Abstract
BMT (Baitul Maal Wat
tamwil) is oriented to increase the welfare of members and society. The
enactment of BMT in Indonesia is one of the best looking at the development of
Islamic banking which are still centered over the middle to the society. In
fact, BMT has grown into an alternative recovery condition of the economy in
Indonesia, especially small entrepreneurs as a partner in the provision of
capital. Though growing rapidly, BMT are still encounter many obstacles in its development. This study
tries to identify the dominant factors become obstacles in the
development of BMT in Indonesia using Analytic Network Process (ANP). The results show that main problem can divided
into four aspects, namely Human Resource, Technical, Legally and Structural,
and Market/Communal. The overall problem decomposition show priorities result,
they are: 1) the lack of legal support; 2) the weak of supervision and coaching; 3) the absence of LPS; 4) Lack of Human Resource
understanding; and 5) competition. The
level of agreement based on Kendall’s coefficient indicates the value of
Kendall’s (W) is between 0.592-0.742. It showed that between practitioners and
experts relatively dissents in their opinion related to problems and solutions
identifying of BMT development in Indonesia.
I. PENDAHULUAN
BMT (Baitul Maal Wa Tamwil) adalah salah satu model lembaga keuangan
syariah paling sederhana yang saat ini banyak muncul dan tenggelam di
Indonesia. Keberadaan BMT dengan jumlah yang signifikan pada beberapa daerah di
Indonesia tidak didukung oleh faktor-faktor pendukung yang memungkinkan BMT
untuk terus berkembang dan berjalan dengan baik. Fakta yang ada di lapangan
menunjukkan banyak BMT yang tenggelam dan bubar.
Dengan melihat fenomena di atas, perkembangan BMT dipandang belum
sepenuhnya mampu menjawab problem real ekonomi yang ada di kalangan masyarakat.
Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor antara lain, belum memadainya sumber
daya manusia yang terdidik dan profesional, menyangkut manajemen sumber daya
manusia dan pengembangan budaya serta jiwa wirausaha (entrepreneurship) bangsa
kita yang masih lemah, permodalan (dana) yang relatif kecil dan terbatas,
adanya ambivalensi antara konsep syariah pengelolaan BMT dengan
operasionalisasi di lapangan, tingkat kepercayaan yang masih rendah dari umat
Islam dan secara akademik belum terumuskan dengan sempurna untuk mengembangkan
lembaga keuangan syariah dengan cara sistematis dan proporsional. Kompleksitas
persoalan tersebut menimbulkan dampak terhadap kepercayaan masyarakat tentang
keberadaan BMT diantara lembaga keuangan konvensional.
Padahal bila dilihat dari latar belakang
berdirinya, BMT merupakan jawaban terhadap tuntutan dan kebutuhan kalangan umat
Muslim. Kehadiran BMT muncul di saat umat Islam mengharapkan adanya lembaga
keuangan yeng berbasis syariah dan bebas dari unsur riba yang dinyatakan haram.
Jika melihat data, pertumbuhan BMT di Indonesia terus meningkat dengan
pesat, Menurut Suharto, perkembangan BMT tahun 2010 tumbuh rata-rata dari sisi
aset dalam kisaran 35% - 40%, financing
to deposit ratio (dana yang disalurkan) juga masih sekitar 100%[3]. Hal ini
membuktikan lembaga BMT dapat diterima oleh masyarakat sebagai lembaga yang
dapat memberdayakan masyarakat kecil.
Eksistensi lembaga keuangan syariah
sejenis BMT, jelas memiliki arti penting bagi pembangunan ekonomi berwawasan
syariah terutama dalam memberikan solusi bagi pemberdayaan usaha kecil dan
menengah serta menjadi inti kekuatan ekonomi yang berbasis kerakyatan dan
sekaligus menjadi penyangga utama sistem perekonomian nasional. Hal ini
menunjukkan peranan BMT sangat berarti bagi masyarakat karena BMT merupakan
suatu lembaga mikro syariah yang mampu memecahkan permasalahan fundamental yang
dihadapi oleh pengusaha kecil dan menengah khususnya di bidang permodalan. BMT
tidak hanya befungsi dalam penyaluran modal tetapi juga berfungsi untuk
menangani kegiatan sosial.
Dilihat secara konsepsi, BMT merupakan
suatu lembaga yang eksistensinya sangat dibutuhkan masyarakat terutama kalangan
mikro. Akan tetapi di sisi lain yaitu dalam bidang operasionalya masih memiliki
banyak kelemahan. Maka problematika tersebut harus dapat diatasi dengan baik
agar mampu mewujudkan terciptanya citra positif bagi BMT sebagai lembaga
keuangan mikro syariah yang bersih serta dipercaya oleh masyarakat.
Oleh karena itu, berdasarkan latar belakang
yang telah diungkapkan di atas, maka rumusan masalah yang diangkat dalam
penelitian ini adalah: apa sajakah masalah-masalah yang dihadapi oleh institusi
BMT di Indonesia? Apa saja
solusi yang tepat? Bagaimana strategi yang harus diterapkan dalam kerangka
strategis jangka panjang? Dengan pendekatan metode Analytic Network Process
(ANP), beberapa pertanyaan tersebut akan coba dijawab dan dicarikan solusinya.
II. LANDASAN TEORI
2.1. Konsep
Lembaga Keuangan Syariah
Lembaga keuangan syariah merupakan lembaga
keuangan yang bekerja menurut konsep syariah dengan prinsip profit lost sharing
sebagai metode utama.
Struktur lembaga keuangan syariah dikelompokkan menjadi bank umum syariah, BPR syariah, asuransi syariah dan Baitul mal wa tamwil (BMT). Adapun yang disebutkan diatas mempunyai produk dan pangsa pasar yang berbeda. Namun dari segi prinsip dan instrumen yang digunakan lembaga keuangan syariah yang telah disebutkan di atas tidak mempunyai perbedaan yang cukup mendasar hanya pada sekup wilayah operasionalnya saja.
Struktur lembaga keuangan syariah dikelompokkan menjadi bank umum syariah, BPR syariah, asuransi syariah dan Baitul mal wa tamwil (BMT). Adapun yang disebutkan diatas mempunyai produk dan pangsa pasar yang berbeda. Namun dari segi prinsip dan instrumen yang digunakan lembaga keuangan syariah yang telah disebutkan di atas tidak mempunyai perbedaan yang cukup mendasar hanya pada sekup wilayah operasionalnya saja.
Prinsip keuangan syariah memiliki
aplikasi yang luas dalam suatu sitem perekonomian yang tidak hanya terfokus
dalam sistem bagi hasil (profit sharing), tetapi juga secara sempurna
menanamkan suatu kode etik (moral, sosial dan agama) dalam mempromosikan suatu
keadilan dan kesejahtern bagi masyarakat luas. Tidak ada perbedaan prinsip
diantara lembaga-lembaga keuangan syariah (Asuransi, Bank dan BMT), karena
secara umum lembaga-lembaga ini mengutamakan hubungan kemitraan (mutual
investor relationship) yang berbasis utama skim bagi hasil.
Secara sederhana prinsip-prinsip lembaga
keuangan syariah dalam menjalankan usahanya terdiri atas :
1. Pelarangan terhadap (suku bunga)
2. Karena dilarangnya sistem bunga,
maka penyedia dana menjadi investor. Sehingga terdapat faktor uncertainty dalam
bisnis maka Penyedia dana dan pengusaha harus membagi resiko bisnis dan juga
tingkat pengembalian yang disepakati.
3. Uang bukan sebagai modal tetapi akan
menjadi modal jika sudah dipindahtangankan/tukar dengan sumberdaya untuk melaksanakan
aktivitas yang produktif sehingga uang disini diartikan sebagai konsep yang
mengalir (flow concept ).
4. Pelarangan terhadap perilaku spekulasi
5. Prinsip ta’awun (tolong-menolong)
yaitu prinsip saling membantu sesama dalam meningkatkan taraf hidup melalui
mekanisme kerja sama ekonomi dan bisnis.
6. Prinsip tijaroh (bisnis) yaitu
prinsip mencari laba dengan cara yang dibenarkan oleh syariah. Lembaga keuangan
Islam harus dikelola secara profesional, sehingga dapat mencapai prinsip
efektif dan efisien[4].
7. Di samping sebagai lembaga bisnis,
lembaga keuangan syariah juga menjalankan fungsi sebagai lembaga sosial.
2.2. Konsep
Dasar Baitul Maal Wa Tamwil (BMT)
Baitul Maal Wa Tamwil (BMT) berasal dari
dua kata yaitu Baitul Maal yang artinya lembaga keuangan berorientasi sosial
keagamaan yang kegiatan utamanya menampung serta menyalurkan harta masyarakat
yang berupa zakat, infaq dan sedekah (ZIS) berdasarkan ketentuan yang
ditetapkan Al-Qur’an dan Sunnah Rosul-Nya. Sedangkan Baitul Tamwil adalah
lembaga keuangan yang kegiatan utamanya menghimpun dana masyarakat dalam bentuk
tabungan (simpanan) maupun deposito dan menyalurkannya kembali kepada
masyarakat dalam bentuk pembiayaan berdasarkan prinsip syariah melalui
mekanisme yang lazim dalam dunia perbankan[5].
Sehingga secara konsepsi BMT adalah suatu lembaga yang di dalamnya mencakup dua jenis
kegiatan sekaligus yaitu: 1) Kegiatan mengumpulkan dana dari berbagai sumber
seperti: zakat, infaq dan shodaqoh serta lainya yang dibagikan/disalurkan
kepada yang berhak dalam rangka mengatasi kemiskinan, dan 2) Kegiatan produktif
dalam rangka nilai tambah baru dan mendorong pertumbuhan ekonomi yang bersumber
daya manusia.
Sedangkan menurut Widodo dkk[6]
BMT merupakan lembaga yang terdiri atas dua kegiatan sekaligus, yaitu Baitul Maal
dan Baitul Tamwil. Kegiatan baitul Maal dalam BMT adalah lembaga keuangan yang
kegiatannya mengelolah dana yang bersifat nirlaba (sosial). Sumber dana
diperoleh dari zakat, infaq dan sedekah, atau sumber lain yang halal. Kemudian,
dana tersebut disalurkan kepada mustahik, yang berhak, atau untuk kebaikan.
Sedangkan kegiatan Baitul Tamwil adalah lembaga keuangan yang kegiatannya
adalah menghimpun dan menyalurkan dana masyarakat dan bersifat profit motive.
Penghimpunan dana diperoleh melalui simpanan pihak ketiga dan penyalurannya
dilakukan dalam bentuk pembiayaan atau investasi, yang dijalankan berdasarkan
prinsip syari’at.
Baitul Maal wa Tamwil (BMT) merupakan
kelompok swadaya masyarakat sebagai lembaga ekonomi rakyat yang berupaya
mengembangkan usaha-usaha produktif dan investasi dengan berdasar prinsip
syariah untuk meningkatkan kualitas ekonomi pengusaha kecil dalam upaya
pengentasan kemiskinan.
Berdasarkan definisi di atas dapat ditarik kesimpulan
Baitul Maal wa Tamwil (BMT) adalah Suatu lembaga keuangan mikro syariah yang
menggabungkan unsur profit motive dan unsur nirlaba (sosial) dalam kegiatan
usahanya yang dijalankan sesuai dengan ketentuan syariah.
BMT bersifat usaha bisnis, mandiri
ditumbuhkembangkan secara swadaya dan dikelola secara profesional. Aspek Baitul
Maal, dikembangkan untuk kesejahteraan anggota terutama dengan penggalangan
dana ZISWA (zakat, infaq, sedekah, waqaf dll) seiring dengan penguatan
kelembagaan BMT.
Sifat usaha BMT yang berorientasi pada
bisnis dimaksudkan supaya pengelolaan BMT dapat dijalankan secara profesional,
sehingga mencapai tingkat efisiensi tertinggi. Aspek bisnis BMT menjadi kunci
sukses mengembangkan BMT. Dari sinilah BMT akan mampu memberikan bagi hasil
yang kompetitif kepada deposannya serta mampu meningkatkan kesejahteraan para
pengelolahnya sejajar dengan lembaga lainnya. Sedangkan aspek sosial BMT
berorientasi pada peningkatan kehidupan anggota dan masyarakat sekitar yang membutuhkan[7].
2.3. Prinsip
Utama Baitul Maal Wa Tamwil
Teori pelaksanaan usaha BMT berpegang
teguh pada prinsip utama sebagai berikut :
1. Keimanan dan ketaqwaan kepada Allah
SWT dengan mengimplementasikan pada prinsip-prinsip syari’ah dan muamalah islam
ke dalam kehidupan nyata.
2. Keterpaduan, yakni nilai-nilai
spritual dan moral menggerakkan etika bisnis yang dinamis, proaktif, progresif,
adil dan berakhlaq mulia.
3. Kekeluargaan, yakni mengutamakan
kepentingan bersama di atas kepentingan pribadi. Semua pengelolah pada setiap
tingkatan, pengurus dengan semua lininya serta anggota, dibangun rasa kekeluargaan,
sehingga akan tumbuh rasa saling melindungi dan menanggung.
4. Kebersamaan, yakni kesatuan pola
pikir, sikap dan cita-cita antar semua elemen BMT. Antara pengelolah dan
pengurus harus memiliki satu visi dan bersama-sama anggota untuk memperbaiki
kondisi ekonomi dan sosial.
5. Kemandirian, yakni mandiri di atas
semua golongan politik. Mandiri juga berarti tidak tergantung dengan dana-dana
pinjaman dan ”bantuan” tetapi senantiasa proaktif menggalang dana masyarakat
sebanyak-banyaknya.
6. Profesionalisme, yakni semangat
kerja yang tinggi, yakni dilandasi dengan dasar keimanan. Kerja yang tidak
hanya berorientasi pada kehidupan dunia saja, tetapi juga kenikmatan dan
kepuasan ruhani dan akhirat. Kerja keras dan cerdas yang dilandasi dengan bekal
pengetahuan yang cukup, keterampilan yang terus ditingkatkan serta niat dan
ghirah yang kuat. Semua itu dikenal dengan kecerdasan emosional, spritual dan
intelektual. Sikap profesionalisme dibangun dengan semangat untuk terus belajar
demi mencapai tingkat standar kerja yang tertinggi.
7. Istiqomah, konsisten, konsekuen,
kontinuitas/berkelanjutan tanpa henti dan tanpa pernah putus asa. Setelah
mencapai suatu tahap, maka maju lagi ke tahap berikutnya dan hanya kepada Allah
SWT kita berharap[8].
2.4. Manajemen Baitul Maal Wat Tamwil
Sebagai lembaga keuangan
yang dikelola secara professional, maka BMT tidak bisa dikelola dengan bekal
semangat saja. Aspek ekonomi dan manajemen keuangannya harus dikuasai secara
maksimal. Manajemen BMT harus bisa mengikuti perkembangan
teknologi yang ada di lingkungannya sehingga tidak ketinggalan zaman yang
menyebabkan berkurangnya minat nasabah untuk bergabung. Inovasi produk terus
ditingkatkan dalam rangka merebut pasar.
Secara garis besar fungsi
manajemen dibedakan menjadi empat yakni : planning
(perencanaan), actuating
(pelaksanaan), organizing (
pengorganisasian) dan controlling (pengontrolan).
a.
Perencanaan (planning)
Ada beberapa hal yang harus diperhatikan dalam
perencanaan, yaitu SMART. Specific : perencanaan yang dibuat harus jelas maksud dan ruang lingkupnya.
Measurable
: program kerja atau rencana harus dapat diukur tingkat
keberhasilannya. Achievable artinya dapat dicapai. Jadi bukan anggan-angan. Realistic
: sesuai dengan kemampuan dan sumber daya yang ada, tidak terlalu mudah
dan tidak terlalu sulit tapi tetap ada tantangan. Time artinya ada batas
waktu yang jelas sehingga
mudah dinilai dan dievaluasi.
b.
Pengorganisasian (organizing)
Pengorganisasian dilakukan agar tujuan yang kita
inginkan dapat tercapai, pengorganisasian dalam perusahaan terlihat dari
struktur organisasi perusahaan, yang kemudian dipecah menjadi berbagai jabatan
yang kemudian menjalankan tugas masing-masing.
c.
Pelaksanaan (actuating)
Perencanaan dan pengorganisasian yang baik tidak
akan berarti tanpa adanya pelaksanaan kerja. Oleh karena itu perencanaan dan
pengorganisasian harus diikuti oleh pelaksanaan dengan kerja keras, kecerdasan
dan kerjasama. Pelaksanaan harus seuai dengan perencanaan yang telah disusun
kecuali jika ada hal-hal yang perlu di sesuaikan.
d.
Pengontrolan (controlling)
Agar pekerjaan dapat berjalan sesuai dengan
visi,misi dan program kerja maka harus dilakukan pengontrolan. Baik dalam
suvervisi, pengawasan, inpeksi dan audit. Sehingga penyimpangan-penyimpangan
yang terjadi dapat diawasi dengan baik, dan dapat dilakukan koreksi untuk masa
yang akan datang yang lebih baik.
Fungsi
manajemen ini bertujuan untuk mencapai tujuan organisasi, menjaga keseimbangan
antara tujuan-tujuan yang saling bertentangan, dan untuk mencapai tingkat
efektifitas dan efisiensi. Manajemen secara umum merupakan bagian dari kegiatan
ibadah jika diniatkan untuk mencapai keridhaan Allah. Islam secara rinci
mengatur kehidupan manusia termasuk
tentang aktivitas manajemen, walaupun tidak seperti ilmu manajemen
sekarang yang berkembang. Namun islam memiliki aturan dasar yang dapat
dijadikan pijakan dalam merumuskan sistem manajemen yang disebut manajemen
syariah atau islami. Beberapa prinsip atau kaidah teknik manajemen yang ada
relevansinya dengan kaidah islam adalah prinsip amar ma’ruf dan nahi munkar,
kewajiban menyampaikan amanah, kewajiban menegakan kebenaran, dan kewajiban
menegakan keadilan. Jika prinsip ini diterapkan dengan baik oleh manajemen BMT,
maka tujuan BMT akan tercapai.
2.5. Penelitian
Terdahulu
Penelitian yang dilakukan oleh Bilqis[9]
tentang alternatif penyelesaian pembiayaan bermasalah pada Lembaga Keuangan
Mikro Syariah dalam hal ini adalah Baitul Maal wa Tamwil Maslahah Mursalah lil
Ummah (BMT MMU)
cabang Warung Dinoyo Pasuruan Jawa Timur dijelaskan bahwa ditemukan beberapa akar
permasalahan mengenai pembiayaan pada BMT tersebut sehingga diperlukan tindakan
solutif yang harus diambil.
Hasil penelitian tersebut menjelaskan
bahwa pembiayaan bermasalah adalah suatu kondisi ketika nasabah yang
mendapatkan pembiayaan dari BMT tidak memenuhi kewajibannya sesuai dengan
kesepakatan yang telah ditentukan. Persoalan lain muncul terkait dengan
pembiayaan bermasalah ini adalah tidak adanya hak bagi BMT untuk melakukan
penyitaan atau perampasan terhadap barang yang dijadikan agunan pada pembiayaan
yang bermasalah, tanpa persetujuan dari pemilik sebagaimana yang bisa diakukan
oleh bank konvensional. Hal ini dikarenakan penyitaan secara paksa bertentangan
dengan tata cara muamalah berdasarkan syirkah. Lebih lanjut penelitian tersebut
menawarkan solusi yaitu tata cara muamalah syirkah yang tidak diperbolehkan
adalah perampasan agunan tetapi pengamanan dan penjualan agunan diperbolehkan
atas kesepakatan bersama, sehingga harapannya akad lebih tegas dan jelas pada
saat pertama nasabah mengajukan pembiayaan.
Penelitian yang dilakukan oleh Bank
Indonesia pada tahun 2003 dengan judul Penerimaan Masyarakat atas keberadaan
BMT MUI dilihat dari perilaku anggotanya di Sleman Yogyakarta[10],
dengan jumlah respondennya 80 orang menyebutkan bahwa masyarakat mengenal BMT
(37 orang) berasal dari BMT langsung, 2 orang dari koran atau selebaran dan
promosi, 22 orang dari teman dan 4 orang dari saudara. Lebih dari Sekitar 47%
responden menyatakan setuju dengan visi dan Misi BMT, 38% yang lain menyatakan
setuju. Terhadap prinsip menghindari riba, 43,75% sangat setuju dan 45% setuju;
terhadap sistem jual beli dan bagi hasil, 45% menyatakan sangat setuju, 37,5%
menyatakan setuju. Terhadap produk BMT, 27,5% menyatakan sangat setuju, 48, 75%
setuju. Artinya rata-rata responden setuju.
Siswanto
dalam penelitiannya yang
berjudul “Strategi Pengembangan Baitul Maal Wattamwil (BMT) Dalam Memberdayakan
Usaha Kecil dan Menengah“ dengan tujuan penelitian untuk mengidentifikasi dan
menganalisis model BMT yang dapat memberdayakan usaha kecil, serta dapat
menemukan strategi dan upaya agar BMT mampu memberdayakan Usaha Kecil Menengah[11].
Penelitian ini dilakukan menggunakan metode Deskriptif dengan teknik analisis analisa isi tema dari data literatur dan
penelitian sebelumnya terkait penelitiannya. Penelitian ini mencoba menganalisa
kelemahan dan pengembangan kelebihan dari lembaga BMT dengan menggunakan teknik
SWOT, kemudian dilanjutkan dengan mengemukakan solusi dan strategi dalam
pengembangan BMT. Diantara kelemahan BMT adalah terdiri dari a) faktor
eksternal (tingkat kompetisi dengan pesaing, koloborasi atau kerja sama dengan
lembaga keuangan, kebijakan pemerintah serta faktor eksternal yang lain seperti
LSM). b). faktor internal (produk program pembiayaan dan tabungan, kompetensi
manajemen serta pengelolaan keuangan). Solusi yang ditawarkan terkait dengan
permasalahan tersebut, a) harus memfokuskan diri pada visi dan penciptaan image yang positif bagi masyarakat,
prospek bisnis, kapasitas manajemen, sistem teknologi, operasional dan resiko.
Berbeda
dengan di atas, Susilo dalam
penelitiannya[12] mencoba
merumuskan strategi yang dapat dilakukan oleh BPRS dalam pengembangan Usaha
Kredit bagi UMK. Penelitian bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor internal
(kekuatan dan kelemahan) dan eksternal (peluang dan ancaman), merumuskan
strategi pengembangan berdasarkan faktor eksternal dan internal, serta
menentukan prioritas strategi pengembangan bagi PT. BPRS Amanah Ummah.
Hasil
penelitian menunjukkan bahwa faktor utama yang menjadi kekuatan BPRS PT Amanah
Ummah adalah posisi dan strategi yaitu dekat dengan nasabah, sedangkan yang
menjadi kelemahannya adalah terbatasnya kualitas sumber daya insani, yang
menjadi peluang adalah potensi pangsa pasar umat islam yang terletak di
lingkungan pesantren, sedangkan yang menjadi ancaman bagi BPRS adalah banyaknya
pesaing dalam usaha kecil menengah. Dari penelitian tersebut menjelaskan bahwa
lokasi strategis, pangsa pasar, kualitas sumber daya insani dan jumlah para
pesaing menjadi faktor pengembangan BPRS. Hal ini dapat juga kita kaitkan dengan lembaga BMT yang
merupakan bagian dari lembaga keuangan mikro. Oleh karena itu, dalam
pengembangan BMT keempat hal tersebut harus diperhatikan dan ditangani dengan
baik.
Dalam
tempat lain, Muhar menganalisis peran
lembaga keuangan mikro bagi masyarakat kecil serta strategi yang dilakukan
dalam pengembangan LKM[13]. Hasil
penelitian menunjukan bahwa lembaga keuangan mikro mampu memberikan pembiayaan
kepada usaha mikro, sehingga dapat meningkatkan permodalan usaha mikro
tersebut. Namun, potensi ini belum dapat dimanfaatkan dengan optimal karena
masih terdapat kendala-kendala yang dihadapi oleh lembaga keuangan mikro antara
lain aspek kelembagaan yang tumpang tindih, kekurangan sumber daya dalam
pengelolaan LKM serta kurangnya permodalan LKM sendiri. Dalam jurnal ini
peneliti memberikan solusi dengan upaya menguatkan RUU tentang kelembagaan LKM.
serta komitmen pemerintah terhadap keterkaitan UKM dengan pengembangan lembaga
keuangan mikro.
III. METODOLOGI
PENELITIAN
3.1. Jenis dan Sumber Data
Dalam penelitian
ini, data yang digunakan merupakan data primer yang didapat dari hasil
wawancara (indepth interview) dengan dengan pakar dan praktisi, yang
memiliki pemahaman tentang permasalahan yang dibahas. Dilanjutkan dengan
pengisian kuesioner pada pertemuan kedua dengan responden.
3.2. Populasi dan Sampel
Pemilihan responden pada penelitian dilakukan
dengan mempertimbangkan pemahaman responden terhadap permasalahan dalam
pengembangan BMT di Indonesia. Jumlah responden dalam penelitian ini terdiri dari tiga orang pakar dan praktisi dengan pertimbangan
berkompeten. Syarat responden yang valid dalam ANP adalah bahwa mereka adalah
orang-orang yang menguasai atau ahli di bidangnya. Oleh karena itu, responden
yang dipilih dalam survey ini adalah para pakar/peneliti ekonomi Islam dan
praktisi yang berkecimpung dalam lembaga keuangan mikro syariah berbentuk BMT.
3.3 Metodologi
Penelitian
ini merupakan penelitian analisis kualitatif-kuantitatif dimana bertujuan untuk
menangkap suatu nilai atau pandangan yang diwakili para pakar dan praktisi
syariah tentang BMT di
Indonesia. Alat analisis yang digunakan adalah metode ANP dan diolah dengan
menggunakan software “Super Decision”.
3.3.1 Gambaran Umum Metode ANP
Analytic
Network Process (ANP) juga
merupakan teori matematis yang mampu menganalisa pengaruh dengan pendekatan
asumsi-asumsi untuk menyelasaikan bentuk permasalahan. Metode ini digunakan
dalam bentuk penyelesaian dengan pertimbangan atas penyesuaian kompleksitas
masalah secara penguraian sintesis disertai adanya skala prioritas yang
menghasilkan pengaruh prioritas terbesar.
ANP juga mampu menjelaskan model
faktor-faktor dependence serta feedback
nya secara sistematik. Pengambilan keputusan dalam aplikasi ANP yaitu
dengan melakukan pertimbangan dan validasi
atas pengalaman empirical. Struktur jaringan yang digunakan yaitu benefit, opportunities, cost and risk
(BOCR) membuat metode ini memungkinkan untuk mengidentifikasi, mengklasifikasi
dan menyusun semua faktor yang mempengaruhi output atau keputusan yang
dihasilkan[14].
3.3.2 Landasan ANP
ANP memiliki empat aksioma yang menjadi landasan
teori, antara lain[15]:
1. Resiprokal;
aksioma ini menyatakan bahwa jika PC (EA,EB) adalah nilai pembandingan pasangan
dari elemen A dan B, dilihat dari elemen induknya C, yang menunjukkan berapa
kali lebih banyak elemen A memiliki apa yang dimiliki elemen B, maka PC (EB,EA)
= 1/ Pc (EA,EB). Misalkan, jika A lima kali lebih
besar dari B, maka B besarnya 1/5 dari besar A.
2.
Homogenitas;
menyatakan bahwa elemen-elemen yang dibandingkan dalam struktur kerangka ANP
sebaiknya tidak memiliki perbedaan terlalu besar, yang dapat menyebabkan lebih
besarnya kesalahan dalam menentukan penilaian elemen pendukung yang mempengaruhi keputusan.
Tabel 3.1 Definisi Skala Penilaian dan Skala Numerik
Definition
|
Intensity of Importance
|
Equal Importance
|
1
|
Weak
|
2
|
Moderate importance
|
3
|
Moderate plus
|
4
|
Strong importance
|
5
|
Strong Plus
|
6
|
Very strong or
demonstrated importance
|
7
|
Very,very strong
|
8
|
Extreme importance
|
9
|
Sumber : Saaty, 2006
3. Prioritas;
yaitu pembobotan secara absolut dengan menggunakan skala interval [0.1] dan
sebagai ukuran dominasi relatif.
4. Dependence condition; diasumsikan bahwa
susunan dapat dikomposisikan ke dalam komponen-komponen yang membentuk bagian
berupa cluster.
3.3.3
Tahapan Penelitian
Tahapan pada metode ANP antara lain:
Sumber: (Ascarya, 2010)
Gambar 3.1 Tahapan Penelitian
1. Konstruksi Model
Konstruksi model ANP
disusun berdasarkan literature review
secara teori maupun empiris dan memberikan pertanyaan pada pakar dan praktisi BMT serta melalui indepth interview
untuk mengkaji informasi secara lebih dalam untuk memperoleh permasalahan yang
sebenarnya.
2. Kuantifikasi Model
Tahap kuantifikasi model menggunakan pertanyaan dalam kuesioner ANP berupa pairwise
comparison (pembandingan pasangan) antar elemen dalam cluster untuk
mengetahui mana diantara keduanya yang lebih besar pengaruhnya (lebih
dominan) dan seberapa besar perbedaannya melalui skala numerik 1-9. Data hasil penilaian
kemudian dikumpulkan dan diinput melalui software super decision untuk diproses
sehingga menghasilkan output berbentuk prioritas dan supermatriks. Hasil dari
setiap responden akan diinput pada jaringan ANP tersendiri[16].
3. Sintesis dan Analisis
a. Geometric Mean
Untuk mengetahui hasil
penilaian individu dari para responden dan menentukan hasil pendapat pada satu
kelompok dilakukan penilaian dengan menghitung geometric mean[17].
Pertanyaan berupa perbandingan (Pairwise
comparison) dari responden akan dikombinasikan sehingga membentuk suatu
konsensus. Geometric mean merupakan jenis penghitungan rata-rata yang
menunjukan tendensi atau nilai tertentu dimana memiliki formula sebagai berikut[18]:
(3.1)
b. Rater
Agreement
Rater
agreement adalah ukuran yang menunjukan tingkat
kesesuaian (persetujuan) para responden (R1-Rn) terhadap suatu masalah dalam
satu cluster. Adapun alat yang digunakan untuk mengukur rater agreement adalah Kendall’s Coefficient of Concordance
(W;0 < W≤ 1). W=1 menunjukan kesesuaian yang sempurna[19].
Untuk menghitung
Kendall’s (W), yang pertama adalah dengan memberikan ranking pada setiap
jawaban kemudian menjumlahkannya.
(3.2)
Nilai rata-rata dari total ranking
adalah:
(3.3)
Jumlah
kuadrat deviasi (S), dihitung dengan formula:
(3.4)
Sehingga
diperoleh Kendall’s W, yaitu:
(3.5)
Jika
nilai pengujian W sebesar 1 (W=1), dapat disimpulkan bahwa penilaian atau
pendapat dari para responden memiliki kesesuaian yang sempurna. Sedangkan
ketika nilai W sebesar 0 atau semakin mendekati 0, maka menunjukan adanya
ketidaksesuaian antar jawaban responden atau jawaban bervariatif[20].
IV. ANALISIS DAN PEMBAHASAN
4.1 Dekomposisi
4.1.1 Identifikasi Masalah
Permasalahan dalam hal
pengembangan Baitul Maal wat-Tamwiil di Indonesia dapat dibagi menjadi 4 aspek
yang terdiri dari aspek sumber daya manusia (SDM), Teknikal, Legal/Struktural
dan aspek Pasar/Komunal. Cluster-cluster secara keseluruhan dikelompokkan
menjadi cluster problem, solusi dan strategi.
a. Problem Sumber Daya Manusia
(SDM)
1.)
Lemahnya
pemahaman praktisi BMT, baik sisi pengembangan bisnis (ke-BMT-an) maupun sisi
syariah. Pengurus BMT masih banyak yang belum memahami tentang prinsip-prinsip syariah dan
prinsip pengelolaan usaha yang baik dan benar.
Dengan kata lain belum terpenuhinya sumber daya insani
yang mumpuni di bidang ekonomi syariah, sehingga dalam praktiknya BMT
seringkali menyimpang dari prinsip syariah, 2.) Supply
oriented. Praktisi hanya
bisa menjelaskan apa yang mereka tahu tetapi tidak bisa menjawab apa yang
ditanyakan oleh masyarakat,
3.) Belum memadainya sumber daya manusia yang terdidik
dan profesional, terutama teknis manajerial, 4.) Secara umum sumber
daya insani yang dimiliki BMT relatif belum professional layaknya lembaga
keuangan seperti bank ataupun BPRS.
b.
Problem
Technical
1.) Validitas
data ke-BMT-an tidak ada data yang update
dan terstruktur. Padahal hal tersebut sangat penting untuk membuat proposal
sponsorship potensial dari pihak- pihak terkait,
2.) Permodalan (dana) untuk
pendirian, pengelolaan dan eksistensi BMT yang relatif kecil dan terbatas, 3.) Inovasi
dibidang produk dan layanan, pemasaran dan pengembangan bisnis yang dimiliki
BMT masih sangat lemah, 4.) Kurang memadainya
fasilitas/infrastruktur Teknologi Informasi (IT), padahal hal tersebut
merupakan salah satu prasyarat penting sebuah lembaga keuangan, 5.) Lemahnya jaringan koordinasi yang dimiliki
antaraBMT, meskipun faktanya terdapat lembaga-lembaga apex ke-BMT-an seperti
PINBUK, dan lembaga lain yang sejenisnya.
c.
Problem
Legal/Struktural
1.)
Masalah
legalitas formal, BMT yang berkembang di Indonesia tidak didukung dengan
ketentuan hukum dan sistem pengawasan atau pembinaan yang memadai. Masalah
dukungan hukum ini menjadi penting mengingat bahwa BMT adalah lembaga yang
mengurus dan mengelola dana masyarakat,
2.) BMT dihadapkan dengan masalah
pengawasan dan pembinaan yang lemah, tidak seperti lembaga perbankan pada
umumnya (Bank Umum dan BPR yang disupervisi oleh Bank Indonesia),
3.) Berbeda dengan perbankan yang mempunyai lembaga penjamin simpanan ketika
terjadi likuidasi, BMT tidak mendapatkan dukungan sejenis. Tidak adanya payung
hukum yang jelas juga menjadi penyebab tidak tersedianya lembaga penjamin
simpanan. Tabungan masyarakat yang dihimpun oleh BMT tidak dilindungi
sebagaimana mestinya, 4.) Secara
akademis belum terumuskan dengan sempurna untuk mengembangkan lembaga keuangan mikro
syariah dengan cara sistematis dan proporsional, termasuk misalnya masuk dalam
kurikulum pendidikan nasional.
d. Problem Pasar/Komunal
1.)
Salah satu permasalahan
yang masuk dalam bagian ini adalah masalah persaingan, baik persaingan antarBMT
sendiri maupun dengan lembaga keuangan mikro lainnya. Akan tetapi pada
praktiknya, persaingan yang paling ketat adalah antara BMT dengan perbankan
syariah yang juga menyediakan layanan mikro, 2.) Masalah pada tingkat
kepercayaan adalah kurangnya minat masyarakat dalam menyimpan dana di BMT karena
rasa tidak percaya kepada BMT. Salah satu alasan masyarakat tidak percaya adalah
karena tidak ada jaminan simpanan bagi anggota, 3.) Lemahnya pengembangan budaya serta jiwa wirausaha
(entrepreneurship) masyarakat, dan 4.) Kurangnya
pengetahuan masyarakat terhadap keberadaan BMT, baik dari sisi pelayanan yang
diberikan, maupun keunggulan BMT dibandingkan dengan lembaga keuangan mikro
lainnya. Bahkan, kebanyakan masyarakat masih belum mengenal BMT, mereka lebih
mengenal Bank keliling, koperasi, atau lembaga keuangan lainnya.
Adapun
alternatif solusi yang dapat dilakukan dalam hal pengembangan BMT antara lain:
a.
Solusi
SDM
1.) Training intensif untuk para praktisi dan penggerak BMT; 2.) Seleksi komprehensif atas
sumber daya manusia BMT; 3.)
Mengoptimalkan pendampingan dan supervisi ; 4.) Reward and punishment;
b.
Solusi
Teknikal
1.) Melakukan pengawasan atas jalannya
operasional BMT; 2.) Menciptakan produk
dan layanan yang inovatif; 3.) Maningkatkan kerjasama di antara sesama BMT; 4.)
Pencadangan dana sisa hasil usaha.
c.
Solusi
Legal/Struktural
1.) Pembentukan
Undang-Undang khusus tentang lembaga keuangan mikro syariah BMT 2.) Revisi regulasi
pendukung/insentif terkait BMT; 3.) Pembentukan lembaga penjamin simpanan (LPS)
BMT; 4.) Bekerjasama dengan
para akademisi untuk melakukan riset tentang ke-BMT-an.
d.
Solusi
Pasar/Komunal
1) Melakukan promosi dan marketing strategy lain
yang tepat, 2) Terus-menerus melakukan
sosialisasi atas keberadaan dan kemanfaatan BMT di tengah-tengah masyarakat, 3) Pembinaan nasabah yang
terukur dan sustain, dan 4) Pemberian insentif.
4.1.2
Jaringan
ANP
Berdasarkan identifikasi masalah dan solusi di atas,
selanjutnya terbentuklah jaringan struktur ANP atas masalah pengembangan BMT di
Indonesia seperti berikut ini.
Gambar 4.1.
Jaringan ANP
4.2. Hasil Keseluruhan Geometric Mean
Hasil yang diperoleh memperlihatkan secara statistik konsensus dari para
pakar dan praktisi terkait problem dan solusi pengembangan BMT di
Indonesia. Pada gambar 4.2 di bawah
ini, untuk hasil prioritas masalah menunjukkan bahwa
masalah
legal/structural dan sumber daya manusia merupakan dua aspek yang paling penting, dengan nilai rater agreement yang cukup besar (W=0.592).
Secara keseluruhan, sebagaimana hasil dari para pakar menganggap bahwa masalah
hukum dan sruktural menjadi poin paling penting dalam pengembangan BMT di
Indonesia. Diikuti kemudian oleh masalah pada sisi SDM, lalu aspek
pasar/komunal dan terakhir aspek teknikal. Berikut ini adalah hasil
penghitungan secara lengkap terkait cluster problem berikut prioritisasinya.
Gambar 4.2.
Prioritas Masalah
Dalam prioritas aspek masalah, sebagaimana ditunjukan pada gambar 4.3 baik pakar maupun praktisi setuju bahwa memang
terdapat masalah yang krusial dalam segi kurangnya dukungan hukum
terhadap eksistensi BMT, dengan
nilai rater agreement yang tinggi sebesar
(W=0.715). Problem yang paling
krusial yang menjadi perhatian bagi para pakar dan praktisi selanjutnya adalah lemahnya
pengawasan dan pembinaan kepada BMT, tidak adanya lembaga penjamin simpanan
(LPS), lemahnya pemahaman sumber daya insani BMT dan aspek persaingan yang
terjadi.
Rater agreement yang relatif tinggi yakni
sebesar 0.715 menunjukkan bahwa baik pakar/akademisi maupun praktisi relatif
sepaham dalam menentukan prioritas aspek masalah dalam pengembangan BMT di
Indonesia. Terutama tiga aspek masalah pertama dari serangkaian masalah yang
ada.
Gambar 4.3
Prioritas Aspek Masalah
Terkait cluster solusi,
hasilmya tidak jauh berbeda dengan cluster masalah. Untuk prioritas solusi, sebagaimana yang ditunjukkan pada gambar 4.4 yang terdiri dari hasil geometric
mean secara keseluruhan memperlihatkan bahwa, solusi legal/struktural merupakan solusi yang paling utama, diikuti oleh solusi pada aspek SDM. Setelah itu, prioritas solusi adalah pada aspek
pasar/komunal baru kemudian aspek teknikal.
Dalam hal ini, para pakar memiliki tingkat rater agreement sebesar (W=0.592). Meski cukup besar, namun dibanding dengan
tingkat rater agreement prioritas aspek masalah,
masih lebih rendah. Artinya bahwa
pendapat para responden atas prioritisasi solusi lebih bervariatif.
Gambar 4.4.
Prioritas Solusi
Dalam prioritas aspek solusi, sebagaimana ditunjukkan pada gambar 4.5, baik pakar maupun praktisi setuju bahwa solusi yang paling
prioritas adalah pembentukan UU terkait BMT, dengan nilai rater agreement
yang tinggi sebesar (W=0.744). Solusi yang paling krusial yang
menjadi perhatian bagi para pakar dan praktisi selanjutnya adalah revisi regulasi,
pembentukan LPS untuk BMT dan aspek pendampingan. Rater agreement yang tinggi yakni sebesar 0.744 menunjukkan bahwa
baik pakar/akademisi maupun praktisi relatif sepaham dalam menentukan prioritas
aspek solusi dalam pengembangan BMT di Indonesia.
Gambar 4.5.
Prioritas Aspek Solusi
Untuk aspek strategi, sebagaimana yang ditunjukan pada gambar 4.6 yang terdiri atas hasil geometric
mean secara keseluruhan memperlihatkan bahwa bagi pakar dan praktisi, strategi yang paling prioritas adalah linkage
program antara BMT-BPRS dan Bank Umum Syariah. Strategi ini menjadi jawaban
atas beberapa masalah BMT yaitu terkait permodalan, pendampingan dan jaringan
yang luas untuk BMT.
Strategi
kedua sebagai prioritas adalah optimali>
Strategi
ketiga dan keempat selanjutnya adalah penguatan koordinasi dengan PINBUK dalam
penyelenggaraan pelatihan-pelatihan ke-BMT-an dan sosialisasi eksistensi BMT melalui
media-media massa strategis. Meski bukan prioritas utama, akan tetapi kedua
strategi ini menjadi pelengkap yang tidak kalah penting untuk dilakukan.
Hasil yang diperoleh secara keseluruhan, urutan
prioritas strategi dengan nilai
rater agreement yang rendah sebesar
(W=0.017) menunjukkan bahwa jawaban para responden terkait prioritisasi
strategi ini lebih bervariatif.
Gambar 4.6.
Prioritas Strategi
V.
PENUTUP
5.1.Kesimpulan
Hasil penelitan menunjukkan bahwa permasalahan yang muncul
dalam pengembangan BMT di Indonesia terdiri dari 4 aspek penting yaitu: SDM, teknikal, aspek legal/struktural, dan asapek pasar/komunal. Penguraian aspek masalah secara keseluruhan menghasilkan urutan prioritas: 1) Kurangnya dukungan hukum; 2) Pengawasan dan pembinaan yang lemah; 3) Tidak adanya lembaga penjamin simpanan (LPS); 4) Lemahnya pemahaman SDM dan 5) Persaingan.
Sedangkan prioritas solusi yang dianggap mampu menyelesaikan permasalahan terdiri dari: 1) Pembentukan UU tentang BMT; 2) Revisi regulasi; 3) Pembentukan LPS BMT; dan 4) Pendampingan. Sementara itu strategi linkage
program BMT-BPRS-Bank Umum Syariah serta optimalisasi peran pemerintah lebih
menjadi prioritas dibanding dengan strategi lain.
Adapun tingkat kesesuaian atau persetujuan antar responden berdasarkan Kendall’s
coefficient menunjukkan
nilai koefisien Kendall’s (W) yang relatif besar pada responden yang terdiri dari praktisi dan pakar. Hal itu menunjukkan bahwa antara praktisi dan pakar relatif sepaham dalam pendapatnya terkait mencari masalah dan solusi
pengembangan BMT di Indonesia. (W antara 0,592-0,743). Sedikit berbeda hanyalah pada hasil prioritas
strategi dimana nilai
koefisien Kendall’s hanya 0,118. Artinya jawaban para responden terkait prioritisasi
strategi ini lebih bervariatif.
5.2.
Rekomendasi
Sementara itu, beberapa saran dan rekomendasi
yang dapat diberikan penulis antara lain:
1.
Diharapkan
adanya komitmen bersama dari pembuat kebijakan dalam menunjang dan mendorong
upaya pengembangan industri keuangan syariah khususnya dalam hal ini BMT.
2.
Melalui
penelitian ini, diharapkan dapat memperluas kajian penelitian akademik terkait ke-BMT-an.
Prioritisasi masalah dan solusi dalam pengembangan BMT ini layaknya mampu
memberi masukan tepat kepada seluruh pihak terkait, masalah apa yang seharusnya
lebih dahulu diselesaikan dan solusi mana yang paling tepat.
3.
Penelitian
selanjutnya dengan pendekatan yang sama (ANP) disarankan agar dapat menambah
jumlah responden dari pihak-pihak terkait yang dipandang paham akan masalah BMT
di Indonesia.
DAFTAR
PUSTAKA
Ascarya, 2011,”The Persistence of Low Profit and Loss Sharing Financing
in Islamic Banking: The Case of Indonesia”review
of Indonesian economic and business studies vol.1 LIPI economic research
center.
Ascarya dan Yumanita, Diana, 2010,”Determinan dan Persistensi Margin
Perbankan Konvensional dan Syariah di Indonesia” working paper series No.WP/10/04. Pusat Pendidikan dan Studi
Kebanksentralan Bank Indonesia.
Ascarya, 2005, “Analytic
Network Process (ANP) Pendekatan Baru Studi Kualitatif”. Makalah
disampaikan pada Seminar Intern Program Magister Akuntansi Fakultas Ekonomi di
Universitas Trisakti, Jakarta
Bilqis, Puspitasari. 2005. Alternatif
Penyelesaian Pembiayaan Bermasalah pada Baitul Maal Wa Tamwil Maslahah Mursalah
lil Ummah (BMT MUU) Cabang Warung Dinoyo Pasuruan Jawa Timur. Universitas
Brawijaya.
Ilmi, Makhalul SM.
2002. Teori dan Praktik Lembaga Keuangan Mikro Syariah.
Yogyakarta: UII Press.
Mu’allim, Amir, 2003. “Persepsi
Masyarakat terhadap Lembaga Keuangan Syariah”. Jurnal Al-Mawarid Ed X, Tahun
2003.
Muhar, 2009. “Kebijakan dan Strategi Pengembangan Lembaga Keuangan Mikro”. Jurnal Inovasi Vol. 6 No. 4 Desember 2009.
Nursali, dkk. 2004.
Strategi Pengembangan Baitul Maal Wa Tamwil
(BMT)
dalam Memberdayakan Potensi Usaha Kecil dan Menengah sebagai Lembaga Keuangan
Mikro Syariah. Universitas Brawijaya: Unpublished.
Rahman, Abdul. 2007. “Islamic Microfinance: A Missing
Component in Islamic Banking”. Kyoto Bulletin of Islamic Area Studies, 1-2
(2007).
Ridwan, Muhammad. 2004.
Manajemen Baitul Mal Wa Tamwil (BMT). Yogyakarta:
UII Press.
Saaty, Thomas L and Vargas, Louis G. 2006, Decision
Making with the Analitic Network Process. Economic, Political, Social and Technological
Applications with Benefits, Opportunities, Costs and Risks. Springer. RWS Publication, Pittsburgh.
Siswanto. 2009, “Strategi Pengembangan Baitull Maal Wattamwil (BMT)
Dalam Memberdayakan Usaha Kecil dan Menengah”. Tesis pada Program
Pascasarjana Universitas Diponegoro.
Smolo, Edib. 2007,
“Microcrediting in Islam: Islamic Micro-financial Institutions”. Paper dipresentasikan pada International Conference on
Islamic Banking and Finance, IIUM Malaysia, April 2007.
Suharto, Saat. 2010, Outlook BMT 2011.
Permodalan BMT Center:
Jogjakarta.
Susilo, Joko. 2008. “Rumusan Strategi
Pengembangan PT. BPRS Amanah Ummah Dengan Pendekatan Analytic Network Process”. Tesis pada Program
Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.
Wibowo, Hendro. 2006, “Peranan Perbankan Syariah dalam
Menggerakkan Sektor Riil.” Paper,
presented
at National Seminar and Colloquium; “Perkembangan Sistem Keuangan Syariah di Indonesia Kini dan
Tantangan Hari Esok”, Bandung Institute of
Technology,
September 30 (2006).
Widiyanto. 2008.
“Strengthening Islamic Micro-financing and Micro-enterprises Development Program”. Paper dipresentasikan pada 1st
International Workshop on Islamic Economic, Jogjakarta Agustus 2008.
Wijono, Wiloejo W. 2005, “Pemberdayaan Lembaga Keuangan
Mikro Sebagai Salah Satu Pilar Sistem
Keuangan Nasional: Upaya Konkrit Memutus Mata Rantai Kemiskinan.” Kajian Ekonomi dan Keuangan,
Edisi Khusus, November (2005).
[1]
Staf pengajar dan peneliti pada Sekolah Tinggi Ekonomi Islam (STEI) Tazkia.
Email: tasik_pisan@yahoo.com
[2]
Pengajar pada Universitas Ibn Khaldun (UIK) Bogor. Juga sebagai konsultan riset
pada SMART Consulting.
[3] Lihat Saat Suharto. Outlook
BMT 2011. Permodalan BMT Center. 2010
[4] Ridwan,
Muhammad. 2004. Manajemen Baitul Mal Wa
Tamwil (BMT). Yogyakarta: UII Press. Hal 115
[5] Ilmi, Makhalul SM. 2002.
Teori dan Praktik Lembaga Keuangan Mikro Syariah. Yogyakarta: UII Press. Hal 65.
[6] Lihat Ilmi (2002), hal 23.
[7] Ridwan, Muhammad. 2004. Manajemen Baitul Mal Wa Tamwil (BMT). Yogyakarta: UII Press. Hal
129
[8] Idem
[9] Bilqis, Puspitasari. 2005. Alternatif
Penyelesaian Pembiayaan Bermasalah pada Baitul Maal Wa Tamwil Maslahah Mursalah
lil Ummah (BMT MUU) Cabang Warung Dinoyo Pasuruan Jawa Timur. Thesis pada
Universitas Brawijaya.
[10] Lihat Mu’allim (2003). “Persepsi Masyarakat terhadap Lembaga
Keuangan Syariah”. Jurnal Al-Mawarid Ed X, Tahun 2003.
[11] Siswanto.
2009, Strategi Pengembangan Baitull Maal Wattamwil
(BMT) Dalam Memberdayakan Usaha Kecil dan Menengah.
Tesis pada Program Pascasarjana Universitas Diponegoro.
[12] Susilo,
Joko. 2008. “Rumusan
Strategi Pengembangan PT. BPRS Amanah Ummah Dengan Pendekatan Analytic Network
Process”. Tesis pada Program Pascasarjana Institut
Pertanian Bogor.
[13] Muhar,
2009. “Kebijakan
dan Strategi Pengembangan Lembaga Keuangan Mikro”.
Jurnal
Inovasi Vol. 6 No. 4 Desember 2009.
[14] Saaty, Thomas L and Vargas, Louis G. 2006, Decision Making with the
Analitic Network Process. Economic,
Political, Social and Technological Applications with Benefits, Opportunities,
Costs and Risks. Springer. RWS Publication, Pittsburgh.
[15] Idem
[16] Ascarya, 2011,”The
Persistence of Low Profit and Loss Sharing Financing in Islamic Banking: The
Case of Indonesia”review of Indonesian
economic and business studies vol.1 LIPI economic research center.
[17] Saaty, Thomas L and Vargas, Louis G. 2006, Decision Making with the
Analitic Network Process. Economic,
Political, Social and Technological Applications with Benefits, Opportunities,
Costs and Risks. Springer. RWS Publication, Pittsburgh.
[18] Ascarya, 2011, idem
[19] Idem
[20] Ascarya, 2011, Idem
(Paper ini mendapat penghargaan Best Paper Award pada ajang Islamic Economics and Finance Research Forum/IsEF-RF yang diselenggarakan oleh Bank Indonesia dan IAEI, pada 21-22 November 2012, UIN Suska Pekanbaru Riau)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar