ABSTRACT
In 2011, the Government of
Indonesia passed UU No. 23 tahun 2011 neighbor centralized management of zakat.
This is based on the reality of management of charity that still have not been
well integrated in the collection, distribution, and reporting. Passing of the
Law No. 23 Year 2011 marked a new era ties between Badan Amil Zakat Nasional
(BAZNAS) with the Lembaga Amil Zakat (LAZ). The concept of centralization and
coordination, between BAZNAS and LAZ not without its challenges, the pros and
cons of Law Act. This paper uses qualitative descriptive analysis method
informant interviews with experts to determine the model of the ideal
relationship between institutions.
The research includes a model
of the relationship between institutions, so that the management system is a
national charity can be done anamah, transparent, and professional. In the end,
the position of BAZNAS must be independent and as regulator of the management
of zakat.
Keyword : UU No. 23 tahun 2011, Model
of Relationship, Centralization, Zakat
JEL : A13, D63, E69, H11
I
PENDAHULUAN
I.a Latar Belakang
Islam sebagai pandangan hidup
(way of life) mempunyai ajaran yang menjamin keselamatan dunia akhirat,
bahkan eksistensinya diperadaban manusia sebagai rahmatan lil’alamin.
Hal ini termanifestasi dalam berbagai bidang kehidupan baik sosial, politik,
ekonomi, budaya, pendidikan dan sebagainya. Oleh karena itu, penerjemahan
ajaran Islam akan terus berkembang sesuai dengan percepatan ilmu pengetahuan
dan teknologi, sehingga dalam tataran ini pemberdayaan dalam berbagai bidang
tersebut mutlak sangat diperlukan[3].
Zakat merupakan salah satu
rukun Islam memiliki makna strategis dalam kehidupan sosial umat. Menunaikan
zakat selain sebagai implementasi kewajiban seorang muslim, juga merupakan wujud
solidaritas sosial terhadap sesama. Dalam kehidupan keseharian, kita dihadapkan
pada realitas sosial ekonomi umat yang masih memerlukan perhatian dan solusi.
Konsepsi pemberdayaan ekonomi
umat melalui pengamalan ibadah zakat yang diajarkan dalam Islam merupakan salah
satu alternatif yang dapat ditempuh dalam mengatasi masalah sosial dimaksud.
Potensi zakat yang cukup signifikan tersebut perlu digali secara optimal agar
dapat digunakan untuk ikut menggerakkan perekonomian umat disamping
potensi-potensi yang lain sehingga taraf hidup umat menjadi terangkat.
Namun yang menjadi masalah
selama ini antara lain adalah masalah pengelolaan zakat yang belum dilakukan
secara professional sehingga pengumpulan dan penyaluran zakat menjadi kurang
terarah disamping masih rendahnya pemahaman masyarakat terhadap permasalahan
zakat terutama masalah yang aktual dan kontemporer.
Undang-Undang Nomor 38 tahun
1999 muncul dalam semangat agar lembaga pengelola zakat tampil dengan
professional, amanah dan mandiri. Masih rendahnya kepercayaan terutama para
muzakki terhadap para amil zakat juga menjadi salah satu masalah yang
perlu mendapat perhatian. Selain itu kesadaran umat untuk berzakat, berinfaq
dan bershadaqah juga masih harus ditumbuhkan.
Hingga
saat ini, pengelolaan zakat di Indonesia masih jauh dari optimal terutama
apabila kita membandingkan antara besarnya dana zakat yang berhasil dikumpulkan
oleh para lembaga pengelola zakat dan potensi zakat yang sesungguhnya. Beragam
faktor dapat dikemukakan sebagai penyebabnya, antara lain minimnya kesadaran
muzakki untuk berzakat dan rendahnya kepercayaan terhadap organisasi pengelola
zakat yang ada. Selain itu, pemerintah yang diharapkan menjadi tulang punggung
utama pengelolaan zakat sebagaimana dititahkan oleh syariat belum menunjukkan
peran optimalnya.
Meskipun
demikian, seiring dengan mencairnya ketegangan ideologis antara negara dan umat
Islam, perhatian pemerintah terhadap pengelolaan zakat secara bertahap ternyata
menunjukkan peningkatan dan perbaikan dari waktu ke waktu[4].
Disahkannya
Undang-Undang Nomor 23 tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat merupakan langkah
perbaikan dari Undang-Undang sebelumnya, yaitu Undang-Undang Nomor 38 tahun
1999. Kehadiran undang-undang baru ini mengundang pro dan kontra menyangkaut
sentralisasi pengelolaan zakat oleh Baznas, sehingga perlu diteliti bagaimana
posisi Baz dan Laz dalam sebuah model hubungan yang ideal guna menciptakan
pengelolaan zakat yang transparan, akuntanbel, amanah dan mampu mensejahterkan
masyarakat luas dengan distribusi yang adil dan merata.
I.b Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang
diatas, maka rumusan masalah dari penelitian ini adalah Bagaimana
Optimalisasi Model Hubungan BAZ dengan LAZ dalam Upaya Penguatan Zakat
Nasional Sebagai Refleksi UU No. 23 tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat?
I.c Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah
di atas, maka tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui Model
Hubungan BAZ dengan LAZ dalam Upaya Penguatan Zakat Nasional Sebagai Refleksi
UU No. 23 tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat yang ideal dan
berkesinambungan.
II
LANDASAN TEORI
II.a Zakat
Dalam bukunya, Zakat dalam
Perekonomian Modern (2002) dan Anda Bertanya tentang Zakat, Infak, dan Sedekah
Kami Menjawab (2005), Dr. K.H. Didin Hafidhuddin, M.Sc. menjelaskan bahwa ditinjau
dari segi bahasa, kata zakat mempunyai beberapa arti, yaitu al-barakatu
‘keberkahan’, al-namaa ‘pertumbuhan dan berkembang’, ath-thaharatu
‘kesucian’, dan ash-shalahu ‘keberesan’. Sedangkan secara istilah,
meskipun para ulama mengemukakannya dengan redaksi yang agak berbeda antara
satu dan lainnya, akan tetapi pada prinsipnya sama, yaitu bahwa zakat adalah
bagian dari harta dengan persyaratan tertentu yang Allah SWT mewajibkan kepada
pemiliknya untuk diserahkan kepada yang berhak menerimanya dengan persyaratan
tertentu pula.
Orang yang wajib membayar
zakat adalah muzakki sedangakan yang berhak untuk menerima dana zakat adalah mustahiq
yang terbagi kedalam delapan golongan, yaitu: fakir, miskin, ‘amil, muallaf,
budak belian, orang yang terbebani hutang, di jalan Allah (fi sabilillah)
dan pengembara (ibnu sabil)[5].
II.b Lembaga Amil Zakat di
Indonesia
Dasar hukum berdirinya
lembaga pengelola zakat di Indonesia adalah Undang-undang Nomor 38 Tahun 1999
tentang pengelolaan zakat, Keputusan Menteri agama Nomor 581 tahun 1999 tentang
Pelaksanaan UU No. 38 Tahun 1999, dan keputusan Direktur Jenderal Bimbingan
Masyarakat Islam dan Urusan Haji No. D/ 291 tahun 2000 tentang Pedoman Teknis
Pengelolaan Zakat serta selanjutnya Undang-undang No. 23 tahun 2011 tentang Sentralisasi
Zakat. Sedangkan dasar hukum lain yang memiliki kaitan erat dengan zakat adalah
Undang-undang No. 17 tahun 2000 tentang Pajak Penghasilan. Undang-undang in
menjelaskan bahwa zakat merupakan pengurang Penghasilan Karena Pajak (PKP).
Pengelolaan zakata sebagaimna
tertuang dalam pasal 1 ayat (1) Undang-undang No. 38 tahun 1999, didefinisikan
sebagai kegiatan perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan dan pengawasan
terhadap pengumpulan dan pendistribusian serta pendayagunaan zakat. Organisasi
pengelola zakat yang diakui pemerintah terdiri atas dua lembaga, yaitu Badan
Amil Zakat dan Lembaga Amil Zakat.
Badan Amil Zakat (BAZ) adalah
lembaga yang dibentuk pemerintah yang bertugas untuk mengelola zakat, sedangkan
Lembaga Amil Zakat (LAZ) adalah lembaga yang dibentuk oleh masyarakat dan
mendapatkan pengakuan dari pemerintah. BAZ dan LAZ mendapat tugas untuk
mengeluarkan surat Bukti Setor Zakat (BSZ) yang dapat digunakan untuk
mengurangkan Penghasilan Kena Pajak (PKP) saat membayar pajak di Kantor Pelayanan
Pajak.
BAZ memiliki struktur dari
pusat hingga kecamatan. BAZ di tingkat pusat di sebut Badan Amil Zakat Nasional
(BAZNAS). BAZNAS berdiri berdasarkan surat keputusan presiden Republik
Indonesia nomor 8 tahun 2001 tanggal 17 Januari 2001. Sedangkan BAZ di tingkat
provinsi dikenal dengan sebutan Badan Amil Zakat Daerah (BAZDA), BAZDA Tk I/
BAZDA Provinsi untuk tingkat provinsi dan BAZDA Tk II/ BAZDA Kota untuk tingkat
kabupaten atau kotamadya.
Meskipun BAZ dibentuk oleh
pemerintah, namun proses pembentukannya sampai kepengurusannya harus melibatkan
unsur masyarakat. Dengan demikian, masyarakat luas dapat menjadi pengelola BAZ
sepanjang kualifikasinya memenuhi syarat sebagimana tertuang dalam ayat 6 Undang-undang No. 38 tahun 1999.
Lembaga Amil Zakat (LAZ)
merupakan lembaga pengelola zakat yang dibentuk oleh masyarakat sehingga tidak
memiliki afiliasi dengan BAZ. BAZ dan LAZ masing-masing berdiri sendiri dalam
pengelolaan zakat.
II.c Konsep Pengelolaan
Zakat dan Manajemen Zakat di Indonesia
Zakat merupakan ibadah yang
berdimensi ganda, baik vertikal maupun horizontal. Dikatakan demikian, karena
zakat di samping bersifat ta’abuddi (merupakan ibadah kepada Allah SWT), juga
bersifat ijtima’iyah (sosial masyarakat). Oleh karena itu, maka pelaksanaannya
harus dilakukan dengan cara memperhatikan dan mempertimbangkan kedua dimensi
tersebut. Pada prinsipnya, dibenarkan oleh syariat Islam apabla seseorang yang
berzakat langsung memberikan sendiri zakatnya kepada para mustahiq
dengan syarat kriteria mustahiq sejalan dengan firman Allah Ta’ala dalam
surat at Taubah: 60. Akan tetapi, sejalan denga firman Allah tersebut dan juga
berdasarkan tuntunan Nabi Muhtammad saw, tentu akan lebih utama jika zakat itu
disalurkan lewat amil zakat yang amanah, bertanggungjawab, dan
terpercaya. Ini dimaksudkan agar distribusi zakat tersebut tepat sasaran
sekaligus menghindari penumpukan zakat pada mustahiq tertentu sementara mustahiq
yang lainnya tidak mendapatkan haknya.
Disamping itu, terdapat mustahiq
yang berani terang-terangan meminta dan ada pula mustahiq yang merasa
berat (malu) untuk meminta. Dengan demikian, dimungkinkan zakat hanya diberikan
kepada mereka yang berani, sementara kurang memperhatikan terhadap mereka yang
malu.
Oleh karena itu, maka ahli
fiqh (fuqaha) menekankan tanggungjawab pemerintah dalam pengumpulan
zakat dengan cara yang benar, menyalurkanya dengan cara yang benar pula, dan
menghalanginya dari hal-hal yang bathil. Allah Ta’ala berfirman dalam surat al
Hajj: 41,
“ (yaitu) orang-orang yang
jika Kami teguhkan kedudukan mereka di muka bumi niscaya mereka mendirikan
shalat, menunaikan zakat, menyuruh pada berbuat ma’ruf dan mencegah dari
perbuatan yang mungkar; dan kepada Allah-lah kembali segala urusan.”
Inilah yang dilakukan oleh
Rasulullah saw dan para khalifah setelah beliau. Apabila pemerintah tidak
memainkan perannya dalam mengurus zakat, maka boleh didirikan badan, institusi,
lembaga, asosiasi, atau panitia yang melaksanakan tanggungjawab ini, namun
semuanya itu harus berada di bawah pengawasan pemerintah. Badan-badan semacam
ini lebih mampu, jika dibandingkan dengan individu-individu, dalam
mengembangkan sumber-sumber zakat dan menyalurkannya kepada pihak-pihak yang
berhak menerimanya secara syar’i.
Pengelolaan zakat di
Indonesia memiliki beberapa tahapan, yaitu sebagai berikut[6]:
1. Sebelum kelahiran UU Nomor 38
tahun 1999 tentan gpengelolaan zakat
a. Pengelolaan zakat di masa
penjajahan
b. Pengelolaan zakat di awal
kemerdekaan
c.
Pengelolaan zakat di masa orde baru
d. Pengelolaan zakat di era
reformasi
2. Pasca kelahiran UU Nomor 38
tahun 1999
3. Kelahiran UU Nomor 23 tahun
2011
II.d Penelitian Terdahulu
M.
Sularno (2010) dalam penelitiannya mengenai Pengelolaan Zakat Oleh Badan Amil
Zakat Daerah Kabupaten/ Kota Se Daerah Istimewa Yogyakarta: Studi Terhadap
Implementasi Undang-Undang No. 38 Tahun 1999 Tentang Pengelolaan Zakat[7] didapati
bahwa pengumpulan zakat BAZDA kabupaten / kota di DIY dalam hal pengumpulan
zakat memiliki dua alternatif, yaitu secara aktif mendatangi para muzakki untuk
mengambil zakat dan pasif menunggu para muzakki datang memberikan zakat. Dalam
hal pendistribusian zakat, penyaluran dana zakat yang terkumpul telah diarahkan
kepada delapan kelompok dengan prosentasi yang beragam, namun disesuaikan pada
kondisi obyektif di masing-masing daerah, didahului dengan rapat pengurus. Kemudian
dilakukan pembinaan dan pendampingan bagi para mustahiq agar bersifat
produktif harta zakat yang diterimanya. Untuk mempertanggung jawabkan
kewajibannya kepada stakeholder, setiap BAZDA
telah melakukan audit secara internal dan penyampaian laporan hasil
kerja dalam bentuk pamflet maupun buku.
Terdapat
beberapa kendala yang dihadapi oleh pengurus BAZDA kabupaten / kota di DIY
dalam melaksanakan program-programnya, yang secara umum dapat dibagi kedalam
dua kategori, yaitu :
a. Ditinjau dari asal kendala, terdapat dua kendala, yakni
internal dan eksternal. Kendala internal meliputi masih belum adanya manajemen
profesional dalam pengelolaan BAZDA, belum adanya honorarium yang definitif
bagi para pengurus, masih banyaknya anggota pengurus yang menjadikan pekerjaannya
di BAZDA hanya sebagai pekerjaan sampingan dan belum adanya kantor yang
representatif. Sementara kendala eksternal meliputi tidak adanya kesadaran yang
penuh dari para muzakki untuk menyerahkan zakatnya pada BAZDA dan lebih senang
menyalurkannya secara langsung kepada mustahiq, belum adanya regulasi,
utamanya berupa Peraturan Daerah tentang Zakat, dan masih adanya pungutan zakat
secara internal di instansi pemerintah.
b. Dari spesifikasi kinerja, bidang organisasi mengalami
kendala dalam manajemen operasional, akibat kesibukan dan kurangnya sikap
profisonalitas para pengurus. Begitu juga proses penyegaran di tubuh pengurus
BAZDA yang tidak berjalan baik. Di bidang pengumpulan, sasaran muzakki yang
belum tergarap sempurna dan adanya lembaga exofficio sebagai Unit Pengumpul
Zakat di instansi-instansi pemerintah maupun swasta juga menjadi kendala dalam
proses pengumpulan. Sementara pada bidang distribusi, kendala yang dihadapi
terutama adalah belum terdatanya dengan baik para mustahiq sehingga
zakat yang diberikan belum dapat didayagunakan secara optimal, terutama
pendayagunaan zakat secara produktif.
Heru Susetyo (2008) dalam
penelitian terhadap Peran Negara Dalam Pengelolaan Zakat Perspektif Negara
Kesejahteraan dan Praktek Negara-Negara Tetangga[8]
memperoleh hasil bahwa, secara legal dan konstitusional negara Indonesia tidak
memiliki kewenangan secara mutlak untuk mengelola zakat. Konstitusi UUD 1945
dan berbagai macam perundang-undangan tidak menyebutkan secara eksplisit bahwa
negara adalah satu-satunya penyelenggara zakat. Hal tersebut dikarenakan
Indonesia bukan megara Islam melainkan negera demokrasi.
Secara praktek kesejahteraan
sosial yang dilakukan negara RI selama ini, tidak juga menunjukkan bahwa negara
RI adalah negara kesejahteraan (welfare state) yang telah melaksanakan
kewajibannya secara penuh untuk memenuhi kebutuhan dasar rakyatnya apakah
dengan pendekatan institusional ataupun developmental. Satu-satunya pijakan
sentralisasi pengelolaan zakat pada negara adalah praktik yang dicontohkan
Rasulullah saw dan para khalifah yang mengumpulkan dan mengelola zakat dalam
kapasitas sebagai penguasa. Namun, hal itupun tak dapat dijadikan pijakan
utama, karena ada khilafah seperti Utsman bin Affan yang mengelola zakat secara
partisipatif.
Jalan tengah yang baik,
adalah dalam konteks kebijakan sosial yang berkeadilan, peran negara dan
masyarakat tidak dalam posisi paradoksal melainkan dua posisi yang bersinergi. Peran
negara dalam pelayanan sosial seharusnya diperkuat dan bukannya diperlemah
seperti diusulkan kaum neoliberalisme pemuja pasar bebas dan bahwasanya negara
adalah pengemban kewajiban utama dalam pelayanan sosial, namun rakyat juga
harus diberi ruang untuk turut berpartisipasi dalam pelayanan sosial, apalagi
ketika terbukti negara tidak mampu mengemban peran dan kewajiban tersebut.
Moch.
Arif Budiman (2006) dalam tulisannya Transformasi Bentuk Kelembagaan Pengelola
Zakat di Indonesia Perspektif Legalisasi[9]
menyimpulkan bahwa, secara bertahap kebijakan pemerintah terhadap pengelolaan
zakat di tanah air menunjukkan perbaikan, yaitu dari fase apatisme, formalisme
menuju akomodasionisme. Perubahan sikap pemerintah dari “merintangi” menuju
“mendukung” pengelolaan zakat tentunya tidak terjadi begitu saja, melainkan
berkat perjuangan keras dan terus menerus dari umat Islam sendiri.
Bentuk
kelembagaan pengelola zakat juga telah menjadi semakin baik. Jika pada awalnya
lembaga pengelola zakat ditetapkan hanya di tingkat lokal, kini sudah ke
tingkat nasional. Saat ini zakat sudah menjadi salah satu pranata kenegaraan.
Lahirnya UUPZ Tahun 1999 menandai perkembangan strategis dan signifikan dalam
sejarah perzakatan di Indonesia.
Mahmudi (2009) dalam
penelitiannya tentang Penguatan Tata Kelola dan Reposisi Kelembagaan Organisasi
Pengelola Zakat[10]
menyatakan bahwa penting untuk menegakkan zakat dalam kancah perekonomian dalam
sisi kenegaraan dan keagamaan. Oleh karena itu, perlu dilakukan revitalisasi
dan optimalisasi zakat yang dapat ditempuh melalui penguatan tata kelola zakat,
penguatan kelembagaan organisasi zakat, penguatan regulasi dan penegakkan
hukumnya, dukungan politik, dan penguatan pengawasan zakat. Jika zakat sudah
ditegakkan maka ia memiliki kedudukan yang seiring dengan shalat, yaitu zakat
bukan lagi dipandang sebagai anjuran agama semata tapi merupakan kewajiban
sebagaimana halnya dengan perintah shalat yang selalu diikuti dengan perintah
menunaikan zakat.
III
DATA DAN METODOLOGI
III.a Data
Data yang digunakan dalam
penelititan ini adalah data primer yang bersumber dari hasil wawancara yang
diajukan kepada narasumber sebagai pakar dan berkompetensi dalam bidang
tersebut, kemudian ditunjang juga oleh data sekunder yang berasal dari pustaka,
situs web, maupun penelitian terdahulu.
III.b Metodologi
Penelitian ini menggunakan pendekatan
analisis deskriptif kualitatif berdasarkan kajian kepustakaan disertai dengan indept
interview terhadap pakar, praktisi, maupun akademisi. Dalam hal ini juga
menggunakan studi komparasi hasil penelitian terdahulu serta artikel-artikel di
media masa yang terkait dengan pembahasan. Dari data-data yang diperoleh
kemudian disusun berdasarkan aturan dan analisis yang sesuai dengan kaidah
penelitian sehingga mempermudah pembahasan masalah-masalah yang ada.
Dengan metode ini, peneniliti ingin
mengkaji bagaimana model hubungan dan posisi BAZNAS terhadap LAZ dalam upaya pengutatan
zakat nasional refleksi dari UU Nomor 23 tahun 2011. Diharapkan hasil yang
diperoleh dalam studi ini dapat memberikan kontribusi berupa rekomendasi yang
membangun dan bermanfaat, baik itu kepada peneliti, pembaca, masyarakat, dan negara.
IV
PEMBAHASAN
IV.a Pengelolaan Zakat Pra
UU Nomor 23 tahun 2011
Diskursus pengelolaan zakat di Indonesia dimulai pada tahun
1990an, dimana pengelolaan zakat secara profesional di Indonesia mulai
dilakukan dengan diprakarsai oleh masyarakat sipil (civil society) yang
ditandai dengan kemunculan Organisasi Pengelola Zakat (OPZ) bentukan swasta
seperti Dompet Dhuafa, PKPU, Rumah Zakat, Yayasan Dana Sosial Alfalah, Dompet
Peduli Umat, dll. Sebelumnya, pengelolaan zakat dikelola secara sederhana,
meskipun sudah
ada Badan Amil Zakat, namun kinerjanya belum optimal[11].
Pemerintah melalui Departemen Agama menginginkan adanya suatu
sentralisasi pengelolaan zakat, dengan mengajukan revisi atas UU 38/ 1999
tentang Pengelolaan Zakat. Dalam hal ini, tampaknya terlihat adanya suatu
niatan baik dari pemerintah, terutama Departemen Agama, untuk memberikan
perhatian lebih terhadap aktifitas pengelolaan zakat, yang sering dipandang
sebagai ibadah sosial ini. Memang, sejakdisahkannya UU pengelolaan zakat
tersebut, saat ini telah hadir ribuan lembaga swasta pengelola zakat.
Pemerintah berasumsi bahwa kondisi ini akan membawa pada
inefisiensi pengelolaan zakat nasional. Karenanya, sudah seharusnya,
pengelolaan zakat nasional dapat dilakukan secara sentralistik. Di mana, semua
arus dana zakat terkontrol oleh pemerintah, baik dalam proses pengumpulan
maupun dalam agenda pemberdayaannya. Dengan sentralisasi ini, diharapkan
kebermanfaatan zakat dapat lebih maksimal dirasakan oleh kelompok mustahiq.
Upaya reformasi pengelolaan zakat tersebut merupakan sebuah titik
terang baru bagi dunia perzakatan nasional. Fokus penuh pemerintah diharapkan
mampu menaikan kapasitas dari institusi pengelola zakat, dengan masuknya
pemerintah sebagai agen utama penggerak zakat sebagai pilar redistribusi
kesejahteraan nasional. Dalam pelaksanaannya, idealnya memang bahwa zakat
semestinya dikelola oleh negara, yang ditujukan bagi kesejahteraan
masyarakatnya.
Namun, upaya sentralisasi pengelolaan zakat nasional saat ini,
mengalami kendala besar. Setidaknya ada beberapa faktor yang mungkin menjadi
kontra produktif terhadap wacana sentralisasi tersebut, yakni: Pertama, konsep
peleburan dari lembaga pengelola zakat (LPZ) swasta yang belum jelas. Diakui
bersama, bahwa keberadaan LPZ sangat signifikan dalam perkembangan zakat
nasional. Ketidakjelasan konsep peleburan LPZ dalam agenda sentralisasi
pengelolaan zakat, dikhawatirkan akan membawa kemunduran pengelolaan zakat
nasional. Kedua, pemerintah belum memiliki grand design pengelolaan zakat
nasional yang terpadu. Keinginan sentralisasi pengelolaan zakat, lebih ditujukan
untuk menertibkan keberadaan LPZ. Sementara itu, belum ada agenda yang jelas
terkait rancang bangun pengelolaan zakat pasca-sentralisasi ini. Ketiga,
sentralisasi pengelolaan zakat tanpa mengubah konsep pengelolaan zakat dari
voluntaristik menjadi obligatori, dirasakan tidak akan berdampak signifikan
terhadap pengelolaan zakat nasional. Pengelolaan terpusat tanpa adanya kekuatan
hukum yang mengikat, dirasakan hanya akan memandulkan produktifitas dari
pengelolaan zakat nasional.
Ketiga faktor tersebut tampak penting dalam mempertimbangkan
wacana sentralisasi pengelolaan zakat yang tengah gencar dihembuskan oleh
pemerintah, terutama departemen agama sebagai pihak yang merasa paling
berwenang dalam pengelolaan zakat nasional. selayaknya berkaca dari pengelolaan
wakaf yang tersentralkan, tanpa adanya konsep pengelolaan yang jelas, yang
membuat wakaf tidak berdaya. Karenanya, geliat pengelolaan zakat yang dirasakan
sudah cukup semarak, jangan sampai mati begitu saja karena semangat
sentralisasi tanpa adanya konsep pemberdayaan pengelolaan zakat yang terpadu.
Bukan tidak mungkin isu reformasi zakat nasional melalui wacana sentralisasi
ini, justru menjadi gerakan deformasi yang justru menghancurkan aktifisme
pengelolaan zakat yang sudah sedemikian berkembang[12].
IV.b Pengelolaan Zakat
Pasca UU Nomor 23 tahun 2011[13]
DPR
telah mengesahkan RUU Pengelolaan Zakat menjadi UU pada rapat paripurna 27
Oktober 2011. RUU Zakat yang diperjuangkan sejak DPR periode 2004-2009 dan
naskah-nya telah selesai dibuat DPR sejak tahun 2010 sedangkan draft pemerintah
baru masuk pada April 2011, ternyata pembahasannya berjalan relatif singkat.
Pembahasan RUU Zakat selesai di bulan September 2011, hanya sekitar 3 bulan
saja.
UU No. 23 Tahun 2011 yang
merupakan amandemen terhadap UU No. 38 Tahun 1999 ini, menjadi kebijakan
pemerintah yang paling penting dan signifikan bagi dunia zakat nasional ke
depan, bahkan bisa berdampak hingga 1-2 dekade ke depan.
Pokok-Pokok Pemikiran UU
Nomor 23 tahun 2011
·
Sentralisasi pengelolaan zakat nasional oleh
BAZNAS (Badan Amil Zakat Nasional) yang melaksanakan fungsi perencanaan, pelaksanaan, pengendalian, pelaporan dan
pertanggungjawaban, dimana BAZNAS adalah lembaga pemerintah nonstruktural yang
mandiri dan bertanggung-jawab kepada Presiden melalui Menteri Agama;
·
Pengelolaan zakat di tingkat provinsi dan
kabupaten/kota dilakukan oleh BAZNAS provinsi dan BAZNAS kabupaten/kota;
·
BAZNAS, BAZNAS provinsi dan BAZNAS
kabupaten/kota dapat membentuk UPZ;
·
Masyarakat dapat mendirikan LAZ untuk membantu
BAZNAS;
·
LAZ wajib mendapat izin Menteri Agama dengan
syarat: (a) terdaftar sebagai ormas Islam; (b) berbadan hukum; (c) mendapat
rekomendasi BAZNAS; (d) memiliki pengawas syariah, (e) memiliki kemampuan
teknis, administratif dan keuangan; (f) bersifat nirlaba; (g) memiliki program
pendayagunaan zakat; dan (h) bersedia di-audit syariah dan keuangan secara
berkala;
·
Amil zakat yang beroperasi tanpa izin dipidana
penjara maksimal 1 tahun dan/atau denda maksimal Rp 50 juta.
·
BAZNAS dibiayai APBN dan hak amil,
BAZNAS provinsi dan BAZNAS kabupaten/kota dibiayai APBD, hak amil dan
APBN, dan LAZ dibiayai hak amil;
·
Menteri Agama melaksanakan fungsi pembinaan dan
pengawasan terhadap BAZNAS, BAZNAS provinsi, BAZNAS kabupaten/kota dan LAZ, dan
dapat memberikan sanksi administratif atas pelanggaran berupa peringatan
tertulis, pembekuan operasi hingga pencabutan izin.
·
LAZ yang telah dikukuhkan Menteri Agama sebelum
UU berlaku tetap diakui dan wajib menyesuaikan diri dengan UU baru paling
lambat 5 tahun.
LAZWIL
BAZ Provinsi
UPZ
LAZDA
BAZ
Kabupaten
UPZ
LAZWIL
|
BAZ Provinsi
|
UPZ
|
LAZDA
|
BAZ
Kabupaten
|
UPZ
|
IV.c Permasalahan dan
Solusi Menurut Pakar
Dalam penelitian yang
dilakukan melalui wawancara dengan indept interview kepada para pakar,
peneliti berhasil merumuskannya dalam tabel berikut:
Tabel permasalahan dan solusi
model hubungan BAZNAS dengan LAZ dalam realisasi sentralisasi zakat refleksi UU
No 23 tahun 2011
Tabel 1. Permasalahan
No
|
Lembaga
|
Sistem
|
SDI/Keanggotaan
|
1
|
Posisi
Baznas sebabagi pusat sentralisasi (Regulator dan operator)
|
Sistem
birokrasi yang ribet dan ruwet
|
Profesionalisme
perlu ditinjau ulang
|
2
|
UPZ
yang legal yang diperbolehkan menghimpun dan yang lain dilarang
|
Manajemen
muzakki yang masih belum teroptimalisasi
|
Minimnya
tenaga ahli
|
3
|
UPZ
diharuskan membentuk ormas
|
Koordinasi
dalam penyaluran yang masih belum kondusif
|
Pemberdayaan
SDI dalam fee yang belum terstandarisasi
|
4
|
Amil masih
bersikap pasif terhadap muzakki
|
Masih
tersendatnya distribusi yang merata
|
Lemahnya
daya juang dan totalitas pengabdian terhadap ummat
|
5
|
Supermasi
hukum yang masih lemah terhadap para pelanggar hukum
|
Belum
optimalnya reposisi zakat dan pajak
|
Masih
minimnya pengetahuan, pemahaman dan kesadaran masyarakat akan zakat
|
Tabel 2. Solusi
No
|
Lembaga
|
Sistem
|
SDI/ Keanggotaan
|
1
|
Baznas
bersifat regulator dan pengawas
|
Sistem
yang transparan akuntanbel dan amanah
|
Menyediakan
sekolah semacam STAN yang memang diperuntukan menjadi amil
|
2
|
Baznas
menjadi departemen tersendiri
|
Pengelolaan
yang profesional
|
Totalitas
dalam pengamdian untuk ummat dan agama
|
3
|
Baznas
manjadi lembaga ekonomi bukan agama
|
NPWZ
sebagai single identity number sebagai upaya manajemen muzakki
|
Menyiapkan
amil yang handal
|
4
|
Tertata
sistematis tanpa adanya intervensi
|
Perbaikan
sistem birokrasi yang mudah dan cepat tanggap
|
Sosialisasi
dan penyuluhan yang gencar
|
5
|
UPZ
diberi kebebasan sebagai bentuk penyelenggaraan ummat dalam menunaikan zakat
|
Zakat
sebagai pengurang pajak
|
Mendapat
upah gaji yang sesuai dengan UMR namun terbatas pada 1/8 dari nominal zakat
yang terkumpul
|
IV.d Alternatif Posisi
BAZNAS
Jika BAZNAS memilih kebijakan
tidak operasional menghimpun dan mengelola zakat, maka terdapat beberapa
alternatif untuk penataan posisi kelembagaan. Alternatif tersebut tidak hanya
menyangkut BAZNAS ansich, melainkan mengait persoalan yang lebih besar, yakni
Sistem Pengelolaan Zakat dan Wakaf. Dalam pengelolaan zakat di Indonesia,
sukses dan tidaknya tidak lagi bergantung pada inisiatif masing-masing BAZ dan
LAZ. Tetapi dikondisikan dalam sebuah sistem yang jelas, terarah dan terukur
hingga pengelolaan zakat sungguh-sungguh bisa terpadu. Urutan alternatif
berikut ini mengandung derajat ketinggian kelembagaan. Bila urutan pertama tak
memungkinkan, urutan berikut menjadi pertimbangan alternatif pengganti[14].
Demikian seterusnya dengan urutan alternatifnya adalah sebagai berikut:
1.
Kementrian
Zakat dan Wakaf (Kezwa)
Skim
Kezwa
|
2. Badan Perencanaan dan
Pengembangan Zakat dan Wakaf (Bappezwa)
Jika pembentukan kementerian
tidak memungkinkan, pemerintah dapat membentuk Badan Perencanaan dan
Pengembangan Zakat dan Wakaf (Bappezwa). Kedudukan Bappezwa langsung berada di
bawah koordinasi Presiden RI. Atau dapat juga di bawah Wakil Presiden RI. Peran
dan fungsi Bappezwa, sama seperti halnya Bappenas. Dalam operasinya, Bappezwa
berkoordinasi dengan seluruh BAZ dan LAZ.
Skim
Bappezwa
|
3. Badan Regulator Zakat dan
Wakaf (Barezwa)
Bila kondisi tersebut masih
memiliki banyak problem hingga sulit untuk direalisasikan, pemerintah dapat
membentuk Badan Regulator Zakat dan Wakaf (Barezwa). Kedudukan Barezwa sama
seperti Bappezwa, yakni berada di bawah pengawasan Presiden RI atau Wakil
Presiden RI. Dalam operasional kerja, Barezwa memerankan diri seperti Bank
Indonesia (BI).
Skim
Barezwa
|
Presiden/
Wakil Presiden
|
Dalam prakteknya, BI membagi
dunia perbankan berdasarkan pemilikan. Bank-bank negara seperti BRI, BNI dan
Bank Mandiri dimiliki pemerintah, sedangkan bank swasta seperti BCA, BII dan
BMI dimiliki masyarakat. Pemilihan tersebut dapat dijadikan landasan bagi
Barezwa dalam menempatkan BAZ dan LAZ. BAZ merupakan lembaga yang dikelola
pemerintah, LAZ lembaga yang dikelola masyarakat. Perlu ditegaskan, hal
tersebut hanya sebatas pengelolaan dan bukan pemilikan. Ini perbedaan mendasar
antara bank dan lembaga zakat. Motivasi pendirian bank untuk mencari laba, maka
bank memiliki shareholder, sedangkan tujuan lembaga zakat ialah
memberdayakan mustahiq, maka lembaga ini dimiliki masyarakat khususnya stakeholder.
4. Direktorat Jenderal Zakat dan
Wakaf (Dirjen Ziswa)
Skim
Depkeu
|
Untuk alokasi pemanfaatannya,
dapat mempertimbangkan beberapa hal berikut:
-
Sesuai dengan dana yang terhimpun di daerah
tersebut;
-
Tergantung pada program yang diajukan;
-
Tergantung pada total jumlah dana terhimpun
untuk didistribusikan ke seluruh Indonesia.
Dari keempat alternatif
tersebut, seluruh BAZ dan LAZ dapat berperan dan berfungsi seperti halnya
sekarang berjalan. Atau, peran dan fungsinya dikurangi hanya sebata UPZ saja.
Kedua model ini amat tergantung pada kejelian tim yang merumuskan kebijakan
pengelolaan zakat. Dalam hal membahas keseluruhan alternatif, dapat dilakukan
jika pemerintah memang bersungguh-sungguh mengelola zakat dan wakaf. Jika
tidak, maka biarkan BAZNAS, BAZ dan LAZ berjalan seperti halnya sekarang. Meski
terjadi beberapa benturan, pada kahirnya akan menemukan titik temu sendiri.
Pengelolaan zakat pasti akan menjumpai logikanya sendiri. Disamping itu, sesama
LPZ harus bisa menempatkan diri saat terjadi gesekan dan benturan di lapangan,
karena sifat LPZ ynag lebih dekat kepada tuntutan Islam bukan politik.
V
KESIMPULAN
V.a Kesimpulan
Dari pemaparan dan pembahasan
di atas, terdapat beberapa hal yang dapat disimpulkan, diantarnya adalah
sebagai berikut:
1) Pokok permasalahan dalam
realisasi sentralisasi zakat refleksi UU Nomor 23 tahun 2011 adalah posisi
BAZNAS yang bertindak sebagai regulator namun juga operator;
2) Sistem yang ada dalam kancah
pengelolaan zakat di Indonesia adalah bidang agama saja yang pada aspeknya
tidak sekedar agama namun juga bidang ekonomi;
3) Dalam memaksimalkan potensi
zakat dan muzakki sangat relevan dengan diadakannya NPWZ (Nomor Poko Wajib
Zakat) sebagai single identity number oleh muzakki;
4) Guna menyediakan tenaga ahli
dan kompetensi, perlu diadakanya lembaga pendidikan khusus zakat sejenis dengan
STAN yang nantinya diperuntukkan untuk menjadi amil zakat’
5) Upaya realisasi zakat sebagai
instrumen pengentasan kemiskinan dan pemberdayaan mustahiq adalah dengan
menjadikan zakat sebagai instrumen kebijakan publik.
V.b Rekomendasi
Rekomendasi yang dapat
peneliti tuturkan adalah bahwa, posisi BAZNAS diantara BAZ dan LAZ haruslah
tegas, independen, dan transparan serta amanah. Fokus BAZNAS selayakanya adalah
sebagai regulator dan bukan operator, hali ini bertujuan untuk mewujudkan suatu
sistem yang terkoordinir, rapi, serta bersinergi. Untuk mewujudkan hal itu,
pemerintah harus turut mendorong posisi BAZNAS sebagai unit lembaga publik yang
operasionalnya hanya sebatas pada pengawasan, peraturan dan perlindungan.
DAFTAR
PUSTAKA
Budiman, Moc. Arif (2006), “Transformasi Bentuk Kelembagaan
Pengelolaan Zakat di Indonesia: Perspektif Legalisasi”, Jurnal Intekna,
Vol. VI No. 1
Fakhruddin (2008), Fiqh
dan Manajemen Zakat di Indonesia, UIN-Malang Press, Malang
Hafidhuddin, Didin (2002), Zakat
dalam Perekonomian Modern, Gema Insani, Jakarta
_________________ (2005), Anda Bertanya tentang Zakat, Infak,
dan Sedekah Kami Menjawab, BAZNAS, Jakarta
Hafidhuddin, Didin, Ahmad Juwaini (2006), Membangun Peradaban
Zakat: Meniti Jalan Kegemilangan Zakat, Intitut Manajemen Zakat, Jakarta
Hafidhuddin, Didin, dkk. (2003), Problematika Zakat Kontemporer:
Artikulasi Proses Sosial Politik Bangsa, FOZ, Jakarta
Ibrahim, Yasin (2008), Kitab Zakat: Hukum, Tata Cara dan Sejarah,
Penerbit Marja, Bandung
Inoed, H. Amiruddin dkk. (2005), Anatomi Fiqh Zakata: Potret dan
Pemahaman Badan amil Zakat Sumatera Selatan, Pustaka Pelajar, Yogyakarta
Mahmudi (2009), “Penguatan Tata Kelola dan Reposisi Kelembagaan
Organisasi Pengelola Zakat”, Jurnal EKBISI, Vol. 4 No. 1, pp. 69-84.
Mufraini, M. Arif (2006), Akuntansi dan Manajemen Zakat:
Mengomunikasikan Kesadaran dan Membangun Jaringan, Kencana, Jakarta
Qardhawi, Yussf (2005), Spektrum Zakat Dalam Membangun Ekonomi
Kerakyatan. Zikrul Hakim, Jakarta
Sudewo,
Eri. Manajemen Zakat: Tinggalkan 15 Tradisi Terapkan 4 Prinsip Dasar.
Jakarta: Institut Manajemen Zakat. 2004
Sudirman (2007), Zakat
dalam Pusaran Arus Modernitas, UIN-Malang Press, Malang
Sularno, M. (2010), “Pengelolaan Zakat Oleh Badan Amil Zakat Daerah
Kabupaten/ Kota Se Daerah Istimewa Yogyakarta: Studi Terhadap Implementasi
Undang-Undang No. 38 Tahun 1999 Tentang Pengelolaan Zakat”, Jurnal Ekonomi
Islam La Riba, Vol. IV No. 1, pp. 34-44.
Suroso (2007), “Manajemen Badan Amil Zakat Ifaq dan Shadaqah
(BAZIS) Dalam Upaya Pemberdayaan Ekonomi Islam”, Jurnal Fordema, Vol. 7
No. 1, pp. 99
Susetyo, Heru (2008), “Peran Negara Dalam Pengelolaan Zakat:
Perspektif Negara Kesejahteraan dan Praktek Negara-Negara Tetangga”, Jurnal
Pemikiran dan Gagasan, Vol. 1
Wibisono, Yusuf (2012), Masa Depan Pengelolaan Zakat Nasional Pasca
UU No. 23 Tahun 2011, makalah disampaikan pada Public
Expose “ Indonesia Zakat and Development Report 2012” diselenggarakan oleh IMZ,
30 Januari 2012, Jakarta
[1] Staf pengajar dan
peneliti pada Sekolah Tinggi Ekonomi Islam (STEI) Tazkia. Email:
tasik_pisan@yahoo.com
[3] Suroso (2007), “Manajemen
Badan Amil Zakat Ifaq dan Shadaqah (BAZIS) Dalam Upaya Pemberdayaan Ekonomi
Islam”, Jurnal Fordema, Vol. 7 No. 1, pp. 99.
[4]Budiman, Moch. Arif (2006), “Transformasi
Bentuk Kelembagaan Pengelola Zakat di Indonesia: Perspektif Legalisasi”,
Jurnal Intekna, Vol. VI No. 1.
[5] Ibrahim, Yasin (2008), Kitab
Zakat: Hukum, Tata Cara dan Sejarah, Penerbit Marja, Bandung, pp. 85-91.
[6] Fakhruddin (2008), Fiqh
dan Manajemen Zakat di Indonesia, UIN Malang Press, Malang, pp. 243-251.
[7]Sularno, M. (2010), “Pengelolaan
Zakat Oleh Badan Amil Zakat Daerah Kabupaten/ Kota Se Daerah Istimewa
Yogyakarta: Studi Terhadap Implementasi Undang-Undang No. 38 Tahun 1999 Tentang
Pengelolaan Zakat”, Jurnal Ekonomi Islam La Riba, Vol. IV No. 1 pp.
34-44.
[8] Susetyo, Heru (2008), “Peran
Negara Dalam Pengelolaan Zakat: Perspektif Negara Kesejahteraan dan Praktek
Negara-Negara Tetangga”, Jurnal Pemikiran dan Gagasan, Vol. 1.
[9] Budiman, Moch. Arif (2006), “Transformasi
Bentuk Kelembagaan Pengelola Zakat di Indonesia: Perspektif Legalisasi”, Jurnal
Intekna, Vol. VI No. 1.
[10] Mahmudi (2009), “Penguatan
Tata Kelola dan Reposisi Kelembagaan Organisasi Pengelola Zakat”, Jurnal
EKBISI, Vol. 4 No. 1, pp. 69-84.
[11] Roundtable
Discussion Membaca UU Pengelolaan Zakat dalam Multi-Perspektif:
Konstitusi, Ekonomi, Sosiologis, dan Sejarah Bangsa UIN Syarif Hidayatullah, 22 November 2011, Jakarta.
[12] Fakhruddin (2008), Fiqh
dan Manajemen Zakat di Indonesia, UIN Malang Press, Malang, pp. 248-251.
[13] Wibisono, Yusuf
(2012), Masa Depan Pengelolaan Zakat Nasional Pasca UU No. 23 Tahun 2011, makalah
disampaikan pada Public Expose “ Indonesia Zakat and Development Report
2012” diselenggarakan oleh IMZ, 30
Januari 2012, Jakarta.
[14] Sudewo, Eri (2004), Manajemen
Zakat: Tinggalkan 15 Tradisi Terapkan 4 Prinsip Dasar, Institut Manajemen
Zakat, Jakarta, pp. 277-280.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar