset yang sangat likuid yang
nilai nominalnya tidak akan berubah. Bahkan jika hasil produksi tersebut
disimpan dalam bentuk uang, dapat digunakan untuk menambah penghasilan tanpa
bekerja. Misalkan seorang petani cengkih menerima hasil panen pada bulan Mei
2007 sebanyak 3.000 kg. Jika harga cengkih saat ini sekitar Rp 70.000,00 per
kg, nilai hasil panennya adalah Rp 210 juta.
Jika uang tidak mempunyai fungsi sebagai penyimpan
nilai, maka petani cengkih tersebut harus menyimpan cengkihnya dalam bentuk
bukan uang. Bisa saja berupa cengkih kering atau ditukar dengan sapi, tanah,
dan aset lain. Kelemahannya adalah jika disimpan dalam bentuk cengkih kering,
petani menghadapi berbagai risiko seperti kualitas cengkih rusak, penyusutan
berat, dan ketidakpastian harga. Risiko-risiko tersebut sangat mungkin
menyebabkan cengkih yang pada bulan Mei 2007 senilai Rp 210 juta, pada tahun
berikutnya menjadi hanya tinggal separuhnya. Jika cengkih itu ditukar dengan
aset lain, maka masalah yang dihadapi adalah harus terjadi double
coincidence of wants; Petani harus mendapatkan partner barter yang memiliki
apa yang diinginkannya dan partner barter tersebut juga membutuhkan cengkih.
Jika tidak maka petani terpaksa menyimpannya dalam bentuk cengkih kering.
c. Uang Sebagai
Standar Nilai (Unit of Account)
Dengan fungsinya sebagai standar nilai (standard
of value) atau satuan hitung (unit of account), akan memungkinkan seluruh
barang/jasa dinilai dengan satuan uang. Dengan demikian, manusia tidak perlu
lagi menghafal ratusan, ribuan, bahkan ratusan ribu nilai tukar seperti yang
harus dilakukan dalam perekonomian barter. Uang sebagai satuan hitung artinya
uang dapat memberikan harga suatu komoditas berdasarkan satu ukuran umum,
sehingga syarat terpenuhinya double coincidence of wants (kehendak ganda yang
selaras) tidak diperlukan.
d. Uang Sebagai Standar Pembayaran di Masa Mendatang
Banyak sekali kegiatan ekonomi yang balas jasanya
tidak diberikan pada saat itu juga, melainkan di kemudian hari. Misalnya,
seorang karyawan baru akan menerima upah untuk kerjanya di bulan ini pada awal
bulan berikutnya. Jika uang tidak berfungsi sebagai standar pembayaran di masa
mendatang, maka pembayaran gaji tidak mungkin dilakukan. Karyawan dan majikan
tidak mempunyai kepastian tentang masa mendatang, yang tentunya akan merusak
ekspektasi. Pada akhirnya, rusaknya ekspektasi akan membawa begitu banyak
dampak negatif bagi pertumbuhan dan stabilitas perekonomian.
Karena berfungsi sebagai standar pembayaran di
masa mendatang, uang amat efektif dan efisien jika digunakan untuk memacu
pertumbuhan dan perkembangan ekonomi, terutama melalui kebijakan moneter.[iii]
IV.
KONSEP
AL-GHAZALI TENTANG UANG
IV.1 Riwayat Hidup
Hujjatul
Islam, Abu Hamid Muhammad bin Muhammad Al-Tusi Al-Ghazali lahir di Tus, sebuah
kota kecil di Khurasan, Iran, pada 450 H (1058 M). Semenjak kecil, Al-Ghazali
hidup dalam dunia tasawuf. Ia tumbuh dan berkembang dalam asuhan seorang sufi,
setelah ayahnya yang juga sufi, wafat.
Sejak
muda, Al-Ghazali sangat antusias terhadap ilmu. Ia awal belajar bahasa Arab dan
fiqih di kota Tus, lalu pergi ke kota Jurjan untuk belajar dasar-dasar Ushul
Fiqih. Setelah kembali ke kota Tus selama beberapa waktu, ia pergi ke Naisabur
untuk melanjutkan rihlah ilmiah. Lantas ia berguru kepada Al-Haramain Abu
Al-Ma’ali Al-Juwaini hingga 478 H.
Setelah
itu berturut-turut ia berkunjung ke kota Baghdad, ibu kota Abbasiyah, ke
Syiria, Palestina, Iskandariah (Mesir), untuk kemudian kembali lagi ke kampung
halamannya di Tus pada tahun 499 H. Di kota kelahirannya itu ia melanjutkan
aktivitasnya, berkhalwat dan beribadah. Proses pengasingannya tersebut
berlangsung selama 12 tahun dan di masa ini ia banyak menghasilkan berbagai
karya yang terkenal. Salah satunya adalah masterpiecenya, Kitab Ihya
‘Ulumuddin.
Pada
tahun yang sama, atas desakan penguasa pada masa itu, yakni wazir Fakhr
Al-Mulk, Al-Ghazali kembali mengajar di Madrasah Nizhamiyah di Naisabur. Namun,
pekerjaannya itu hanya berlangsung selama dua tahun. Ia kembali lagi ke kota
Tus untuk mendirikan sebuah madrasah bagi para fuqaha dan mutashawwifin.
Al-Ghazali menghabiskan waktu dan tenaga untuk menyebarkan ilmu pengetahuan,
hingga wafat pada 14 Jumadil Akhir 505 h atau 19 Desember 1111 M.
IV.2 Karya-Karya
Al-Ghazali
Al-Ghazali
adalah sosok ilmuwan dan penulis yang amat produktif. Berbagai tulisannya telah
banyak menarik perhatian dunia, baik dari kalangan Muslim maupun non-Muslim.
Para pemikir Barat Abad Pertengahan: Raymond Martin, Thomas Aquinas, hingga
Pascal, ditengarai banyak dipengaruhi oleh pemikiran Al-Ghazali. Pasca periode
sang Hujjatullah ini, berbagai hasil karyanya yang telah diterjemahkan ke dalam
berbagai bahasa seperti: Latin, Spanyol, Yahudi, Perancis, Jerman, dan Inggris,
dijadikan referensi oleh kurang lebih 44 pemikir Barat.
Al-Ghazali
diperkirakan telah menghasilkan 300 buah karya tulis yang meliputi berbagai
disiplin ilmu seperti: logika, filsafat, moral, tafsir, fiqih, ilmu-ilmu
Alquran, tasawuf, politik, administrasi, hingga ekonomi. Naumun demikian, yang
ada hingga kini hanya 84 buah. Di antaranya adalah: Ihya ‘Ulum al-Din,
al-Munqidz min al-Dhalal, Tahafut al-Falasifah, Minhaj al-‘Abidin, Qawa’id
al-‘Aqaid, al-Mustashfa min ‘Ilm al-Ushul, Mizan al-‘Amal, Misykat al-Anwar,
Kimia al-Sa’adah, al-Wajiz, Syifa al-Ghalil, dan Tibr al-Masbuk fi
Nasihat al-Muluk.
IV.3 Pemikiran
Ekonomi
Seperti
halnya para cendekiawan Muslim terdahulu, perhatian Al-Ghazali terhadap
kehidupan masyarakat tidak terfokus pada satu bidang tertentu, tetapi meliputi
seluruh aspek kehidupan manusia. Ia melakukan studi keislaman secara luas untuk
mempertahankan ajaran agama Islam. Istilahnya pada masa kontemporer ini adalah
multidisipliner. Oleh karena itu, kita tidak menemukan sebuah karya tulisnya
yang khusus membahas ekonomi Islam. Perhatiannya di bidang ekonomi itu
terkandung dalam berbagai studi fiqihnya, karena ekonomi Islam, hakikinya,
merupakan bagian tak terpisahkan dari fiqih Islam.
Berdasarkan
perspektif umum tentang wawasan sosio ekonomi Al-Ghazali, dapat diidentifikasi
beberapa konsep dan prinsip ekonomi yang spesifik yang kemudian hari diungkap
ulang oleh para ilmuwan Muslim dan non-Muslim kontemporer. Mayoritas pembahasan
Ghazali mengenai berbagai permasalahan ekonomi terdapat dalam kitab Ihya
‘Ulumuddin. Beberapa tema ekonomi yang dapat diangkat dari pemikirannya antara
lain mencakup: pertukaran sukarela dan evolusi pasar, aktivitas produksi,
barter dan evolusi uang, serta peran negara dan keuangan publik.
Berikut ini akan dipaparkan konsep Imam Al-Ghazali dibatasi seputar
permasalahan uang.
IV.4 Barter dan
Evolusi Uang Al-Ghazali
Nampaknya,
Al-Ghazali menyadari bahwa salah satu penemuan terpenting dalam perekonomian
adalah uang. Hal ini setidaknya terlihat dari pembahasannya yang agak canggih
mengenai evolusi uang dan berbagai fungsinya. Ia menjelaskan bagaimana uang
mengatasi permasalahan yang timbul dari suatu pertukaran barter. Ia juga
membahas berbagai akibat negatif dari pemalsuan dan penurunan nilai mata uang,
sebuah observasi yang mendahului penelitian serupa beberapa abad kemudian yang
dilakukan oleh Nicholas Oresme, Thomas Gresham, dan Richard Cantillon.
a. Problema Barter
dan Kebutuhan terhadap Uang
Al-Ghazali mempunyai wawasan yang sangat luas dan
mendalam tentang berbagai kesulitan yang timbul dari pertukaran barter di satu
sisi, dan signifikansi uang dalam kehidupan umat manusia di sisi lain. Secara
lengkap, ia menjabarkan hal berikut:
“Bagian dari nikmat Allah adalah diciptakannya
dinar dan dirham, di atasnya tercermin nilai dunia. Keduanya hanyalah sekedar
batu yang tidak ada manfaat atas dzatnya, namun keduanya dibuat, karena manusia
membutuhkan barang banyak atas makanan, pakaian dan seluruh kebutuhannya dan
terkadang ia tidak mampu memenuhi apa yang ia butuhkan, namun ia memiliki
sesuatu yang tidak ia butuhkan, maka Allah ciptakan dinar dan dirham sebagai
perantara atas semua harta yang ada, sehingga bisa ditentukan nilai harta dari
keduanya. Dikatakan, komoditas ini sama dengan 100 dinar, kadar minyak za’faran
ini adalah 100, keduanya adalah sama dengan nilai komoditastersebut. Maka Allah
ciptakan keduanya dan ada di tangan manusia sebagai pemutus di antara
harta-harta yang adil. Hikmah yang lain, keduanya merupakan wasilah yang kuat,
dan tidak ada maksud atas dzatnya, dan keduanya merefleksikan seluruh harta.
Barang siapa memiliki keduanya, maka seolah-olah memiliki segala sesuatu,
barang siapa menyimpannya, maka telah berbuat dzalim atasnya dan menghilangkan
hikmah di dalamnya. Seolah-olah seperti orang yang menahan hakim untuk
memutuskan hukum bagi orang yang terpenjara. Ketika keduanya disimpan, hikmah
akan keduanya menjadi sia-sia dan tidak sampailah tujuan atas pembuatannya. Dan
tidak diciptakan dinar dan dirham khusus untuk Zaid dan Umar, tidak ada maksud
atas dzatnya untuk pribadi seseorang, hanya merupakan batu, keduanya diciptakan
agar beredar di tangan-tangan manusia, dan akan berfungsi sebagai hakim di
antara manusia dan dapat dijadikan sebagai standart nilai”
Penjelasan
tersebut menunjukkan bahwa Al-Ghazali mempunyai wawasan yang komprehensif
mengenai berbagai problema barter yang dalam istilah modern disebut sebagai:
1) Kurang memiliki angka penyebut yang sama (lack
of common denominator)
2) Barang tidak dapat dibagi-bagi (indivisibility
of goods)
3) Keharusan adanya dua keinginan yang sama (double
coincidence of wants)
Walaupun dapat dilakukan, pertukaran barter
menjadi sangat tidak efisien karena adanya perbedaan karakteristik barang-barang
(seperti unta dan kunyit). Pemilihan berbagai contoh tersebut mencerminkan
pemahaman Al-Ghazali yang sangat baik terhadap problem barter. Ia menegaskan
bahwa evolusi uang terjadi hanya karena kesepakatan dan kebiasaan
(konvensi), yakni tidak ada pertukaran yang efektif tanpa ekuivalensi, dan
ekuivalensi demikian hanya dapat ditentukan dengan tepat bila ada ukuran yang
sama.
Al-Ghazali
juga terlihat tidak hanya menyadari dasar fundamental dari nilai suatu barang,
yakni utilitas dan kegunaannya, tetapi juga nilainya dalam pertukaran. Kedua
konsep ini -nilai guna dan nilai tukar- menjadi sangat signifikan dalam
perdebatan selanjutnya yang dilakukan oleh para ekonom pada beberapa abad
kemudian.
b. Penimbunan
Bertentangan Dengan Hukum Ilahi
Seperti yang telah disinggung, Al-Ghazali terlihat
begitu memahami berbagai macam fungsi uang. Dalam hal ini, ia menekankan bahwa
uang tidak diinginkan karena uang itu sendiri. Uang baru akan memiliki nilai
jika digunakan dalam suatu pertukaran. Lebih jauh, Al-Ghazali menyatakan bahwa
tujuan satu-satunya dari emas dan perak adalah untuk dipergunakan sebagai uang
(dinar dan dirham). Ia mengutuk mereka yang menimbun kepingan-kepingan uang
atau mengubahnya menjadi bentuk yang lain:
“Jika seseorang menimbun dirham dan dinar, ia
berdosa. Dinar dan dirham tidak memiliki guna langsung pada dirinya. Dinar dan
dirham diciptakan supaya beredar dari tangan ke tangan, untuk mengatur dan
memfasilitasi pertukaran.....(sebagai) simbol untuk mengetahui nilai dan kelas
barang. Siapapun yang mengubahnya menjadi peralatan emas dan perak, berarti ia
tidak bersyukur kepada penciptanya, dan lebih buruk daripada penimbun uang.
Menimbun koin masih lebih baik dibandingkan mengubahnya, karena ada logam dan
material lainnya seperti tembaga, perunggu, besi, tanah liat yang dapat
digunakan untuk membuat peralatan. Namun tanah liat tidak dapat digunakan untuk
mengganti fungsi yang dijalankan oleh dinar dan dirham.”
c. Pemalsuan dan
Penurunan Nilai Uang
Menurut
sejarah, emas dan perak merupakan logam terpenting yang digunakan sebagai uang
komoditas. Pemerintah mulai mencetak koin-koin ini untuk menghindari
penimbangan yang memakan biaya yang tinggi setiap kali terjadi transaksi. Uang
dapat diproduksi secara pribadi hanya dengan membawa emas dan perak yang sudah
ditambang ke percetakan. Dengan standar uang komoditas, dulunya muatan logam
suatu koin sama nilainya dengan nilai koin tersebut sebagai uang. Artinya
intrinsik sama dengan ekstrinsik. Atas dasar ini, jika ditemukan lebih banyak
emas dan perak, persediaan uang akan naik. Demikian juga harga akan naik dan
nilai uang akan turun. Hal sebaliknya terjadi bila persediaan emas dan perak
turun. Demikian penjelasan sederhana mengenai siklus inflasioner-deflasioner di
bawah standar uang komoditas.
Walaupun
analisisnya tidak begitu spesifik, tampaknya Al-Ghazali sudah menguasai
dasar-dasar teori siklus ini. Perhatiannya terutama ditujukan pada problem yang
muncul akibat pemalsuan dan penurunan nilai –mencampur logam kelas rendah
dengan koin emas atau perak, atau mengikis muatan logamnya. Ia menganggap
pemalsuan uang sebagai bukan hanya dosa perorangan, tetapi terutama berpotensi
merugikan masyarakat secara umum:
”Memasukkan uang palsu dalam peredaran merupakan
suatu kezaliman yang besar. Semua yang memegangnya dirugikan....peredaran satu
dirham palsu lebih buruk daripada mencuri seribu dirham, karena tindakan
mencuri merupakan sebuah dosa yang langsung berakhir setelah dosa itu
diperbuat; tapi pemalsuan uang merupakan sesuatu yang berdampak pada banyak
orang yang menggunakannya dalam transaksi selama jangka waktu yang lama.”
Mengenai
penurunan nilai uang, Al-Ghazali mengatakan,
”Jika sekeping koin mengandung sejumlah perak
tertentu, tetapi dicampur dengan tembaga, dan itu merupakan koin resmi dalam
negara tersebut, maka hal ini dapat diterima, baik muatan peraknya diketahui
ataupun tidak. Namun, jika itu tidak resmi, koin itu dapat diterima hanya jika
muatan peraknya diketahui.”
Dari
pernyataannya tersebut, tampaknya Al-Ghazali berpendapat bahwa jika penurunan
nilai uang terjadi karena kecurangan, pelakunya harus dihukum. Namun, jika
pencampuran logam dalam koin merupakan tindakan resmi negara dan diketahui oleh
semua penggunanya, hal ini dapat diterima. Dengan demikian, ia membolehkan
kemungkinan uang representatif (token money), seperti yang kita kenal dalam
istilah modern. Sebuah pemikiran yang mengantarkan kita pada apa yang disebut
sebagai teori uang feodalistik yang menyatakan bahwa hak bendahara publik untuk
mengubah muatan logam dalam mata uang merupakan monopoli penguasa feodal.[iv]
IV.5 Karakteristik
dan Fungsi Uang Menurut Ghazali dan Ulama Lain
Bentuk uang yang pertama kali
dikenalkan oleh Islam adalah emas dan perak. Ketika Rasul telah diangkat
sebagai nabi, kemudian menetapkan emas dan perak sebagai mata uang ahli Makkah
dan sekaligus mewajibkan zakat. Di masa kekhalifahan Umar ra., emas dan perak
masih tetap digunakan sampai tahun 18 hijrah. Setelah itu, Umar ra. menetapkan
dinar dan dirham sebagi mata uang. Dalam uang tersebut dituliskan lafadz “Alhamdulillah“,
“La ilaha illa Allah”, ataupun “Rasulullah”. Pada saat tersebut,
ditetapkan 10 dirham mempunyai nilai 6 mitsqal. Pada masa Utsman ra.
tetap menggunakan dirham dan dituliskan lafadz “Allahu Akbar”. Di masa
kekhalifahan Muawiyah, dirham tetap digunakan dan 10 dirham mempunyai nilai 7 mitsqal.
Ketika Abdul Malik bin Marwan menjadi khalifah, dinar dan dirham tetap menjadi
mata uang, ditetapkan 10 dirham nilainya 7 mitsqal.
Uang mempunyai peranan penting dalam
kehidupan manusia, uang mempunyai fungsi dan peran dalam kehidupan ekonomi.
Uang bisa digunakan untuk melakukan transaksi perdagangan dan memudahkan
pertukaran. Selain itu, bisa digunakan untuk menyimpan kekayaan dan
merefleksikan sebuah nilai. Menurut Ibnu Taimiyyah, uang mempunyai dua fungsi
utama, yaitu uang sebagai medium of exchange (alat tukar), dan berfungsi
sebagai standart nilai. Ibnu Taimiyah berkata :
“Adapun dinar dan dirham maka tidak
diketahui atasnya batasan alami dan syari, namun keduanya kembali pada materi
dan istilah. Hal tersebut karena secara asal, keduanya tidak berhubungan dengan
maksud atasnya, akan tetapi, tujuannya adalah sebagai standart atas segala
sesuatu yang ditransaksikan dengannya, dinar dan dirham tidak dimaksudkan akan
diri keduanya, akan tetapi hanyalah wasilah untuk bertransaksi dengannya. Untuk
itu, keduanya merefleksikan nilai, berbeda dengan harta-harta yang lain, yang
dimaksudkan adalah kemanfaatan atas barang tersebut”.(Ibnu Taimiyyah, majmu’ al
fatawa).
Ibnul Qayyim juga menegaskan fungsi
uang seperti yang disebutkan oleh Ibnu Taimiyyah. Ibnu Qayyim berpendapat ;
“Syariah mengharamkan riba fadl
atas 6 komoditas, dua di antaranya emas dan perak, adapun illat keduanya adalah
keduanya merupakan refleksi atas harga obyek transaksi, maka keduanya harus
tetap, tidak naik dan turun nilainya. Dengan keduanya sesuatu bisa bernilai,
dan keduanya tidak mempunyai nilai kecuali dengan sesuatu yang lain, dan
keduanya tidak diperbolehkan sebagai obyek transaksi, karena keduanya tidak
dimaksudkan atas dzatnya, keduanya dimaksudkan sebagai wasilah untuk
mendapatkan barang, ketika keduanya telah menjadi komoditas dan digunakan atas
dzatnya, maka rusaklah urusan manusia”
Menurut Al Ghazali, fungsi utama uang
adalah sebagai alat tukar yang merefleksikan nilai sebuah komoditas, uang ibarat
cermin yang tidak berwarna tetapi dapat merefleksikn semua warna. Adapun Ibnu
Khaldun menjelaskan, uang mempunyai 3 fungsi utama dalam kehidupan ekonomi,
yaitu sebagai standart nilai, medium of exchange, dan penyimpan
kekayaan. (Ibnu Khaldun, Mukaddimah).
Berdasarkan atas penjelasan di atas,
dalam Islam uang mempunyai fungsi sebagai berikut (Abu Bakar Siddiq: ibid) :
- Standar nilai dan satuan hitung
- Alat pembayaran (medium of exchange)
- Alat penyimpan kekayaan bukan penimbun kekayaan, ada perbedaan antara menyimpan (iddikhor) dengan menimbun (iktinaz). Orang akan menyimpan sesuatu yang lebih atas kebutuhannya sebagai persiapan di waktu mendatang, atau untuk infaq atau kemaslahatan bersama. Iktinaz adalah harta yang tidak dikeluarkan zakatnya, berdasarkan hadiat Ibnu Umar, “sesuatu yang dikeluarkan zakatnya maka tidak sama dengan iktinaz walaupun ada di dasar bumi”.
- Dapat digunakan sebagai alat pembayaran zakat, kharaj dan lainnya
Dalam pemahaman ulama fiqh, uang
identik dengan dinar dan dirham, hal tersebut disadari karena pada saat
tersebut tidak ditemukan uang kertas yang berfungsi sebagai uang sampai pada
abad 16. Sebenarnya, tidak terdapat dalil syara’ yang mewajibkan untuk
menggunakan uang dinar dan dirham, atau mengharamkan penggunaan uang kertas. Yang
terpenting, substansi uang yang ada dapat merefleksikan fungsinya dalam
kehidupan ekonomi.
V.
HASIL
ANALISIS
V.1 Uang Adalah Flow Concept
Konsep uang dalam Islam berbeda dengan
konsep uang dalam sistem kapitalis. Dalam Islam, uang adalah uang yang hanya berfungsi
sebagai alat tukar. Jadi uang adalah sesuatu yang terus mengalir dalam
perekonomian, atau lebih dikenal sebagai flow concept. Sedangkan dalam
ekonomi konvensional, uang adalah barang modal (capital), komoditas dagangan,
sesuatu yang bisa ditukarkan, dan beberapa kapasitas yang lain. Atau dengan
kata lain, uang adalah sesuatu yang biasa disimpan atau stock concept.
Dalam setiap sistem perekonomian,
fungsi utama uang selalu sebagai alat tukar (medium of exchange). Fungsi utama
ini lalu memiliki derivasi fungsi-fungsi lain seperti: uang sebagai standard
of value, store of value, unit of account dan standard of deferred
payment. Mata uang mana pun niscaya akan berfungsi seperti ini.
Dalam sistem perekonomian kapitalis,
uang dipandang tidak saja sebagai alat tukar yang sah (legal tender) melainkan
juga dipandang sebagai komoditas. Dengan demikian, menurut sistem ini, uang
dapat diperjualbelikan dengan kelebihan baik on the spot maupun secara
tangguh. Dalam perspektif ini uang juga dapat disewakan (leasing).
Dalam Islam, apapun yang berfungsi
sebagai uang, maka fungsinya hanyalah sebagai medium of exchange. Ia
bukan suatu komoditas yang bisa dijualbelikan dengan kelebihan baik secara on
the spot maupun bukan. Satu fenomena penting dari karakteristik uang adalah
bahwa ia tidak diperlukan untuk dikonsumsi, ia tidak diperlukan untuk dirinya
sendiri, melainkan diperlukan untuk membeli barang yang lain sehingga kebutuhan
manusia dapat terpenuhi. Inilah yang dijelaskan oleh Al-Ghazali bahwa emas dan
perak hanyalah logam yang di dalam substansinya (zatnya itu sendiri) tidak ada
manfaatnya atau tujuan-tujuannya. Menurut beliau dalam kitabnya Ihya’
Ulumiddin “Kedua-duanya tidak memiliki apa-apa tetapi keduanya
adalah segala-galanya”. Keduanya ibarat cermin, ia tidak memiliki warna
namun, ia bisa mencerminkan semua warna.
Sekalipun pada masa awal Islam
masyarakat sudah terbiasa bermuamalah dengan dinar dan dirham, kemungkinan
untuk menjadikan barang lain sebagai mata uang yang berfungsi sebagai medium
of exchange telah muncul dalam pikiran sahabat. Misalnya Umar bin Khattab
pernah mengatakan, “Aku ingin (suatu saat) menjadikan kulit unta sebagai
alat tukar.” Pernyataan ini keluar dari bibir seorang yang amat paham
tentang hakikat uang dan fungsinya dalam ekonomi. Menurut Umar, sesungguhnya
uang sebagai alat tukar tidak harus terbatas pada dua logam mulia saja seperti
emas dan perak. Kedua logam mulia ini akan mengalami ketidakstabilan manakala
terjadi ketidakstabilan pada sisi permintaan maupun penawarannya. Karena itu, apapun,
sesungguhnya dapat berfungsi menjadi uang termasuk kulit unta. Dalam
pandangannya, ketika suatu barang berubah fungsinya menjadi alat tukar (uang)
maka fungsi moneternya akan meniadakan fungsinya atau paling tidak akan
mendominasi fungsinya sebagai komoditas biasa.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah juga
berpendapat bahwa uang sebagai alat tukar bahannya bisa diambil dari apa saja
yang disepakati oleh adat yang berlaku (‘urf) dan istilah yang dibuat oleh
manusia. Ia tidak harus terbatas dari emas dan perak. Misalnya, istilah dinar
dan dirham itu sendiri tidak memiliki batas alami atau syari’. Dinar dan dirham
tidak diperlukan untuk dirinya sendiri melainkan sebagai wasilah (medium of
exchange). Fungsi medium of exchange ini tidak berhubungan dengan tujuan
apapun, tidak berhubungan dengan materi yang menyusunnya, juga tidak
berhubungan dengan gambar cetakannya, namun dengan fungsi ini tujuan dari
keperluan manusia dapat dipenuhi.
Pada umumnya para ulama dan ilmuwan
sosial Islam menyepakati fungsi uang sebagai alat tukar saja. Deretan ulama
ternama lain seperti: Ibnu Taymiyyah, Ibnul Qayyim al-Jauziyyah, Ar-Raghib
al-Ashbahani, Ibnu Khaldun, al-Al-Maqrizi dan Ibnu Abidin dengan jelas
menandaskan fungsi pokok uang sebagai alat tukar. Karena itu mata uang haruslah
bersifat tetap, nilainya tidak naik dan turun.
V.2 Fungsi Uang
Dalam Perspektif Islam
Walaupun pada awal kemunculan
pemikiran ekonomi Keynesian (1930-an), eksistensi uang dalam ekonomi belum
diakui sepenuhnya, namun seiring dengan peredaran masa dan sejalan dengan
perubahan ekonomi, fungsi dan peran uang dalam ekonomi semakin penting sehingga
ia tidak bisa dipisahkan dari sistem ekonomi. Hal ini menyebabkan para ekonom
berkonklusi bahwa uang merupakan salah satu faktor penting dalam menentukan
tingkat aktivitas ekonomi sebuah negara. Setidaknya ada dua alasan mendasar
mengapa para ekonom melihat uang itu penting dalam aktivitas perekonomian. Pertama,
adalah karena uang dapat digunakan untuk menentukan jumlah nominal, seperti
tingkat harga, dan kedua karena ia juga dapat dijadikan standar untuk
menentukan jumlah riil, seperti jumlah out put riil dan tenaga kerja riil.
Dalam sejarah Islam, kesadaran akan
pentingnya uang dalam sebuah sistem ekonomi telah muncul jauh sebelum ilmu
ekonomi itu diakui sebagai sebuah disiplin ilmu tersendiri. Peran uang dalam
ekonomi Islam telah didiskusikan oleh Imam Al-Ghazali (1058-1111 M) dalam
kitabnya yang terkenal, “Ihya Uluum ad-Diin”. Menurut beliau, manusia
memerlukan uang sebagai alat perantara/pertukaran (medium of exchange) untuk
membeli barang dan jasa. Sementara itu Ibnu Taimiyah (1263) menyebutkan bahwa
uang itu tidak hanya berfungsi sebagai medium of change, tetapi juga
berfungsi sebagai alat untuk menentukan nilai (measurement of value). Akhirnya,
dalam membahas peran uang dalam ekonomi, Ibnu Qayyim sependapat dengan
Al-Ghazali, sementara itu Ibnu Khaldun lebih cenderung bersetuju dengan
pendapat Ibnu Taimiyah.
Karena ada instrumen-instrumen ekonomi
konvensional baik yang bersifat instrumen policy atau institusional yang tidak
sejalan dengan ajaran Alquran dan Hadits, maka fungsi dan peran uang di dalam
ekonomi konvensional dan ekonomi Islam adalah berbeda. Sebab mendasar mengapa
fungsi uang dalam ekonomi Islam dan konvensional berbeda adalah karena dalam
sistem ekonomi Islam, interest (riba), perjudian (gambling) dan
unsur-unsur tidak jelas, gharar (uncertainty) itu diharamkan agama. Sedangkan
ekonomi konvensional melihat semua unsur ini sebagai sesuatu yang normal dan
legal.
V.3 Teori
Preferensi Likuiditas, Minus Spekulasi
Dalam ekonomi konvensional, J.M.
Keynes (1936) di dalam buku terkenalnya, “General Theory of Employment,
Interest and Money” mengemukakan sebuah teori tentang permintaan akan uang
yang dikenal dengan liquidity preference (preferensi likuiditas). Teori
preferensi likuiditas ini menyebutkan bahwa ada tiga motif utama yang
menentukan jumlah permintaan uang dalam sebuah perekonomian, yaitu: (i)
motif transaksi (transaction motive), (ii) motif berjaga-jaga
(precautionary motive), dan (iii) motif spekulasi (speculation motive).
Motif transaksi didefinisikan sebagai
suatu motif permintaan akan uang yang diperlukan untuk kebutuhan sebuah
transaksi. Karena transaksi ini biasanya dilakukan oleh individu dan pebisnis,
maka J.M. Keynes membagi motif transaksi ini ke dalam: (a) motif
pendapatan (income motive), dan (b) motif bisnis (business motive).
Sementara itu, motif berjaga-jaga adalah suatu motif untuk memegang uang dengan
tujuan mengantisipasi turbulansi ekonomi yang tidak dapat diprediksikan di
masa-masa mendatang. Dalam ekonomi konvensional, motif ini dipengaruhi oleh
tingkat pendapatan individu dan tingkat suku bunga. Sedangkan, permintaan uang
dengan motif spekulasi itu dimaksudkan untuk menghindari kemerosotan nilai
modal (capital value) akibat penurunan aktivitas ekonomi. Untuk menghindari
kerugian ini, biasanya para pelaku bisnis menginvestasikan uangnya (modal) di
pasar-pasar saham yang keuntungannya itu sangat ditentukan oleh perbedaan
tingkat suku bunga.
Jadi dapat dikatakan bahwa dua motif
pertama permintaan akan uang –motif transaksi dan motif berjaga-jaga- adalah
berkaitan langsung dengan fungsi uang sebagai alat pertukaran (tool of
exchange) dalam sebuah kegiatan perekonomian. Sedangkan motif spekulasi lebih
erat kaitannya dengan fungsi uang sebagai alat penyimpan harga atau kekayaan
(store of value or wealth). Jika kita komparasikan antara pendapat para pemikir
ekonomi Islam dengan pendapat Keynes di atas, jelas terlihat bahwa kecuali
motif memegang uang untuk berspekulasi, semua motif untuk memiliki uang lainnya
adalah disetujui oleh pemikir-pemikir ekonomi Islam seperti disebutkan di atas.
Kita ketahui bahwa motif spekulasi ini
dimaksudkan untuk meraup keuntungan dan menumpuk kekayaan dengan memanfaatkan
perubahan tingkat suku bunga dari masa ke masa. Melihat karakteristik dan cara
spekulasi itu dipraktekkan dalam dunia bisnis yang melibatkan bunga dengan
menghalalkan segala cara, mengedepankan nilai ketamakkan (greediness) tanpa
mempedulikan nilai-nilai keadilan, maka Islam secara tegas menentang motif
spekulasi. Salah satu contoh dari motif ini adalah tindakan ihtikar
(monopoli). Dalam memonopoli barang dan jasa sebagai salah satu tindakan
spekulasi, Imam Al-Ghazali membedakan antara monopoli pada saat kekurangan
(shortages) atau ekonomi dalam paceklik dan pada saat kelebihan (surplus)
barang dan jasa. Dalam keadaan shortages, praktek monopoli adalah sangat
bertentangan dengan nilai-nilai ekonomi Islam. Sementara itu, pemikir ekonomi
Islam tidak melihat tindakan monopoli pada saat barang dan jasa dalam keadaan surplus
sebagai suatu tindakan yang bertentangan dengan nilai-nilai moralitas dan
norma-norma keislaman. Hal ini dikarenakan pada saat kelebihan barang dan jasa
beredar di pasar, tindakan monopoli tidak akan mempengaruhi harga barang dan jasa
sehingga tidak akan membahayakan kesejahteraan umat. Jadi jelaslah bagi kita
bahwa, motif spekulasi ini sangat bertentangan dengan nilai-nilai keadilan
karena selain melibatkan interest, ia juga melibatkan unsur-unsur perjudian
(gambling) dan juga melibatkan unsur-unsur gharar.
Seperti disebutkan sebelumnya, kedua
motif transaksi dan motif berjaga-jaga tidaklah dilihat sebagai motif
permintaan akan uang yang bertentangan dengan nilai-nilai dan norma-norma
keislaman. Akan tetapi ini tidak berarti bahwa dalam melakukan transaksi,
seseorang itu bisa berbuat sekehendak hatinya dengan melanggar ketentuan Allah
swt., seperti melakukan manipulasi, transaksi barang-barang illegal,
transaksi yang melibatkan bunga dan monopoli. Motif transaksi ini hendaklah
dilakukan berdasarkan konsep transaksi islami. Sedangkan, motif berjaga-jaga
adalah suatu motif permintaan uang yang sangat dianjurkan Islam, asal saja
motif itu tidak semata-mata termotivasi untuk meraup keuntungan semaksimal
mungkin, dengan memanfaatkan perbedaan suku bunga ketika menyimpan dan
mengeluarkan uang dari tempat penyimpanan uang (bank). Karena motif ini
merupakan motif seseorang untuk menabung demi kepentingan masa depan, terutama
dalam menghadapi kesulitan-kesulitan ekonomi yang tidak dapat diperkirakan,
maka motif ini sangat sesuai dengan nilai-nilai kemanusiaan dan pertimbangan
untuk membantu orang lain (altruistic consideration). Jadi motif ini sangat
berguna tidak hanya untuk meringankan beban diri sendiri, tetapi juga untuk
membantu meringankan beban orang lain tatkala menghadapi musibah ekonomi.
Namun, tentu saja bantuan yang diulurkan untuk meringankan beban orang lain itu
hendaklah tidak dalam pinjaman berbunga, tetapi sebaiknya dalam bentuk bantuan
bebas bunga, qardh al-hasan.
V.4 Uang Bukan
Komoditas Melainkan Hanya “Cermin”
Di samping itu, perlu diketahui bahwa
Islam melarang memperlakukan uang sama dengan barang (commodity) yang bisa
diperjualbelikan. “In Islam, money is not identical with commodity that can
be traded for the purpose of making profit”. Di dalam Islam, uang tidaklah
identik dengan barang yang dapat diperjualbelikan dengan tujuan untuk meraup
keuntungan. Islam hanya melihat uang itu sebagai alat tukar, alat perantara dan
alat untuk menentukan nilai, bukan sebagai barang yang diperjualbelikan. Ini
bermakna bahwa Islam tidak membenarkan uang itu diperjualbelikan di pasar
valuta asing dengan tujuan spekulasi dan memperkaya diri. Keuntungan
memperjualbelikan uang di pasar valas yang bersumber dari perbedaan harga beli
dan harga jual serta perbedaan tingkat bunga antara satu negara dengan negara
lain dimana valuta asing diperjualbelikan adalah bertentangan dengan
nilai-nilai keislaman. Sebagai contoh, kita membeli Dollar Amerika dengan
menggunakan Rupiah. Lalu Dollar negara Paman Sam itu dijual untuk membeli Poundsterling
Inggris, dan kemudian Poundsterling dijual untuk membeli Deutchmark
Jerman, dan akhirnya mata uang ini dijual kembali untuk membeli Rupiah. Dari
proses jual beli ini –yang sering disebut dengan istilah Arbitraging-
biasanya keuntungan ataupun kerugian yang didapat adalah tidak setimpal dengan
pengorbanan yang dilakukan dan waktu yang diperlukan. Bisa jadi dalam masa yang
sesingkat-singkatnya, seperti kasus George Soros, yang dituding sebagai
penyebab utama terjadinya malapetaka krisis moneter di sebagian besar negara
Asia Timur pada pertengahan tahun 1997, keuntungan yang didapat dengan
memperjualbelikan uang di pasar valuta asing dalam jumlah berbilion-bilion.
Akibat tindakan Soros ini, tidak sedikit negara yang langsung ambruk
fundamental ekonominya, terutama Indonesia. Karenanya, tidak sedikit rakyat
negeri kepulauan ini harus menderita karena krisis ekonomi yang menerpa sampai
beberapa tahun kemudian. Inilah yang menjadi alasan mengapa Islam tidak
membenarkan uang itu diperlakukan sama seperti barang yang bebas
diperjualbelikan, seperti dipraktekkan dalam ekonomi barat.
VI.
PENUTUP
Berdasarkan
penjelasan panjang di atas, maka dapat ditarik beberapa kesimpulan penting, yakni:
1. Tidak semua fungsi uang dalam ekonomi konvensional
bisa diimplementasikan dalam sistem ekonomi Islam. Keterlibatan interest,
gambling dan gharar dalam motif permintaan uang untuk
berspekulasi telah menyebabkan motif ini
secara keras ditentang oleh Islam. Sementara dua motif lainnya, motif permintaan
uang untuk bertransaksi dan motif untuk berjaga-jaga tidak dipandang sebagai
motif memegang uang yang bertentangan
dengan nilai-nilai Islam, sejauh elemen-elemen riba tidak memotivasi mereka
dalam kedua motif permintaan uang tersebut.
2. Tidak seperti halnya prinsip ekonomi konvensional,
prinsip ekonomi Islam menentang keras uang itu untuk diperlakukan sama
dengan barang (commodity) yang dapat diperjualbelikan semata-mata untuk
meraih keuntungan.
3. Konsep uang dalam Islam berbeda dengan konsep uang
dalam sistem kapitalis. Dalam Islam, uang adalah uang yang hanya berfungsi
sebagai alat tukar. Jadi uang adalah sesuatu yang terus mengalir dalam
perekonomian, atau lebih dikenal sebagai flow concept. Sedangkan
dalam ekonomi konvensional, uang adalah barang modal (capital), komoditas
dagangan, sesuatu yang bisa ditukarkan, dan beberapa kapasitas yang lain. Atau
dengan kata lain, uang adalah sesuatu yang biasa disimpan atau stock
concept.
4. Problematika moneter di dunia saat ini kerap
menjadi penyebab nomor wahid terjadinya krisis ekonomi di banyak negara.
Padahal pada zaman Rasul dulu, masalah itu tidak menjadi sebuah kendala yang
pokok. Salah satu alasannya adalah, karena salahnya para ekonom memandang uang.
Uang yang seharusnya menjadi flow malah menjadi stock. Yang
seharusnya hanya menjadi perantara, malah menjadi komoditas yang
diperdagangkan. Bahkan dijadikan sebagai alat spekulasi yang menghancurkan.
Nampaknya, konsep Islam yang dalam hal ini diusung oleh seorang ulama
terkemuka, Imam Al-Ghazali, berada pada posisi yang lebih baik.
Setelah melalui proses cukup
melelahkan dan panjang dalam upaya menelusuri pemikiran ekonomi Al-Ghazali
tentang uang, akhirnya penulis menyarankan perlunya penelaahan lebih lanjut dan
intens terhadap pemikiran-pemikiran ekonomi Ghazali, khususnya hal-hal yang
menyangkut permasalahan moneter. Ini bisa dilakukan dengan menambah literatur
sebagai bahan rujukan yang lebih lengkap.
BIBLIOGRAFI
An-Najjar, Abdul
Hadi Ali. 2000. Islam dan Ekonomi. Aceh: Majelis Ulama Daerah Aceh.
Chapra, M. Umer. 2001. “Manajemen
Moneter Ekonomi Islam” Paper.
Hamidi, M. Luthfi.
2007. Gold
Dinar, Sistem Moneter Global yang Stabil dan Berkeadilan. Jakarta: Senayan Publishing.
Harinowo, Cyrillus. 2006. Merespon Gejolak Moneter Internasional. Artikel.
Hasan, Ahmad. 2005. Mata Uang Islam Telaah komprehensif Sistem
Keuangan Islami (penterjemah
Saifurrohman Barito), Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Karim, Adiwarman
Azwar. 2004. Sejarah Pemikiran Ekonomi
Islam. Jakarta: Rajawali Pers.
Manurung, Mandala.
Prathama Rahardja. 2004. Uang,
Perbankan, dan Ekonomi Moneter (Kajian Kontekstual Indonesia). Jakarta: FEUI.
Marthon, Said
Sa’ad. 2004. Ekonomi Islam Di Tengah
Krisis Ekonomi Global. Jakarta:
Penerbit Zikrul Hakim.
Siddiqi, M. Najatullah.
2001. “Pendekatan Islam terhadap
Ekonomi.” Paper
[i] Mandala Manurung dan Pratama Rahardja. 2004. Uang, Perbankan, dan Ekonomi Moneter. hal 4.
[ii] Ahmad Hasan. 2005. Mata Uang Islami. Hal 63.
[iii] Mandala Manurung dan Pratama Rahardja. 2004. Uang, Perbankan, dan Ekonomi Moneter. Hal 12.
(Paper ini telah berhasil dimuat dalam Jurnal MANAJEMEN BISNIS Syariah UIB Surakarta, Vol 7 No 1, Januari 2010)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar