Abstraksi
Krisis finansial berulang kali
menerpa berbagai negara di dunia secara bergiliran baik negara berkembang
maupun negara maju. Bahkan, pada periode ekonomi modern seperti sekarang,
intensitasnya menjadi lebih sering dan akut. Karena itu, sistem deteksi dini
krisis menjadi penting adanya dalam rangka menghindari dampak negatif krisis
yang lebih parah.
Penelitian ini mencoba meneliti indikator apa saja yang dapat dijadikan
acuan dalam meramalkan seberapa besar kemungkinan akan terjadinya krisis di negara
yang bersifat dual banking seperti Indonesia dengan menggunakan metode regresi
logistik biner.
Hasil penelitian menunjukkan kesimpulan penting yang
menarik. Pertama, bank
syariah cenderung bermasalah dengan likuiditas (dengan bukti FAR yang
signifikan)
sedangkan
bank konvensional cenderung
bermasalah dengan solvabilitas (CAR yang signifkan). Dari sini dapat diambil
kesimpulan bahwa bank syariah baru akan krisis jika sektor riil terganggu.
Sementara bank konvensional akan senantiasa bergejolak jika ada gangguan krisis
finansial. Kedua, terkait
variabel M2RES yang signifikan, baik pada model syariah maupun konvensional,
maka hal ini bisa saja merupakan akibat dari berlakunya fiat money dan fractional
reserve banking system (FRBS). Padahal kedua hal tersebut merupakan
penyumbang excess money supply yang
cukup besar. Sehingga menjadi hal yang wajar dipahami jika kedua model –baik
syariah maupun konvensional- memiliki kondisi serupa. Sebagai konsekuensinya,
maka entitas perbankan syariah sesungguhnya tidak benar-benar akan terbebas
dari dampak buruk krisis finansial.
Kesimpulan ketiga yang tidak kalah penting adalah berangkat dari fakta
bahwa suku bunga (INTR) ternyata bernilai signifikan pada model konvensional
namun tidak demikian jika ia ada pada model syariah, maka dapat ditarik
kesimpulan bahwa policy rate seperti
BI-rate memang sangat efektif mengontrol dan mempengaruhi instrumen moneter
lain berikut juga perilaku bank-bank konvensional. Namun di sisi lain, hal ini
juga mengindikasikan bahwa perbankan konvensional memang cukup rentan dengan
gejolak moneter maupun krisis finansial. Dengan demikian, menjadi alasan yang rasional bagi otoritas moneter dalam
hal ini Bank Indonesia untuk memberikan support
lebih terhadap keberlangsungan keuangan dan perbankan syariah di Indonesia dengan tujuan mencapai kondisi moneter yang stabil dan optimal.
Kata Kunci: Early Warning System, Krisis Perbankan,
Sistem Moneter Ganda, Regresi Logistik
JEL:
BAB
I
PENDAHULUAN
1.1
Latar
Belakang Masalah
Krisis finansial
berulang kali menerpa berbagai negara di dunia secara bergiliran baik negara
berkembang maupun negara maju. Menurut Luc Leaven dan Valencia (2008) selama
periode 1970 sampai dengan 2007 telah terjadi 429 krisis yang dibagi menjadi
124 krisis perbankan, 208 krisis nilai tukar, 63 krisis utang luar negeri, 26 twin crisis[1],
dan 8 triple crisis[2].
Sedangkan Boyd et. al (2009)
mengklasifikasikan krisis menurut masing-masing negara yang diambil berdasarkan
penelitian Kunt dan Detragiache (2005); Caprio et. al (2005); Reinhart dan Rogoff (2008); Laeven dan Valencia
(2008).
Fenomena krisis di Indonesia dan berdampak signifikan adalah yang terjadi
pada krisis moneter 1997-1998. Diantara dampak yang ditimbulkan bagi industri perbankan adalah ditutupnya 16
bank setelah terjadi rush
besar-besaran oleh nasabah bank tersebut sehingga kehilangan likuiditasnya.
Begitupun dengan inflasi yang melonjak menjadi 77,6%, pertumbuhan ekonomi yang
merosot hingga -13,2% (Hatta dalam Ascarya, 2008) dan juga depresiasi nilai tukar rupiah yang
mencapai angka Rp 10.000/dolar AS menyebabkan terjadinya krisis perbankan
karena kolapsnya beberapa bank swasta yang gagal membayar pinjamannya dalam
bentuk mata uang asing (US Dollar). Krisis keuangan 1997 melanda sebagian
negara Asia lainnya,antara lain: Thailand, Malaysia, Singapura, Philipina,
Korea Selatan. Krisis ini tidak meluas ke bagian dunia yang lain.
Sedangkan krisis yang terjadi pada tahun 2007-2008 dimulai dari Amerika.
Berbeda dari krisis keuangan 1997 yang berdampak lokal, krisis 2008 meluas ke
hampir seluruh belahan dunia. Bursa saham berjatuhan. Perusahaan-perusahaan
keuangan multinasional bangkrut. Banyak
perusahaan di AS akan melakukan pengurangan pekerja. Akibat krisis keuangan di
AS, para investor portfolio di bursa saham menarik dananya. Akibatnya, bursa
saham rontok semua dan kini nilai tukar mata uang Asia ikut rontok. Nilai tukar
rupiah terhadap dolar sempat mencapai level Rp12.650 per dolar AS pada 24
Nopember 2008.. Begitu pula dengan IHSG, pada periode yang sama
mengalami depresiasi sebesar 42%.
Gambar 1.1 Pergerakan
IHSG dan Kurs Rupiah
Sumber : Statistik Pasar Modal, 2008
dan Bank Indonesia (diolah)
Namun
demikian, merosotnya nilai tukar rupiah tersebut terkadang hanyalah dimaknai
oleh sebagian besar masyarakat di Indonesia sebatas mereka terpaksa menunda
pembelian barang-barang yang melonjak
harganya. Kenaikkan harga barang-barang ini pun memicu angka inflasi hingga
sempat menyentuh 12,56% pada tahun 2008.
Kaminsky, Lizondo, dan Reinhart (2000) menyatakan bahwa tidak ada
krisis yang terjadi secara mendadak. Ancaman akan datangnya krisis dapat
dideteksi dengan melihat pergerakan indikator-indikator perekonomian seperti
posisi neraca pembayaran, pertumbuhan ekonomi, inflasi nilai tukar, suku bunga,
dan jumlah uang beredar. Krisis di
sektor perbankan ini berkaitan secara
langsung maupun tidak langsung dengan berbagai aktivitas yang biasa dilakukan
oleh industri perbankan. Oleh karena itu, secara umum permasalahan yang timbul
pada industri perbankan dapat berasal baik dari sisi internal maupun eksternal
perbankan. Pada sisi internal perbankan, permasalahan dapat terlihat dari
perkembangan kinerja masing-masing bank secara keseluruhan. Sementara itu, kondisi
ekonomi makro dan perkembangan kinerja
industri yang dibiayai oleh kredit perbankan dapat menjadi indikator adanya
gangguan yang dapat mempengaruhi kinerja perbankan yang berasal dari faktor
eksternal.
Berdasarkan Laporan
Tahunan Bank Indonesia 2008, berbagai indikator bank umum relatif baik,
disertai ekspansi kredit yang mampu mendukung aktivitas perekonomian domestik
yang tumbuh cukup tinggi, Kecukupan modal masih terjaga meski sedikit menurun
akibat ekspansi kredit yang tinggi. Pertumbuhan kredit yang tinggi ternyata
tidak disertai dengan pertumbuhan DPK yang tinggi, sehingga menimbulkan risiko
likuiditas di beberapa bank, meskipun secara sistem likuiditas tetap mencukupi.
Kecepatan pertumbuhan kredit sebesar 29,5% tidak diimbangi dengan laju
pertumbuhan DPK yang tumbuh sebesar 16,1%. Kondisi ini menyebabkan kondisi shortage of funds[3],
sehingga membuat likuiditas perbankan berkurang.
Gambar
1.2 Pergerakan Kredit dan DPK Perbankan Konvensional (dalam Trilyun Rupiah)
Sumber: Statistik Perbankan Indonesia
(Data Diolah)
Sementara itu, kinerja
perbankan syariah relatif tidak terpengaruh imbas krisis global, sehingga
fungsi intermediasi berjalan optimal dengan tingkat pembiayaan bermasalah yang
relatif rendah dan senantiasa mendukung pembiayaan sektor riil. Pertumbuhan
aset dan pendanaan juga tercatat cukup tinggi dan mengesankan. Disamping itu,
eksposur pembiayaan perbankan syariah yang masih didominasi oleh pembiayaan
pada aktivitas perekonomian domestik turut berperan dalam memperkuat daya tahan perbankan syariah dari
imbas krisis keuangan global.
Fungsi intermediasi
perbankan syariah terus mengalami peningkatan seiring dengan financing to deposit ratio (FDR) di atas
100%. Pembiayaan yang disalurkan perbankan syariah tumbuh signifikan sebesar
36,7% seiring dengan pertumbuhan DPK sebesar 31,6%. Namun kondisi ini tidak
menyebabkan kondisi shortage of funds karena perbedaan pertumbuhannya tidak
berbeda signifikan. Kondisi ini mendorong peningkatan FDR perbankan syariah
menjadi 103,6%.
Gambar 1.3 Pergerakan Pembiayaan
dan DPK Perbankan Syariah
(dalam Milyar Rupiah)
Sumber: Statistik Perbankan Syariah
(Data Diolah)
Namun pada semester II
tahun 2008, laju pertumbuhan aset, DPK, dan pembiayaan yang disalurkan
mengalami perlambatan sebagai dampak menurunnya kondisi likuiditas bank dan
melambatnya aktivitas sektor riil yang mulai terimbas krisis keuangan global.
Meski demikian, penyaluran pembiayaan oleh perbankan syariah tetap tumbuh
tinggi, tidak terpengaruh krisis keuangan global. Hal ini dikarenakan karakter
pembiayaan yang harus dilandasi oleh transaksi riil, sehingga hal ini dapat
menegaskan semakin meningkatnya kontribusi perbankan syariah dalam pembiayaan
sektor riil.
Mengingat dampak yang
timbul akibat krisis sangat luas, yang juga disebabkan oleh ketidaksiapan suatu
negara dalam menghadapi krisis dari awal dan kemungkinan akan terjadinya krisis
serta bukti tidak adanya krisis yang terjadi mendadak maka diperlukan sistem peringatan dini (early warning system)
krisis. Sejak saat itu, banyak para ahli ekonomi yang melakukan penelitian di
berbagai belahan dunia untuk menciptakan model Early Warning System (EWS) dengan
menggunakan berbagai metode yang dianggap cocok untuk penelitiannya. Hal ini
dilakukan bertujuan untuk dapat mengantisipasi kedatangan krisis lebih awal
sehingga suatu negara tersebut dapat menyiapkan berbagai kebijakan untuk
mengurangi dampak krisis.
Namun, sayangnya hanya
sedikit yang melakukan studi untuk negara Indonesia secara khusus. Kebanyakan
penelitian tersebut menggunakan sampel regional atau beberapa negara tertentu.
Indonesia yang menerapkan sistem perbankan ganda sejak tahun 1998 menjadi motivasi
peneliti untuk membandingkan objek penelitian ini dalam dua tipe perbankan
yaitu konvensional dan syariah. Dengan demikin, penulis mencoba meneliti
indikator apa yang dapat dijadikan acuan dalam meramalkan seberapa besar
kemungkinan akan terjadinya krisis yang penulis klasifikasikan menjadi dua
yaitu Bank Konvensional dan Bank Syariah. Penelitian ini disusun dengan judul “Sistem Deteksi Dini pada Sistem Perbankan
Ganda di Indonesia.”
1.2
Rumusan
Masalah
Melihat
fenomena krisis yang berdampak sangat
luas bagi perekonomian Indonesia tersebut, maka penelitian ini merumuskan
permasalahan berkaitan dengan faktor-faktor yang menjadi indikator terjadinya
krisis perbankan baik Industri Perbankan Syariah maupun Industri Perbankan
Konvensional. Secara khusus penelitian ini mencoba menjawab:
1.
Faktor-faktor apa sajakah yang dapat
dijadikan indikator awal dari krisis finansial bagi industri perbankan
Konvensional?
2.
Faktor-faktor apa sajakah yang dapat
dijadikan indikator awal dari krisis finansial bagi industri perbankan Syariah?
3.
Industri perbankan manakah yang memiliki
ketahanan yang lebih baik dalam menghadapi krisis?
1.3
Batasan
Masalah
1.
Variabel internal yang digunakan sebagai
indikator krisis perbankan terbagi dalam dua kelompok. Untuk indikator krisis
perbankan pada industri perbankan syariah adalah Rasio Likuiditas yang diwakili
oleh Loan to Asset Ratio (LAR) dan Rasio Solvabilitas yang diwakili oleh
Capital Adequacy Ratio (CARS). Sedangkan
indikator krisis pada industri perbankan konvensional adalah Loan to Asset
Ratio (LAR) dan Capital Adequacy Ratio (CARK) (Shen dan Hsienh,2003)
2.
Variabel eksternal yang digunakan bagi
kedua indusri perbankan dalam penelitian ini Real Effective Exchange Rate (REER), Inflasi,
dan Gross Domestic Bruto (GDP) yang
diproksikan oleh Industrial Produstion
Index (IPI) (Hagen dan Ho, 2003), (Shen dan Hsienh, 2003), (Hadad et al,
2003), (Boyd et al, 2009). Pertumbuhan Ekspor. Sedangkan Suku Bunga SBI, Bagi
Hasil SBIS sebagai pembanding antara Syariah dan Konvensional
3.
Variabel independen yang digunakan dalam
penelitian ini adalah Crisis/Severe
Distress (CSD) dimana 1 menunjukkan adanya krisis dan 0 menunjukkan tidak
ada krisis.
1.4
Metodologi
Penelitian
Data yang dig unakan
dalam studi ini adalah data sekunder runtut waktu (time series) bulanan dari periode Januari 2004 sampai dengan April
2011, yang diperoleh dari Statistik Perbankan Indonesia dan Syariah BI (SPI-BI
dan SPS-BI), Statistik Ekonomi dan Keuangan Indonesia BI (SEKI-BI) dan Badan
Pusat Statistik (BPS). Sedangkan metodologi yang digunakan dalam penelitian ini
adalah Regresi Logistik Binari (Model Logit).
1.5
Tujuan
Penelitian
Secara rinci,
penelitian ini memiliki beberapa tujuan untuk menjawab pertanyaan penelitian,
antara lain:
1.
Mengetahui indikator-indikator yang
dapat dijadikan sinyal awal terjadinya krisis finansial bagi industri perbankan
syariah.
2.
Mengetahui indikator-indikator yang
dapat dijadikan sinyal awal terjadinya krisis finansial bagi industri perbankan
konvensional.
3.
Mengetahui industri perbankan mana yang
memiliki ketahanan yang lebih kuat dalam menghadapi krisis.
1.6
Manfaat
Penelitian
Penelitian ini
diharapka bisa memberikan manfaat, antara lain:
1.
Dapat menjadi bahan pertimbangangan bagi
para pelaku industri perbankan syariah dan konvensional, indikator makro yang
dapat digunakan sebagai informasi awal adanya potensi krisis perbankan sehingga
tindakan-tindakan pencegahan dapat dilakukan untuk mengurangi dampak krisis itu
sendiri.
2.
Dapat dijadikan bahan pertimbangan bagi
para praktisi yang terkait dngan perbankan syariah khususnya untuk merumuskan
strategi yang tepat yang dapat diterapkan dalam rangka meminimalisasi dampak
krisis perbankan dalam menjaga stabilitas perbankan syariah.
3.
Penelitian ini diharapkan juga dapat
dijadikan referensi bagi studi selanjutnya yang berkaitan dengan indikator awal
terjadinya krisis perbankan terutama bagi perbankan syariah.
1.7
Sistematika
Penulisan
Sistematika pembahasan ini berisi uraian tentang isi bab
demi bab yang akan ditulis dalam penelitian ini. Adapun sistematikanya adalah
sebagai berikut:
1.
BAB
I PENDAHULUAN
Bab ini
berisi latar belakang dari masalah yang akan diteliti, rumusan masalah, batasan masalah, metodologi
penelitian, tujuan dari penelitian, manfaat penelitian, dan sistematika
penulisan.
2.
BAB
II TINJAUAN PUSTAKA
Pada bab ini terdiri dari landasan teori, penelitian terdahulu dari
masalah yang akan diteliti sebagai pijakan penulis dalam menganalisa masalah yang menjadi objek
penelitian. Selain itu, terdapat posisi penelitian dan kerangka pemikiran
penelitian.
3.
BAB
III METODOLOGI
Bab ini
menjelaskan jenis dan sumber data, teknik pengumpulan data, definisi
operasional variabel yang digunakan, metodologi penelitian serta model
penelitian.
4.
BAB IV PEMBAHASAN
5.
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
6.
PENUTUP
Bab ini
merupakan bagian akhir dari proposal skripsi, di dalamnya penulis memaparkan
kesimpulan atas rumusan masalah dari penelitian yang akan dilakukan.
BAB
II
KAJIAN
PUSTAKA
2.1 Definisi
Krisis
Krisis adalah suatu kondisi di mana berbagai
langkah pengendalian sudah tidak lagi mampu menahan gejolak pada sektor
finansial, yang akan segera diikuti dengan kontraksi ekonomi secara menyeluruh
(Prasetyantoko, 2008). Kaminsky et.al (1997) mendefinisikan krisis
sebagai suatu situasi di mana serangan pada sistem nilai tukar menyebabkan
depresi tajam pada nilai tukar itu, atau
bisa juga mengakibatkan penurunan drastis dalam cadangan devisa asing atau
bahkan kombinasi antarkeduanya.
Krisis keuangan secara
umum didefinisikan sebagai jatuhnya nilai mata uang domestic terhadap mata uang
asing, biasanya dalam hal ini adalah US dolar. Namun demikian, setiap peneliti
memiliki batasan berbeda dalam menentuan
suatu Negara dikatakan mengalami krisis. Krisis keuangan umumnya ditandai dengan terjadinya depresiasi
nilai tukar yang tajam. Sejarah
menunjukkan, manakala sistem finansial semakin besar, maka risiko
terjadinya gejolak atau krisis juga semakin tinggi. Maka dari itu, dapat
dikatakan bahwa sektor finansial menjadi “transmisi” yang paling efektif untuk
memunculkan gejolak dan krisis. Jika krisis masih terisolasi pada sektor
finansial saja, maka boleh dikatakan situasi belum sampai menjalar pada krisis
ekonomi. Tetapi, manakala gejolak di sektor finansial telah mengganggu kinerja
makro ekonomi seperti inflasi yang parah, pertumbuhan yang melambat, dan lain
sebagainya, maka kondisi ini boleh dikatakan telah merembet pada situasi krisis
ekonomi (Prasetyantoko, 2008).
Kaminsky, et.al (2000) mendefinisikan krisis dengan
mengolaborasikan apresiasi mata uang (REER), naiknya tingkat
bunga (r), dan turunnya cadangan devisa (res) kedalam suatu indeks
yang disebut Exchange Market Pressure
Index (EMPI). EMPI ini dirumuskan sebagai berikut:
(2.1)
Dimana; = standar deviasi perubahan nilai tukar riil
Rp/Dolar
= standar deviasi perubahan tingkat suku bunga
= standar deviasi perubahan cadangan devisa
= perubahan nilai tukar riil Rp/Dolar
= perubahan tingkat suku bunga
= perubahan cadangan devisa
Dikatakan terjadi krisis apabila indeks melebihi
ambang batas yaitu ketika indeks melebihi dua kali standar deviasinya terhadap
rata-rata. Sedangkan Bank Dunia mendefinisikan krisis keuangan jika indeks
krisis melebihi 1,5 kali dari standar deviasi terhadap rata-rata.
Dalam perjalanannya, terdapat beberapa model teoritis mengenai krisis
keuangan yang berkembang dari waktu ke waktu. Berbagai episode krisis yang
terjadi pada umumnya diawali dengan liberalisasi capital account yang didengungkan oleh IMF paska runtuhnya sistem Bretton Woods awal 1970-an (Bank
Indonesia, 2007). Liberalisasi capital
account tersebut memicu derasnya aliran modal ke tempat yang dianggap
memberikan return yang lebih besar.
Namun, return tersebut bukannya tanpa
resiko, terutama risiko akibat terdevaluasinya nilai mata uang negara penerima
dana yang akan memperberat kewajiban negara tersebut ketika akan melakukan
pelunasan pinjaman.
Krisis keuangan yang terjadi di berbagai
Negara secara umum tentu memiliki pola tertentu yang berbeda-beda. Oleh karena
itu, berbagai penyebab krisis keuangan tersebut dapat dibagi ke dalam beberapa
tipologi berdasarkan sebabnya (Imansyah, 2009), yaitu sebagai berikut:
a.
Kebijakan Ekonomi Yang Tidak Konsisten
Krugman (1979)
merupakan pelopor yang menganalisis kisis financial dengan melihat krisis
neraca pembayaran, dimana jatuhnya nilai tukar mata uang akibat ekspansi kredit
domestic oleh bank sentral adalah tidak konsisten dengan target nilai tukar
mata uang. Teori ini menjelaskan krisis untuk Negara yang menggunakan sistem
nilai tukar tetap. Krisis terjadi jika pemerintah melakukan devaluasi akibat
menurunnya cadangan devisa sehingga mengakibatkan pertumbuhan ekspor melambat
sedangkan impor meningkat sehingga pada akhirnya akan meningkatkan deficit neraca transaksi
berjalan. Bila terdapat aliran dana masuk baik berupa FDI, pinjaman luar negeri
ataupun investasi portofolio maka keadaan akan relative aman. Namun apabila
aliran dana masuk tersebut tidak ada, maka cadangan devisa akan semakin
berkurang untuk mempertahankan nilai tukar tetap sehingga pemerintah melakukan
devaluasi untuk mempertahankan cadangan devisa supaya tidak terkuras. Hal ini
akan menyebabkan krisis bahwa akan sampai pada keadan self fullfiling crisis[4].
b.
Kepanikan Pasar Uang
Krisis juga dapat
disebabkan karena terjadinya penarikan besar-besaran atas dana kredit yang
diberikan oleh kreditor asing, terutama pinjaman jangka pendek secara mendadak
sehingga mengakibatkan kekurangan likuiditas terhadap mata uang asing. Dalam
hal ni, setiap orang akan ramai mengnversikan mata uang domestiknya ke dalam mata uang asing untuk menghindari
turunnya asset yang dimilikinya sehingga pada akhirnya menyebabkan mata uang
domestic semakin jatuh (flight to quality).
c.
Pecahnya Gelembung Finansial
Gelembung financial
(financial bubble) terjadi jika spekulan membeli asset keuangan pada harga
diatas harga fundamentalnya dengan harapan mendapatkan capital gain. Tetapi, krisis akan terjadi apabila pelaku pasar
menyadari mengenai bubble. Ini artinya krisis sebenarnya bukannya tidak
terdeteksi. Setelah pelaku pasar menyadarinya, maka para pelaku pasar segera
menjual seluruh asset yang dimilikinya dengan menukarkannya dalam mata uang
asing, sehingga mata uang domestic mengalami kejatuhan.
d.
Moral Hazard
Moral hazard terjadi karena adanya
jaminsan pemerintah dan lemahnya penegakkan
aturan. Hal ini menjadi salah satu penyebab investasi yang berlebihan
dan berisiko oleh perbanka dan lembaga keuangan yang dapat meminjam kredit
sehingga mereka berhutang lebih besar dari modal mereka sendiri. Kreditor asing
dan domestic melakukan pemberian kredit yang berisiko tinggi karena mereka tahu
bahwa pemerintah dan lembaga keuangan internasional akan memberikan talangan
bila mereka menghadapi masalah.
e.
Ketiadaan Aturan Baku
Tidak adanya sistem
kebangkrutan atau kepailitan dalam kasus di mana korporasi menghadapi masalah
likuiditas merupakan salah satu penyebab krisis karena berkaitan erat dengan
pemegangan asset-aset yang harus dilikuidasi. Tidak adanya cara dalam menata
ulang tagihan untuk kasus masalah likuiditas internasional maka akan
mengakibatkan timbulnya kredit macet.
Berbeda dengan Berg, et al (1999) membedakan penyebab krisis
dalam dua bagian utama yaitu adanya gangguan terhadap fundamental ekonomi
(inflasi, pertumbuhan ekonomi, dan neraca pembayaran) dan adanya serangan
spekulasi yang mempercepat terjadinya krisis (self fullfiling crisis). Selain itu dapat pula disebabkan oleh efek penularan (contagion effect) dimana krisis suatu
negara akan menyebabkan krisis juga di negara lain sebagaimana halnya krisis
yang terjadi pada tahun 1997/1998 yang ditengarai diawali dari krisis mata uang
Baht di Thailand.
2.2 Teori
Krisis Finansial
Secara umum, krisis ekonomi dapat disebabkan
oleh salah satu atau kombinasi dari beberapa tipe krisis seperti krisis
perbankan, krisis nilai tukar, krisis utang luar negeri, krisis neraca
pembayaran, krisis finansial, krisis moneter, stock market crash, bubble
economy, dan hyperinflation. Krisis ekonomi dapat memicu atau dipicu oleh
krisis politik dan krisis sosial. Krisis ekonomi dapat menyebabkan reaksi
ekonomi yang yang pada akhirnya akan menyebabkan stagnasi, resesi, depresi,
pengangguran, kerugian, kelaparan, kematian (Ascarya, 2008).
2.2.1
Krisis Dalam Perspektif Konvensional
a.
Tipe Krisis
Krisis finansial
dalam perspektif konvensional dibagi menjadi empat tipe, yaitu krisis nilai
tukar, krisis perbankan, krisis utang luar negeri, dan stock market crash.
Namun, pada kenyataannya, krisis tersebut dapat terjadi secara bersamaan dua
atau tiga tipe sekaligus.
1.
Krisis
Nilai Tukar (Currency Crisis)
Krisis nilai tukar
atau krisis neraca pembayaran (Balance of Payment Crisis/BOP) sering
didefinisikan sebagai suatu peristiwa terjadinya depresiasi nilai tukar mata
uang suatu negara terhadap mata uang asing biasanya Dollar Amerika, menurunnya
cadangan devisa (foreign reserve),
dan meningkatnya suku bunga berjangka pendek (short-term interest rate ) yang tidak wajar (Goldstein at. al, 2000).
2.
Krisis
Perbankan (Banking Crisis)
Krisis perbankan
didefinisikan melalui dua pendekatan, yaitu indicators-based
dan events-based. Beberapa instrumen indicators-based adalah non-performing loan ratio (rasio NPL),
biaya operasi penyelamatan bank, dan kerugian modal bank. Sementara events-based melihat krisis dari
terjadinya penarikan simpanan besar-besaran oleh nasabah (rush), penutupan bank, penggabungan beberapa bank (merger), dan
pengambilalihan oleh Pemerintah atau take over bank-bank besar, dan
intervensi pemerintah terhadap sektor keuangan.
Kunt dan Detragiache (1998) mendefinisikan krisis sebagai suatu
keadaan dimana salah satu kondisi berikut terpenuhi:
a)
Asset non
performing mencapai 10% dari total asset sistem perbankan;
b)
Biaya
untuk menyelamatkan sistem perbankan mencapai 2% dari PDB;
c)
Terjadi
pengalihan kepemilikan bank-bank secara besar-besaran kepada pemerintah; dan
d) Terjadi “bank-run” yang meluas atau
terdapat tindakan darurat yang dilakukan pemerintah dalam bentuk pembekuan
simpanan masyarakat, penutupan kantor-kantor bank dalam jangka waktu yang cukup
panjang, atau pemberlakuan penjaminan simpanan yang menyeluruh.
Krisis perbankan
juga cenderung timbul pada saat kondisi makroekonomi yang memburuk. Dalam hal ini, pertumbuhan PDB
yang rendah sangat berkaitan dengan peningkatan
risiko pada industri perbankan. Selain itu, peningkatan risiko pada
industri perbankan juga dapat berasal dari laju inflasi yang tinggi dan upaya
stabilisasi laju inflasi akan mengakibatkan peningkatan tajam pada suku bunga riil yang pada gilirannya
meningkatkan kemungkinan terjadinya krisis perbankan (Hadad, et al, 2008)
3.
Krisis
Utang Luar Negeri (Sovereign Debt Default)
Krisis utang luar
negeri biasanya terjadi karena negara tersebut gagal untuk membayar utangnya
kepada negara lain (utang bilateral) atau institusi internasional (utang
multilateral). Krisis utang luar negeri ini biasanya diikuti dengan penjadwalan
ulang pembayaran utang. Sebagai contoh krisis ini adalah krisis utang di
Polandia tahun 1980 dan di Meksiko pada tahun 1982 (Ascarya, 2009). Baru-baru
ini, krisis utang luar negeri tengah melanda negara Amerika dan Eropa.
4.
Stock/Asset Market Crash
Stock/Asset Market Crash terjadi ketika harga saham atau aset finansial lainnya melambung
(overvalued) secara drastis dalam waktu yang singkat (Ascarya, 2009)
Leaven dan Valencia (2008) menyebutkan bahwa
krisis-krisis tersebut diatas dapat juga terjadi secara bersamaan. Ketika
krisis perbankan dan krisis nilai tukar terjadi secara bersamaan atau saling
picu-memicu maka disebut sebagai twin crisis. Sedangkan jika krisis perbankan,
krisis nilai tukar, dan krisis utang luar negeri terjadi secara bersamaan dan
saling picu-memicu maka disebut sebagai triple crisis. Krisis finansial di
Indonesia yang terjadi pada tahun 1997 adalah salah satu contoh triple crisis
karena merupakan kombinasi dari krisis nilai tukar, krisis perbankan, stock
market crash, yang diikuti oleh krisis utang luar negeri pada tahun 1999
(Ascarya, 2009).
b.
Teori
Terdapat beberapa teori tentang krisis financial yang
berhasil dikembangkan oleh para ahli ekonomi. Teori tersebut mengalami berbagai
pengembangan sesuai dengan keadaan perekonomian pada masa itu. Secara
fundamental terdapat tiga teori tentang krisis yang telah berhasil dikembangkan
dan dijadikan acuan dalam memahami krisis, yaitu:
1.
Model Krisis Generasi Pertama
Krisis generasi pertama (The First Generation of Crisis)
adalah krisis nilai tukar atau krisis neraca pembayaran yang dialami oleh satu
negara dengan perekonomian terbuka, berukuran kecil, dan menerapkan rezim nilai
tukar tetap (fixed exchange rate).
Teori tentang krisis ini diperkenalkan oleh Salant dan Henderson (1978), yang
kemudian dikembangkan oleh Krugman (1979) dan Flood & Garber (1984). Latar
belakang terjadinya krisis generasi pertama ini diawali dengan banyaknya aliran
modal asing masuk ke sebuah negara, terutama dalam bentuk utang pemerintah ke pemerintah atau
melalui lembaga-lembaga internasional seperti World Bank (WB), International
Monetary Fund (IMF) dan Organization for Economic Cooperation and Development
(OECD). Hal ini juga disebabkan oleh runtuhnya sistem Bretton Woods di tahun
1971 yang mempengaruhi konfigurasi dan dinamika pasar keuangan internasional
yang dipengaruhi pula oleh kebijakan moneter sehingga besarnya pinjaman
tersebut menimbulkan kekhawatiran default.
Serangan spekulasi
dalam model ini terjadi karena tidak konsistennya kebijakan pemerintah dalam
bidang moneter dan fiscal dalam sistem nilai tukar tetap. Dampaknya adalah
meningkatnya jumlah uang yang beredar atau pasar mengalami kelebihan likuiditas
sehingga inflasi cenderung tinggi. Kelebihan likuiditas ini akan dikonversi ke
dalam mata uang asing asing sehingga permintaan akan uang asing meningkat.
Sementara inflasi di Negara-negara mitra dagang utama relative rendah sehingga
mata uang domestic mengalami overvalued.
Jika pasar menyadari hal ini maka akan terjadi serangan spekulasi terhadap mata
uang domestic. Sementara itu, karena sistem nilai tukar adalah tetap, maka
cadangan devisa akan terkuas guna mempertahankan kurs tetap bila para spekulan
terus menukarkan mata uang domestic terhadap mata uang asing.
2.
Model Krisis Generasi Kedua
Krisis generasi kedua (The Second Generation of
Crisis) merupakan krisis neraca pembayaran yang terjadi di tengah
fundamental perekonomian yang tergolong kuat. Krisis ini juga dilatarbelakangi
oleh negara yang menganut sistem nilai tukar tetap. Model krisis generasi kedua yang dikembangkan
Obstfeld (1994, 1996).
Penyebab utama terjadinya krisis generasi
kedua ini adalah spekulasi para investor (speculative
attack) dimana fundamental ekonomi yang kuat mendorong derasnya aliran
masuk modal asing (capital inflows).
Masuknya aliran modal didorong oleh meningkatnya aggregate domestic demand, yang tercermin dari peningkatan harga
saham dan properti, peningkatan aset dan
kewajiban bank, dan defisit neraca berjalan semakin membengkak..
Seiring dengan semakin membengkaknya defisit
neraca pembayaran, semakin besar pula kekhawatiran para investor asing terhadap
sustanabilitas perekonomian suatu negara. Perekonomian negara tersebut akan
mengalami kerentanan, ditambah dengan pertumbuhan kredit perbankan kepada sektor
swasta yang terus meningkat dan disertai kondisi sosial politik yang tidak
stabil yang mendorong ketidakpastian. Hal ini menyebabkan terjadinya arus balik
secara tiba-tiba aliran modal jangka pendek sehingga menyebabkan krisis kembali
terjadi akibat aksi spekulatif para investor asing.
3.
Model Krisis Generasi Ketiga
Model generasi
pertama dan kedua memfokuskan pada kebijakan ekonomi makro dan membiarkan
sistem kurs diakibatkan tidak konsistennya kebijakan ekonomi oleh pemerintah
untuk menilai manfaat dan akibat mempertahankan kurs tetap. Namun, model krisis
generasi ketiga ini tidak hanya diakibatkan oleh ketidakkonsistenan kebijakan,
tetapi juga karena ketidaksempurnaan pasar atau distorsi dalam sistem keuangan.
Kelompok pertama
model ini adalah model yang menekankan pada masalah dalam sistem perbankan (moral hazard) dan informasi yang
asimetris dalam lingkungan adanya jaminan dari pemerintah dan lembaga keuangan
internasional serta lemahnya pengawasan perbankan. Krisis perbankan akan
menjadi pemicu krisis keuangan karena adanya jamina pemerintah menjadi
kewajiban pemerintah pada saat krisis dan menjadikan terganggunya keberlanjutan
defisit fiskal dengan peranan bank sentral sebagai lender of the last resort. Tetapi kebijakan ini tidak konsisten
dengan kebijakan untuk mempertahankan sistem kurs tetap (Imansyah, 2009).
Kelompok kedua
mempertimbangkan penyebab krisis yang utama adalah herd effect yang dapat diamati oleh para bankir dan menajer
portofolio keuangan. Gangguan tertentu akan menyebabkan kepanikan di pasar uang
dan para pelaku pasar serta investor akan melakukan tindakan menyelamatkan aset
mereka dengan menukarkan pada mata uang asing.
Sedangkan kelompok
ketiga menyatakan bahwa penyebab krisis keuangan adalah karena efek penularan (contagion effect). Krisis ini menjalar
melalui hubungan perdagangan ketika depresiasi terjadi di suatu negara
menjadikan penurunan daya saing untuk negara lain. Ketergantungan antar negara
dapat memberikan peranan terhadap krisis ketika ketidakmampuan suatu negara
untuk membayar utang luar negeri memaksa kreditor asing untuk mencabut
pinjamannya juga di negara lain.
4.
Model Di luar
Sistem Generasi Krisis Keuangan
Diantara berbagai model krisis keuangan yang
paling penting yang berada diluar sistem generasi adalah model
Kindleberger-Minsky yang menjelaskan tiga tahapan dalam krisis keuangan: mania,
panik, dan runtuh (collapse). Mania
adalah periode upswing dalam siklus
bisnis ketika pelaku pasar merestruktur aset-aset mereka yang lebih mengarah
pada aset finansial dan riil. Panik dicirikan oleh pengaruh dorongan dan
persaingan dalam transformasi aset finansial dan riil ke dalam bentuk aset yang
paling likuid. Runtuh (collapse)
adalah tahap akhir dari proses (Imansyah, 2009)
2.2.2
Krisis Dalam Perspektif Islam
Terjadinya krisis
dalam Islam tidak terlepas dari praktek-praktek atau aktivitas ekonomi yang
dilakukan bertentangan dengan nilai-nilai keislaman seperti tindakan mengonsumsi
riba, monopoli, korupsi, dan tindakan lain yang dilarang oleh Allah. Hal ini
seperti disebutkan Allah SWT dalam Surat Ar-Rum ayat 41 berikut:
ª tygsß ß$|¡xÿø9$# Îû Îhy9ø9$# Ìóst7ø9$#ur $yJÎ/ ôMt6|¡x. Ï÷r& Ĩ$¨Z9$# Nßgs)ÉãÏ9 uÙ÷èt/ Ï%©!$# (#qè=ÏHxå öNßg¯=yès9 tbqãèÅ_öt ÇÍÊÈ
“Telah
nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan Karena perbuatan tangan
manusi, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan
mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar)”.(QS. Ar-Rum: 41)
Menurut pakar
ekonomi Islam, penyebab utama krisis adalah kepincangan sektor moneter
(keuangan) dan sektor riil. Sektor keuangan berkembang pesat dan meninggalkan
jauh sektor riil. Tercerabutnya sektor moneter dari sektor riil terlihat
nyata dalam bisnis transaksi maya ( virtual
transaction ) melalui transaksi
derivatif yang penuh riba. Transaksi maya di bursa saham dan pasar modal
mencapai lebih dari 95 persen dari seluruh transaksi dunia. Sementara transaksi
di sektor riil berupa perdagangan barang dan jasa hanya berkisar sekitar lima
persen saja. Dalam ekonomi Islam jumlah uang yang beredar sama banyaknya dengan
nilai barang dan jasa. Dengan kata lain sumber malapetaka ekonomi dunia
adalah praktik Maisir, Gharar dan Riba yg diharamkan. Maysir dalam
bentuk judi dan spekulasi. Di Pasar modal dalam bentuk short selling dan
margin trading. Gharar adalah
transaksi maya, bisnis beresiko tinggi. Riba adalah pencarian keuntungan
tanpa transaksi bisnis riil. (Agustianto, 2010).
Melakukan praktek-praktek
ekonomi yang bertentangan dengan syariat Islam tersebut merupakan tindakan yang
tidak hanya merugikan diri sendiri tetapi juga merusak sendi-sendi kehidupan
ekonomi umat. Pelanggaran terhadap syariat Islam akan mengundang malapetaka
langsung atau tidak langsung dari Allah SWT. Krisis ekonomi merupakan salah
satu contoh malapetaka atau ujian Allah SWT terhadap makhlukNya yang telah
terlalu jauh melaksanakan aktivitas ekonomi melenceng dari ajaran Al-Quran dan
Sunnah seperti halnya melegalkan riba merajalela berlaku di tengah-tengah
masyarakat.
Terdapat beberapa
hal yang dapat menyebabkan krisis dalam perspektif Islam, diantaranya adalah:
1.
Riba
(Interest)
Islam telah
mengharamkan riba untuk dipraktekkan dalam kegiatan ekonomi ummatnya. Hal ini pula
yang membedakan antara sistem ekonomi Islam dan sistem ekonomi Konvensional.
Pelarangan riba bukanlah dilakukan tanpa
alasan yang tidak jelas. Adapun alasan diharamkannya riba adalah sebagai
berikut:
a.
Sistem
ekonomi ribawi telah menimbulkan ketidakadilan dalam masyarakat terutama bagi
pemberi modal (bank) yang pasti menerima keuntungan tanpa peduli apakah para
peminjam dana (nasabah) tersebut memperoleh untung atau rugi. Hal ini
bertentangan dengan prinsip ekonomi Islam yang menjunjung tinggi nilai keadilan.
Apabila nasabah tersebut mengalami keuntungan, maka ketidakadilan mungkin tidak
terjadi, namun bila usaha yang dilakukan nasabah mengalami kerugian bahkan
bangkrut, para peminjam tersebut harus membayar kembali modal yang dipinjam
ditambah bunga pinjamannya. Hal ini merupakan suatu bentuk ketidakadilan bagi
masyarakat sebagai nasabah.
b.
Sistem
ekonomi ribawi juga menyebabkan ketidakseimbangan antara pemilik modal dengan
peminjam Keuntungan besar yang diperoleh
para peminjam yang biasanya terdiri dari golongan industri raksasa (para konglomerat) hanya diharuskan
membayar pinjaman modal mereka plus bunga pinjaman dalam jumlah yang relatif
kecil dibandingkan dengan milyaran keuntungan yang mereka peroleh. Padahal para
penyimpan uang di bank-bank adalah umumnya terdiri dari rakyat menengah ke bawah. Ini berarti bahwa
keuntungan besar yang diterima para
konglomerat dari hasil uang pinjamannya tidaklah setimpal dirasakan oleh para
pemberi modal (para penyimpan uang di bank) yang umumnya terdiri dari masyarakat
menengah ke bawah.
c.
Sistem
ekonomi ribawi akan menghambat investasi karena semakin tingginya tingkat bunga dalam masyarakat,
maka semakin kecil kecenderungan
masyarakat untuk berinvestasi. Masyarakat akan lebih cenderung
untuk menyimpan uangnya di bank-bank
karena keuntungan yang lebih besar
diperolehi akibat tingginya tingkat bunga.
Semakin
tinggi tingkat bunga maka semakin besar kemungkinan aliran investasi
terbendung. Dengan pelarangan riba, dinding yang membatasi aliran investasi
tidak ada sehingga alirannya lancar tanpa halangan. Hal ini terlihat jelas pada
saat Indonesia dilanda krisis keuangan dan perbankan pada tahun 1997-1998. Pada
saat itu suku bunga perbankan melambung sangat tinggi mencapai 60%. Dengan suku
bunga setinggi itu bisa dikatakan hampir tidak ada orang yang berani meminjam
ke bank untuk investasi (Ascarya, 2007).
d.
Bunga
dianggap sebagai tambahan biaya produksi bagi para businessman yang menggunakan
modal pinjaman. Biaya produksi yang tinggi
tentu akan memaksa perusahaan untuk menjual produknya dengan harga
yang lebih tinggi pula. Melambungnya
tingkat harga, yang pada akhirnya akan
mengundang terjadinya inflasi akibat semakin lemahnya daya beli konsumen.
Riba tidak hanya dilarang dalam ajaran Islam,
tetapi juga dilarang dalam ajaran Yahudi (Eksodus 22: 25, Deuteronomy 23: 19,
Levicitus 35: 7, Lukas 6: 35), ajaran Kristen (Lukas 6: 34-35, pandangan
pendeta awal/abad I-XII, pandangan sarjana Kristen/abad XII-XV, pandangan
reformis Kristen/abad XVI-1836), maupun ajaran Yunani seperti yang disampaikan
oleh Plato (427-347 SM) dan Aristoteles (384-322 SM) (Ascarya, 2007).
Berbeda dengan
ekonomi Islam yang menawarkan konsep bagi hasil (profit loss sharing) yang merupakan nisbah (persentase bagi hasil)
yang besarnya ditetapkan di awal transaksi transaksi yang bersifat fixed tetapi
nilai nominal rupiahnya belum diketahui dengan pasti melainkan melihat laba
rugi yang akan terjadi nanti[5]. Ketika keuntungan yang didapatkan, maka
nasabah akan membayar tingkat presentase bagi hasil yang telah disepakati.
Ketika kondisinya impas maka tidak ada pembayaran dan ketika mengalami kerugian
maka kerugian tersebut akan dibagi bersama antara nasabah dan pihak bank.
Sistem syariah ini menunjukkan suatu
keadaan dimana tidak ada pihak yang diperlakukan tidak adil. Resiko yang
merupakan kondisi yang belum pasti akan datang ditanggung bersama dan apabila
mengalami keuntungan besarpun dibagi bersama sesuai kesepatan bersama di awal
(Ascarya, 2007). Bahkan, Ascarya (2010) mengilustrasikan Riba sebagai akar paling
dasar penyebab krisis keuangan global.
Gambar 2.1 Akar Krisis Keuangan Global
Sumber: Ascarya
(2010)
2.
Fractional
Reserve Banking Sistem
Fractional reserve banking sistem artinya
bahwa bank hanya diwajibkan untuk menyimpan cadangan dalam persentase tertentu
dari dana simpanan yang dihimpun. Cadangan wajib minimum perbankan bervariasi
yang umumnya berada di sekitar 5% - 20%. Dengan sistem ini perbankan memiliki
kemampuan menciptakan jenis lain dari fiat money, yaitu uang bank (demand
deposits, termasuk uang elektronik), melalui penciptaan simpanan berlipat
(multiple deposit creation). Dalam hal ini uang diciptakan ketika bank
memberikan pinjaman (Ascarya, 2007).
Cadangan wajib minimum perbankan yang bersifat fractional tersebut
akan memberikan peluang pada perbankan untuk mengeruk keuntungan besar karena
dapat menciptakan uang baru secara tidak adil. Selain itu juga merugikan bank
sentral sebagai lembaga yang diberi kuasa untuk menciptakan uang baru karena
perbankan komersial dapat memperoleh keuntungan seignorage dari fractional
reserves banking tersebut. Ascarya (2007) menyebutkan bahwa penciptaan
keuntungan tanpa adanya ‘iwad dikayegorikan sebagai riba oleh Ibnu Arabi
sehingga mengakibatkan daya beli uang secara agregat akan menurun dan terjadi
inflasi sesuai denngan persentase uang yang ditambahkan dalam perekonomian.
Dalam hal ini, masyarakat sebagai pihak yang memegang uang juga ikut dirugikan.
Berbeda dengan sistem moneter Islam yang
menerapkan konsep 100% reserves banking sistem yang tidak memberikan peluang
untuk menciptakan uang baru karena seluruh simpanan yang diterima perbankan
harus 100% disimpan/dikembalikan pada bank sentral. Dengan demikian, tidak ada
seignorage yang tercipta berarti tidak ada daya beli baru yang diciptakan
sehingga tidak mengandung unsur riba, tidak menimbulkan inflasi, dan tidak ada
pihak yang dirugikan.
2.3 Beberapa
Model Empiris Early Warning System
Krisis Keuangan
Early Warning System
(EWS) adalah sebuah model yang berguna untuk memprediksi peluang dan waktu
terjadinya krisis. Menurutn Kaminsky et all (1998) EWS adalah model yang
bertujuan untuk melihat berbagai indicator ekonomi dan dan keuangan sebagai
tanda sebuah krisis akan terjadi dalam waktu yang relative dekat yaitu 18 bulan
sampai 24 bulan.
Dalam mengukur
keberhasilan suatu model early warning system, dapat digunakan sebuah matriks
sebagai berikut:
|
Krisis (dalam 24 bulan)
|
Tidak Krisis (dalam 24 bulan)
|
Ada Peringatan
|
A
|
B
|
Tidak Ada Peringatan
|
C
|
D
|
Tabel diatas akan
dijelakan pada Bab Metodologi Penelitian secara lebih jelas. Beberapa model telah dikembangkan oleh para ahliu ekonomi untuk
mendapatkan model terbaik dalam memprediksi krisis keuangan dan krisis
perbankan secara akurat. Model yang paling awal muncul adalah model parametrik
dengan analisis probit dan logit. Kemudian Kaminsky, Lizondo, Reinhart (1997)
mengembangkan model nonparametrik berupa model signal yang secara umum mudah
untuk diaplikasikan. Sampai akhirnya berkembang berbagai model yang lebih rumit
dan kompleks seperti model jaringan saraf tiruan, model markov-switching, model
hibrida dan model-model lainnya. Terdapat pula pendekatan yang paling sederhana
yaitu pendekatan macroprudential dan microprudential. Masing-masing model
memiliki kelebihan dan kekurangannya masing-masing sehingga penggunaannya dapat
disesuaikan dengan tujuan dilakukannya penelitian. Namun pada bagian ini, yang
akan dibahas adalah model signal dan model ekonometrik.
Berikut adalah model dalam
menentukan model leading indikator
terhadap kemungkinan terjadinya krisis finansial, yaitu:
1)
Pendekatan
Sinyal
Model ini membandingkan indikator-indikator
ketika periode sebelum krisis (tranquil)
dengan periode krisis yang teridentifikasi. Indikator tersebut dipilih
berdasarkan perubahan perilaku indikator antara periode normal dengan periode
krisis yang menunjukkan “sinyal” krisis yang dapat dipercaya. Goldstein et. al (2000), melakukan pendekatan
sinyal melalui lima tahapan, yaitu; (1) menentukan episode terjadinya krisis,
(2) memilih indikator utama (leading
indicator) sebagai prediktor, (3) mengatur nilai ambang batas (treshold) untuk leading indicators yang dipilih, (4) mengonstruksi indeks komposit
(composite index), dan (5)
memprediksi krisis.
Model ini menggunakan berbagai idikator secara
bersamaan untuk memberikan sinyal pada periode terjadinya krisis. Dengan
demikian kadang-kadang data yang dibutuhkan menjadi terlalu banyak sehingga
menjadi faktor pengganggu bila indikator tersebut tidak memberikan sinyal.
Semua indikator-indikator yang baik akan dipilih untuk menentukan indeks
komposit.
Model ini pertama dikembangkan oleh Kaminsky,
Lizondo, dan Reinhart (disingkat KRL, 1997 dan 1998) yang menitikberatkan pada monitoring
sejumlah indikator (15 indikator). Selain itu juga dilakukan oleh Goldstein,
Kaminsky, dan Reinhart (GKR, 2000). Sedangkan untuk kasus di Indonesia
dilakukan oleh Imansyah dan abimanyu (2008), Florencia (2011) dan Kemu (2005).
2)
Pendekatan
Ekonometrik
Dalam pendekatan ekonometrik umumnya
menggunakan model probit atau logit. Pendekatan ini membuat estimasi tentang
peluang terjadinya krisis keuangan dengan menggunakan variabel dependen diskret
dalam model ekonometriknya. Model logit atau probit menggunakan variabel
dependen kualitatif sebagai variabel diskret yang bernilai 1 dan 0. Sedangkan
variabel independennya bersifat non diskret.
Keunggulan model logit ini dibandingkan dengan
model signal adalah hasil perhitungan dari setiap variabel langsung memberikan
kontribusi dalam perhitungan probabilitas terjadinya krisis keuangan. Sedangkan
kelemahan model logit ini adalah tidak dapat menangkap semua informasi
variabel. Artinya, kemampuan dalam memberikan signal untuk setiap variabel
tidak dapat dilihat dalam model ini.
Dari kedua pendekatan di atas, maka terdapat
beberapa faktor yang dapat dijadikan leading
indicator dalam memprediksi kemungkinan terjadinya krisis. Berikut adalah leading indicator krisis baik nilai
tukar maupun perbankan beserta alasan ekonominya.
Tabel 2.2. Leading
Indicator Krisis dan Alasan Ekonominya
Leading
Indicators
|
Alasan Ekonomi
|
NERACA PERDAGANGAN
Keseimbangan neraca perdagangan/Investasi Lokal Kotor;
v
Ekspor
v
Impor
v
Real
Effective Exchange Rate
v
Nilai tukar terhadap US Dolar
v
Keseimbangan Neraca Perdagangan/ GDP
|
Ekspor yang melemah, pertumbuhan impor yang berlebihan, nilai tukar
yang terlampau kuat dapat memperburuk neraca perdagangan dan dalam sejarah
sangat berkaitan dengan terjadinya krisis keuangan di banyak negara.
Kelemahan eksternal dan nilai tukar yang terlampau kuat juga dapat
menyebabkan terjadinya kerawanan sektor perbankan seperti kehilangan daya
kompetisis di pasar eksternal, kegagalan bisnis, dan penuruna kualita
pinjaman. Akhirnya krisis perbankan dapat menyebabkan krisis keuangan.
|
NERACA KEUANGAN
Simpanan di BIS (Bank for International Settlements)/Cadangan Devisa
v
Perbedaan tingkat suku bunga dalam negeri
dengan Amerika
v
Kewajiban Asing/Aset pihak aing di sektor
perbankan Cadangan Devisa.
v
M2 (Broad money)/Cadangan Devisa
v
Aliran modal jangka pendek/GDP
v
Hutang LN jangka pendek/Cadangan Devisa
|
Dengan terjadinya globalisasi dan integrasi sektor keuangan, masalah
neraca keuangan dapat membuat suatu negara menjadi mudah terjadi goncangan.
Perwujudan masalah neraca keuangan dapat berupa penurunan cadangan devisa,
hutang luar negeri jangka pendek yang berlebihan, jatuh tempo pinjaman dan
ketidakseimbangan nilai tukar, serta pelarian modal ke luar negeri (capital flight).
|
SEKTOR KEUANGAN
v
Deposito/M2Kredit dalam negeri/GDP
v
Perbedaan tingkat suku bunga Deposito
v
Pinjamna/Deposito
v
M1 (Narrow Money)/GDP
v
Pengganda M2
v
Deposito di Bank-bank Komersial
v
Tingkat Suku Bunga Domestik
|
Krisis keuangan dan perbankan berkaitan erat dengan terjadinya
pertumbuhan kredit yang sangat cepat terkait kebijakan moneter di banyak
negara, sementara terjadinya penyusutan deposto \
perbankan, tingginya tingkat suku bunga dalam negeri, dan besarnya
perbedaan tingkat suku bunga deposito sering merupakan suatu gambaran
terjadinya suatu kesulitan dan masalah di sektor perbankan.
|
SEKTOR RIIL
v
Indeks Harga Konsumen (IHK)
v
Indeks Produksi Industri (IPI)
v
Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG)
|
Terjadinya resesi dan kenaikan harga yang gila-gilaan sering
mendahului terjadinya krisis perbankan dan keuangan.
|
SEKTOR FISKAL
v
Kredit BI kepada sektor pemerintah
v
APBN terhadap GDP
v
Pengeluaran Pemerintah/GDP
v
Kredit bersih ke sektor publik/GDP
|
Terjadinya defisit yang besar pada APBN, dapat memicu memburuknya
posisi neraca keuangan yang akhirnya dapat menekan nilai tukar.
|
EKONOMI GLOBAL
v
Harga Minyak Dunia
v
Nilai tukar riik US $ dengan Yen Jepang
v
Tingkat Suku Bunga Federal
v
Pertumbuhan Ekonomi Amerika
|
Krisis yang terjadi di luar neheri dapat menyebar pada ekonomi dalam
negeri dan menimbullkan krisis dalam negeri. Tingginya harga minyak dunia
merupakan suatu pertanda bahaya bagi neraca keuangan dan dapat menyebabkan
terjadinya krisis dalam negeri. Tingginya tingkat suku bunga dunia sering
menjadi penyebab terjadinya pelarian modal ke luar negeri. Untuk beberapa
negara Asia Timur, terjadinya penurunan nilai tukar mata uang domestik
terhadap Solar Amerika juga tertekan.
|
Sumber:
Juzhong Zhuang (2005)
2.4 Penelitian
Terdahulu
Penelitian yang berkaitan dengan indikator terjadinya sebuah krisis
khususnya krisis perbankan telah banyak dilakukan. Beberapa studi tersebut,.
antara lain Kunt & Detragiache (1998), Shen & Hsienh (2003), Hadad et. al (2003), Ali (2007), Boyd et. al (2009), Barrel (2010), dan
Bucevka (2011).
Asli Demirguc-Kunt dan Enrica Detragiache (1998) dalam penelitiannya
yang berjudul The Determinants of Banking
Crises in Developing and Developed Countries yang meneliti tentanng
faktor-faktor yang berhubungan dengan kemunculan krisis perbankan yang
sistemik. Metodologi yang digunakan adalah model ekonometrik logit multivariat
dan data panel cross country dari 21
negara terpilih periode tahun 1980 sampai dengan 1994. Adapun hasil dari
penelitian tersebut adalah; (a) Krisis terjadi ketika kondisi makroekonomi
sedang lemah, terutama ketika pertumbuhan rendah dan inflasi tinggi, (b)
Tingkat suku bunga yang tinggi berkaitan erat dengan permasalahan sistemik
sektor perbankan yang merupakan bukti dari adanya krisis balance of payment, (c) Negara dengan skema asuransi deposito yang
jelas terutama menganai resiko sama halnya dengan negara yang penegakkan
hukumnya lemah. Dengan kata lain, apabila birokrasi dan penegakkan hukum yang
lemah akan beresiko terjadinya krisis perbankan melalui asuransi deposito.
Chung-Hua Shen dan Meng-Fen Hsienh (2003) dalam penelitiannya yang
berjudul Prediction of Bank Failures
Using Combined Micro and Macro Data dengan menggunakan metode CAMEL dan
Model Probit. Penelitian ini mengombinasikan pendekatan makro dan mikro sebagai
modifikasi dalam early warning sistem
untuk memonitor kemungkinan perbankan terkena krisis di negara yang dijadikan
sampel yaitu Indonesia, Malaysia, Thailand, Korea, dan Filipina periode tahun
1993 sampai dengan 2000. Variabel independen yang digunakan dibagi menjadi dua
bagian besar yaitu indikator mikro yaitu perbankan dan indikator makro. Model
yang dikembangkan adalah
Dimana i = 1 untuk
Indonesia, 2 untuk Korea, 3 untuk
Malaysia, 4 untuk Filipina, dan 5 untuk Thailand
t = periode
dari 1993 sampai 2000
F = Fungsi
Probit, Bank dikatakan gagal ketika = 1 dan tidak gagal ketika = 0
Adapun hasil dari penelitian
tersebut adalah; (a) Indikator mikro yang kuat adalah non-interest
expenses/total assets dan ROA, sedangkan indikator mikro yang rentan terhadap
kegagalan perbankan adalah ekuitas yang melebihi total aset, (b) Indikator NPL
yang secara khas dipercaya bermanfaat sebagai indikator kegagalan perbankan,
ternyata tidak informatif bagi pihak luar. (c) Indikator makro yang dapat
dijadikan indikator kuat adalah tingkat pertumbuhan GDP dan Exchange Rate,
sedangkan yang indikator yang lemah adalah kredit perbankan dan Utang Luar
Negeri Jangka Prndek. M2/FR ternyata tidak memberikan kontribusi apa-apa
meskipun studi lain menyatakan indikator tersebut berpengaruh.
Muliaman D. Hadad, Wimboh Santoso, dan Bambang Arianto (2003) dalam
penelitiannya yang berjudul Indikator
Awal Krisis Perbankan dengan menggunakan metodologi Model Logit dan data
tahunan dari 40 negara (31 negara yang pernah mengalami krisis dan 9 negara
lain sebagai kontrol). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui indikator awal
krisis perbankan untuk mendapatkan pemahaman mengenai faktor-faktor internal
maupun eksternal perbankan yang berpotensi memberikan indikasi adanya
permasalahan dalam industri perbankan yang apabila tidak segera ditangani akan
dapat menimbulkan permasalahan besar atau krisis pada industri perbankan..
Adapun hasil penelitiannya adalah; (a) Assessment terhadap data tahunan
40 negara (31 negara krisis/severe distress dan 9 non-krisis/severe distress)
menunjukkan bahwa faktor-faktor makroekonomi, internal perbankan, dan shocks
secara bersama-sama dapat dijadikan indikator awal terjadinya krisis/severe
distress pada industri perbankan. (b) Beberapa indikator awal yang berasal
dari faktor makroekonomi antara lain pertumbuhan ekonomi yang melambat, jumlah
investasi yang makin menurun, dan
konsumsi swasta yang makin meningkat. Sementara itu faktor-faktor internal
perbankan yang dapat dijadikan indikator awal antara lain adalah pemberian
kredit kepada sektor swasta yang terus meningkat dan penurunan jumlah dana
pihak ketiga dalam jumlah besar dan dalam waktu singkat. Selanjutnya, dari
faktor shocks beberapa indikator yang dapat digunakan adalah laju
inflasi yang makin meningkat dan nilai tukar yang terdepresiasi secara tajam
dalam waktu singkat. (c) Untuk kasus Indonesia, indikator-indikator ekonomi
yang ada saat itu cenderung mengindikasikan tidak terdapat potensi krisis
perbankan dalam waktu dekat.
Ali Arı dan Rüstem Dağtekin (2008) dengan
penelitiannya yang berjudul Early Warning
Sistem of The 2000/2001 Turkish Financial Crisis dengan metodologi Ordinary
Least Square (OLS) dan Model Logit
dalam periode 1987 sampai 2004. Krisis 2000/2001 yang dialami oleh Turki adalah
twin crisis dimana krisis perbankan
terjadi diikuti oleh krisis nilai tukar. Adapun hasil penelitian yang dilakukan di Turki ini
menunjukkan bahwa: (a) Liberasisi ekonomi Turki memegang peranan penting dalam
krisis Turki karena indikator Current
Account terhadap GDP berpengaruh sangat signifikan. Jebakan liberalisasi
ini dapat dicegah jika negara tersebut sebelumnya memiliki fundamental ekonomi
yang stabil. Selain itu dapat dilihat juga dari PORTDEF/GDP dan ISE dimana
modal asing masuk secara besar-besaran dan tiba-tiba ditarik kembali
menciptakan volatilitas yang tidak terkontrol dan menimbulkan kepanikan dan
memperlemah fundamental makroekonomi. (b) SHORTDEBT/RES, M2/RES, dan CRED/GDP
memiliki pengaruh yang signifikan terhadap krisis. Namun indikator BUDG/GDP,
OUVCOM dan TOT tidak berpengaruh signifikan terhadap indeks krisis. Ini
menunjukkan bahwa guncangan eksternal tidak berpengaruh melainkan lebih
dikarenakan ketidakstabilan politik internal dan kelemahan sistem perbankan
Turki.(c) Indikator sektor perbankan yaitu IBANK, BANKRES/BANKASSETS dan
BCCRED/BANKLIAB berpengaruh signifikan terhadap Indeks Krisis. IBANK mengalami
kenaikan tajam sampai 400% dari sebelum krisis terjadi.
John Boyd, Gianni De Nicolo, dan Elena Loukoianova (2009) dalam
penelitiannya yang berjudul Banking
Crises and Crisis Dating: Theory and Evidence dengan menggunakan metodologi
Model Logit dari data tahunan dari 91 negara periode tahun 1980 sampai dengan
tahun 2002. Penelitian ini berbeda dengan penelitian sebelumnya karena selain
mengukur indikator krisis perbankan juga mengukur sistemik tidaknya krisis
perbankan tersebut. Adapun kesimpulan dari penelitian tersebut adalah; (a)
Dengan menggunakan indikator BC sebagai variabel dependen, hanya pertumbuhan
PDB Riil dan Tingakat Suku Bunga Riil saja yang bersifat signifikan. Dari
keseluruhan variabel independen, setidaknya terdpat satu variabel yang hasilnya
berbeda dengan yang laiinya. Perbedaan ini terjadi bukan hanya karena
spesifikasi dalam sampel yang sama tapi juga perbandingan hasil dari regresi
yang sama antar sampel. (b) Hasil
penelitian ini berbeda dengan penelitian sebelumnya yang menyebutkan
bahwa pemusatan sistem perbankan tidak menyebabkan krisis. Hasil penelitian ini
menunjukkan adanya kaitan yang erat antara pemusatan sistem perbankan sengan
pengalaman sistemic banking shock (SBS). Dengan kata lain, Banking Crisis dapat
menyebabkan Sistemic Banking Shock jika penanganan krisis tidak dilakukan
secara cepat.
Ray Barrel, E Philip Davis, Dilruba Karim, dan Iana Liadze (2010)
dalam penelitiannya yang berjudul Bank
regulation, Property Prices and Early warning Sistems for Banking Crises in OECD
Countries dengan menggunakan metodologi Model Logit dari data tahunan 14
negara periode tahun 1980 sampai dengan tahun 2007. Adapun hasil dari
penelitian ini adalah; (a) CAR perbankan, Liquiditas Perbankan dan harga
Properti memiliki dampak yang signifikan dalam menentukan tingkat
kemungkinan krisis perbankan terjadi dan
variabel ini lebih tradisional dibandingkan GDP Growth, Inflasi, dan Real
Interest Rate. Oleh karena itu, model ini dapat digunakan untuk mendeteksi
kemungkinan terjadinya krisis perbankan. (b) CAR yang tinggi diiringi rasio
likuiditas mampu mengindikasiskan kemungkinan terjadinya krisis perbankan,
berimplikasi jangka panjang untuk menutup kerugian dari biaya yang ditentukan
oleh peraturan.
Vesna Bucevska (2011) dalam penelitiannya yang berjudul An Analysis of Financial Crisis by an Early
Warning Sistem Model: The Case of The EU Candidate Countries dengan
menggunakan Model Logit periode 2005Q1 sampai dengan 2009Q4 dari 3 negara yaitu
Kroasia, Macedonia, dan Turki). Adapun hasil dari penelitian ini adalah sebagai
berikut; (a) DEBT, LOANS, dan DEPOSITS adalah
tiga indikator utama Early Warning
Sistem dalam pemprediksi krisis finansial di Kroasia, Macedonia, dan Turki.
Selain itu REER, Defisit CURACC, Defisit Fiskal, dan PORTFOLICHANGE secara
statistik sangat berpengaruh signifikan dalam krisis keuangan di negara-negara
EU. (b) Negara-negara EU harus mengurangi utang luar negeri yang berkaitan
dengan GNP dan secara kontinyu menganalisis dan memonitor lebih dekat proses
finansial di negaranya untuk mengantisipasi terjadinya krisis yang sama.
Penelitian lainnya dilakukan oleh Ascarya (2009) dengan judul Lessons Learned from Repeated Financial
Crises: An Islamic Economic Perspective. Penelitian ini membandingkan
kontribusi sistem moneter konvensional (fiat money, Fractional reserves banking
sistem, dan interest) dengan sistem moneter Islam (gold money, 100% reserves
banking sistem, dan PLS). Dengan menggunakan metodologi VAR/VECM, variabel
dependen yang digunakan adalah Inflasi (INF). Hasil dari penelitian ini
menunjukkan bahwa sistem moneter konvensional berkontribusi besar terhadap
terjadinya krisis sebesar 66,6% (excess money supply 2,8%; interest rate 45,2%;
dan exchange rate 18,6%). Sedangkan sistem moneter Islam hanya berkontribusi sebesar 3,4% saja
terhadap krisis yaitu just money supply 0,7%; PLS Return 2,5%; dan single
global currency 0,2%. Hal ini menunjukkan bahwa dengan menggunakan sistem
moneter Islam, akan mampu meminimalkan probabilitas terjadinya krisis finansial
di Indonesia.
Muhammad Hanry (2009) dalam skripsinya yang berjudul Sistem Peringatan
Dini Krisis Nilai Tukar: Kasus Indonesia Tahun 1990-2008 menggunakan metodologi
Regresi Model Logit. Penelitian ini menyimpulkan bahwa Krisis di Indonedia
terjadi sejak tahun 1997 kuartal 4 sampai 1999 kuartal 1. Indikator yang
signifikan untuk dijadkan indikator dini adalah
REER dan rasio pinjaman jangka
pendek terhadap cadangan devisa. Sedangkan CAGDP dan GB berpengaruh signifikan
pada tingkat kepercayaan yang lebih rendah.
Dari uraian diatas, maka dapat disimpulkan bahwa suatu krisis dapat
diindikasikan melalui faktor mikro (perbankan) dan faktor makro (makroekonomi).
Kunt (1998), Shen (2003) Hadad at. al (2003),
Boyd et. al (2009), dan Barrel (2010)
menyebutkan bahwa faktor pertumbuhan GDP menjadi indikator makroekonomi yang
paling penting dalam mengindikasikan kemungkinan terjadi krisis. Selain itu,
inflasi, Exchange Rate, Interest Rate, dan Investasi dapat pula dijadikan
indikator kemungkinan terjadinya krisis. Sedangkan indikator mikro ditentukan
oleh kredit yang disalurkan perbankan (Hadad, 2003; Ali, 2008; dan Bucevka,
2011). Adapun Kunt (1998) menyebutkan bahwa interest rate dapat
menyebabkan krisis perbankan menjadi sistemik, sedangkan Boyd et. al (2009) selain interest rate, krisis
yang sistemik juga disebabkan oleh GDP growth.
2.5 Kerangka
Konseptual
BAB
III
METODOLOGI
PENELITIAN
Pada bab ini akan dijelaskan
mengenai Metodologi dan Data Model yang akan digunakan peneliti. Metodologi
mencakup keterangan model ekonometrik yang akan digunakan serta langkah-langkah
yang berkaitan dengan model sebelum atau sesudah model digunakan. Selanjutnya
permodelan menjelaskan mengenai sumber data, penjelasan variabel yang akan
diteliti, serta bentuk model yang telah disusun dalam sebuah persamaan model.
Pada skripsi ini metodologi yang digunakan adalah Regresi Logistik Biner
(Regresi Model Logit) dimana variabel dependennya adalah berupa nilai kategorik
(0 dan 1) yang akan dijelaskan lebih terperinci pada subbab selanjutnya.
Pada penelitian ini
dilakukan olah data dengan empat model dimana masing-masing model terdiri dari
model untuk konvensional dan model untuk syariah, sehingga secara keseluruhan
menjadi delapan model. Hal ini dilakukan dengan tujuan untuk melihat indikator
apa saja dari kedua industri perbankan ini yang bersifat selalu signifikan
memengaruhi (persisten) terhadap peluang terjadinya krisis.
3.1
Jenis
dan Sumber Data
Data yang digunakan
dalam penelitian ini secara keseluruhan merupakan data sekunder yang diambil
dari sumber resmi dalam bentuk bulanan pada periode waktu Januari 2004 sampai
dengan April 2011. Untuk data perbankan syariah diperoleh dari Statistik
Perbankan Syariah Bank Indonesia (SPS-BI) dan data perbankan konvensional
diperoleh dari Statistik Perbankan Indonesia Bank Indonesia (SPI-BI). Sedangkan
data makroekonomi diperoleh dari Statistik Ekonomi dan Moneter Indonesia Bank
Indonesia (SEKI-BI), Badan Pusat Statistik (BPS) dan International Financial
Statistics (IFS) yang dipublikasikan oleh IMF.
3.2
Persamaan
Umum, Variabel dan Definisi Operasional
Dengan
menggunakan model regresi logistik, persamaan umum yang digunakan dalam skripsi
ini dibuat dalam empat model persamaan penelitian yang merupakan persamaan
dengan satu variabel tidak bebas (dependen) dan multivariabel bebas
(independen) yang dapat ditulis sebagai berikut:
Model 1:
|
|
|
|
Model 2:
|
|
|
|
Model 3:
|
|
|
|
Model 4:
|
|
|
3.2.1
Variabel
Dependen
Variabel dependen pada
regersi logistik memiliki nilai kategorikal.
Dalam model tersebut, nilai variabel dependen akan bernilai 1 dan 0
dimana masing-masing nilai tersebut mewakilkan kategori terjadinya krisis dan tidak
terjadinya krisis.
Pada skripsi ini
sebagai variabel dependen adalah Crisis Severe Distress (CSD). Variabel CSD ini
didasarkan pada pengertian Hardy & Pazarbasioglu (1999) yang membagi
permasalahan dalam industri perbankan ke dalam dua kelompok besar yaitu severe distress dan full blow crisis sebagaimana telah dijelaskan dalam penelitian
terdahulu. Variabel CSD ini digunakan sebelumnya oleh Hadad et.al (2003).
Nilai CSD diperoleh
dari kategori krisis yang dikembangkan oleh Kaminsky, Lizondo, dan Reinhart
(KLR) yang menggunakan penghitungan EMP dengan pembobotan tingkat pertumbuhan
REER, selisih tingkat suku bunga dalam negeri pada rentang satu periode, dan
tingkat pertumbuhan cadangan devisa nasional. Bobot pada masing-masing komponen
dihasilkan dengan membandingkan komponen tersebut pada suatu waktu tertentu
terhadap jumlahkeseluruhan komponen tersebut. Secara matematis persamaan
tersebut dapat ditulis sebagai berikut:
Periode krisis
dikategorikan terjadi pada saat CSD = 1 yaitu pada saat nilai EMPI pada suatu
periode melebihi rata-rata nilai EMPI ditambah dengan dua kali standar
deviasinya. Sedangkan periode tidak krisis dikategorikan terjadi pada saat CSD
= 0 yaitu pada saat nilai EMPI pada suatu periode kurang dari rata-rata nilai
EMPI ditambah dua kali satandar deviasinya.
Untuk data REER,
diperoleh dari publikasi IMF berupa IFS sedangkan suku bunga dan cadangan
devisa nasional diperoleh dari statistik Bank Indonesia berupa Statistik
Ekonomi dan Keuangan Indonesia (SEKI). Ketiganya dalam periode Januari 2004
sampai dengan April 2011.
3.2.2
Variabel
Independen
Adapun
variabel yang digunakan dalam penelitian ini dibagi menjadi dua bagian besar
yaitu variabel mikro (perbankan) dan variabel makroekonomi. Dikarenakan
penelitian ini ditujukan untuk industri perbankan syariah dan perbankan
konvensional, maka variabel mikro terbagi menjadi variabel mikro syariah dan
variabel mikro konvensional. Sedangkan variabel makroekonomi bagi kedua
industri tidak dibedakan. Sedangkan periode penelitian yang dijadikan sampel
ini adalah sejak Januari 2004 sampai dengan April 2011.
Berikut
adalah variabel perbankan konvensional dan syariah beserta definisi
operasionalnya:
1) Rasio
Likuiditas
Ketersediaan
dana dan sumber dana bank pada saat ini dan di masa mendatang merupakan
pemahaman konsep likuiditas dalam indikator ini. Kemampuan likuiditas dapat
diproksikan dengan Loan to Asset Ratio (LAR) untuk perbankan konvensional dan Financing
to Asset Ratio (FAR) untuk perbankan syariah.
Rasio ini merupakan rasio yang digunakan untuk
mengukur kemampuan bank untuk memenuhi permintaan kredit (pembiayaan) dengan
menggunakan total aset yang dimiliki bank. Semakin tinggi rasio ini maka
tingkat likuiditasnya semakin rendah karena jumlah aset yang diperlukan untuk
membiayai kreditnya semakin besar sehingga semakin besar peluang perbankan
tersebut terkena dampak krisis. Hal ini menunjukkan adanya hubungan positif
antara variabel LAR atau FAR dengan peluang terjadinya krisis.
Data
yang digunakan diperoleh dari Statistik Perbankan Indonesia Bank Indonesia
(SPI-BI) untuk data perbankan konvensional dan Statistik Perbankan Syariah bank
Indonesia (SPS-BI) untuk data perbankan syariah.
2) Rasio
Solvabilitas (Permodalan)
Capital merupakan rasio kecukupan modal yang
menunjukkan kemampuan bank dalam mempertahankan modal yang mencukupi dan
kemampuan manajemen bank dalam mengidentifikasi, mengukur, mengawasi, dan
mengontrol risiko-risiko yang timbul yang dapat berpengaruh terhadap besarnya
modal bank. Rasio permodalan ini dihitung dengan menggunakan rasio CAR (Capital
Adequacy Ratio)—CARK
untuk Perbankan Konvensional dan CARS untuk Perbankan Syariah—yang merupakan
perbandingan antara modal sendiri dengan Aktiva Tertimbang Menurut Risiko
(ATMR). Data yang digunakan diperoleh dari SPI-BI untuk data Bank Konvensional
dan SPS-BI untuk data Bank Syariah.
Sedangkan
variabel makroekonomi yang digunakan beserta definisi operasionalnya adalah
sebagai berikut:
1)
Inflasi (INFL)
Inflasi adalah gejala
kenaikan harga barang-barang yang bersifat umum dan terus menerus. Semakin tinggi angka inflasi semakin besar
kemungkinan industri perbankan tersebut mengalami krisis. Artinya, Inflasi dan
krisis memiliki hubungan positif. Besarnya nilai inflasi yang digunakan adalah inflasi bulanan yang
dipublikasikan oleh BPS
2)
BI Rate (INTR)
Merupakan tingkat suku bunga
kebijakan Bank Indonesia (BI). Semakin tinggi tingkat suku bunga yang
diterapkan BI maka semakin menandakan akan terjadinya krisis atau gangguan.
Data BI Rate diperoleh dari SEKI-BI
3)
Indeks Produk
Industri (IPI)
Merupakan proxy dari pendapatan
nasional (PDB) yang dipilih karena memiliki satuan bulanan. Dinyatakan
dalam satuan indeks yang bersumber dari Badan Pusat Statistik (BPS). Namun, untuk menghindari adanya
outlier[6]
pada saat melakukan olah data, maka IPI ditransformasikan dalam dua bentuk,
yaitu dalam bentuk pertumbuhan (IPIG) dan dalam bentuk first different-nya
(LN_IPI) supaya nilainya tidak jauh dengan variabel lain. Semakin lambat
pertumbuhan IPI maka menandakan semakin besar peluang terjadainya krisis. Hal
ini berarti IPI memiliki hubungan positif dengan probabilitas terjadinya
krisis. Data IPI dan IPIG diperoleh dari
BPS, sedangkan LN_IPI diperoleh dengan cara mengubah data IPI dalam bentuk
natural logarima (ln) menggunakan software Microsoft Excel 2007.
4)
Pertumbuhan
Ekspor (EXPG)
Merupakan indikator data saing di
pasar internasional. Menurunnya pertumbuhan ekspor bisa jadi disebabkan oleh
kurs mata uang domestik yang overvalued. Sebaliknya, jika perlambatan
pertumbuhan ekspor bukan karena kurs, maka ini menyebabkan tekanan devaluasi
untuk kurs tetap atau kurs akan melemah dalam kurs mengambang. Oleh karena itu
perlambatan pertumbuhan ekspor dapat dijadikan sebagai indikator dini untuk
pelemahan kurs mata uang domestik. Hal ini menunjukkan bahwa EXPG mempunyai
hubungan terbalik dengan potensi terjadinya krisis. Data Ekspor diperoleh dari
BPS, sedangkan pertumbuhan Ekspor diperoleh dengan formula:
5)
Rasio
M2 terhadap Cadangan Devisa (M2RES)
Merupakan indikator yang mampu
memberikan indikasi seberapa banyak utang sistem perbankan dapat ditutupi oleh
cadangan devisa. Pada waktu krisis seseorang dapat menukarkan simpanan mata
uang domestiknya ke mata uang asing, sehingga rasio ini menggambarkan kemampuan
bank sentral memenuhi kebutuhan tersebut. Formula yang digunakan untuk
menghitung rasio ini adalah sebagai berikut:
Data M2 dan Cadangan
Devisa dapat diperoleh di SEKI yang dipublikasikan oleh BI.
6)
Nilai
Tukar Riil (Real Effective Exchange Rate/REER)
REER digunakan untuk mengukur apakah
mata uang suatu negara melemah (depresiasi) atau menguat ((apresiasi) secara
relatif terhadap mata uang negara lain. Untuk menghindari pengaruh musiman,
maka REER ini diubah dalam bentuk penyimpanan (deviasi) terhadap tren.
Sedangkan untuk mengestimasi tren dan penyimpangannya, digunakan
Hodrick-Prescott (HP) Filter dengan menggunakan software Eviews 4.1 sehingga
diperoleh data REERDEV. Karena data REERDEV ini masih dalam bentuk nominal,
untuk menghindari outlier maka diubah dalam bentuk logaritma natural sehingga
didapatkan nilai LN_REERDEV. Data yang digunakan untuk menghitung nilai REER bersumber
dari BI dan IFS yang dipublikasikan oleh IMF.
7)
Sertifikat Bank Indonesia (SBI)
Merupakan suku bunga
SBI yaitu suku bunga yang ditentukan oleh Bank Indonesia atas SBI dengan satuan
persen yang diperoleh dari SEKI-BI.
8)
Sertifikat Bank Indonesia Syariah (SBIS)
Merupakan imbal bagi
hasil SBIS (Sertifikat Bank Indonesia Syariah) yaitu tingkat bagi hasil yang
ditentukan oleh Bank Indonesia atas SBIS dengan satuan persen untuk perbankan
syariah yang didapatkan dari statistik SEKI yang dipublikasikan oleh BI.
Secara ringkas, variabel-variabel yang digunakan
dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
Nama Variabel
|
Penjelasan
|
Formula
|
Sumber
|
CSD (Indeks)
|
Penentuan
periode krisis berdasarkan EMPI sebanyak dua kali standar deviasi ditambah
rata-ratanya.
|
|
IFS, dan SEKI-BI
|
LAR (Rasio)
|
Rasio Likuiditas
|
|
SPI-BI
|
FAR (Rasio)
|
Rasio Likuiditas
|
|
SPS-BI
|
CARK (Rasio)
|
Rasio Solvabilitas
|
|
SPI-BI
|
CARS (Rasio)
|
Rasio Solvabilitas
|
|
SPS-BI
|
INFL (Persen)
|
Tingkat inflasi
|
Data tersedia
|
BPS
|
INTR (Persen)
|
Tingkat suku bunga
(BI Rate)
|
Data Tersedia
|
SEKI-BI
|
IPIG (Persen)
|
Proksi Pertumbuhan
PDB
|
|
BPS
|
EXPG (Persen)
|
Proksi nilai tukar
yang overvalued
|
|
BPS
|
M2RES (Rasio)
|
Rasio M2 terhadap
Cadangan Devisa
|
|
SEKI-BI
|
LN_IPI (Persen)
|
Proksi Pendapatan
Nasional
|
Data IPI
ditransformasikan ke dalam bentuk logaritma natural (LN) dengan bantuan
software Microsoft Excel 2007.
|
BPS
|
LN_REERDEV
(Persen)
|
Nilai Tukar Riil
|
Data REER
diestimasikan simpangan terhadp trennya dengan metode HP Filter dengan
bantuan software Eviews 4.1.
|
IFS, BI, dan BPS
|
SBI (Persen)
|
Suku Bunga SBI
|
Data tersedia
|
SEKI-BI
|
SBIS (Persen)
|
Bagi Hasil SBIS
|
Data Tersedia
|
SEKI-BI
|
3.3
Metode
Pengolahan Data
3.3.1
Definisi Regresi Logistik
Sebagaimana dalam regresi linear, model umum dari regresi
logistik ganda (Logit) adalah model regresi ganda yaitu model yang melibatkan
lebih dari satu prediktor/variabel independen. Model logit secara sederhana didefinisikan
sebagai model regresi non-linear yang menghasilkan persamaan dimana variabel
dependen bersifat kategorikal.
Kategori paling mendasar dari model tersebut menghasilkan binary values seperti angka 0 dan 1. Angka ini mewakilkan suatu
kategori tertentu yang dihasilkan dari penghitungan probabilitas terjadinya
kategori tersebut. Adapun bentuk dasar dari probabilitas dalam model logit ini
dapat dijelaskan pada tabel berikut
Tabel 3.1
Probabilitas Dalam Model Logit
Yi
|
Probabilitas
|
0
1
|
1-Pi
Pi
|
Total
|
1
|
Sumber:
Gujarati (2003)
Gujarati (2003) menyebutkan bahwa model logit seringkali digunakan dalam
data klasifikasi. Pendekatan model logit
digunakan karena dapat menjelaskan hubungan antara x dan p (x) yang bersifat tidak linear, ketidaknormalan
sebaran dari Y, dan keragaman respon tidak konstan yang tidak dapat dijelaskan
oleh model linear biasa.
Adapun persamaan regresi untuk model logit diperoleh dari penurunan
persamaan probabilitas dari kategori-kategori yang akan diestimasi. Persamaan
probabilitas tersebut adalah:
(3.1)
Persamaan tersebut dapat disederhanakan dengan
mengasumsikan adalah , sehingga menghasilkan persamaan berikut:
(3.2)
Pada persamaan (3.2) tersebut dapat terlihat bahwa berada dalam kisaran hingga + dan berada dalam kisaran 0 hingga 1
dimana memiliki hubungan nonlinear
terhadap
Nonlinearitas
dalam tidak hanya terhadap X, namun juga
terhadap β. Hal ini menimbulkan permasalahan estimasi sehingga prosedur regresi
ordinary least square (OLS)[8] tidak
dapat dilakukan. Solusi dari permasalahan tersebut adalah dengan melinearkan
persamaan (3.1) dengan menerapkan logaritma natural pada kategori 0 seperti
pada persamaan berikut:
(3.3)
Persamaan
tersebut dapat disubstitusi dengan persamaan (3.2) menjadi:
(3.4)
Persamaan disebut juga dengan rasio
kecenderungan (odds ratio) terjadinya
kategori dengan nilai 1, dalam hal ini adalah terjadinya krisis. Apabila bernilai 0,9 maka kecenderungan terjadinya krisis mata uang semakin
besar. Semakin nilainya mendekati 1 maka semakin besar pula kecenderungan akan
terjadinya krisis.
Selanjutnya dengan menerapkan logaritma natural terhadap odds ratio tersebut maka akan
menghasilkan persamaan berikut:
(3.5)
Dalam persamaan tersebut, adalah log dari odds ratio yang tidak hanya linear
terhadap X tapi juga linear terhadap parameter β. Nilai adalah sebagai intercept yang berarti bahwa
probabilitas terjadinya krisis adalah sebesar jika variabel-variabel lain
bernilai nol.
Adapun nilai dan seterusnya adalah sebagai
ukuran kontribusi masing-masing varabel yang menjadi faktor penentu (variabel
dependen). Nilai yang positif berarti peningkatan
nilai variabel tersebut sebesar satu satuan akan meningkatkan probabilitas
terjadinya krisis sebesar . Sedangkan apabila nilai bernilai negatif memiliki arti
peningkatan nilai variabel tersebut sebesar satu satuan akan mengurangi
probabilitas terjadinya krisis sebesar . Jika nilai besar, maka variabel tersebut
memiliki pengaruh yang besar (signifikan) terhadap probabilitas terjadinya
krisis, sebaliknya jika nilai kecil berarti variabel tersebut
relatif tidak signifikan terhadap probabilitas terjadinya krisis.
3.3.2 Penentuan Periode
Krisis
Dalam regresi logit tersebut, selain
variabel-variabel X, juga dibutuhkan nilai regressand atau Li.
Kaminsky, Lizondo, dan Reinhart (2000) mengembangkan metode penentuan nilai Li
yang diperoleh dari hasil pembobotan indikator-indikator internasional dalam Exchange Market Presure Index (EMPI).
Pembobotan tersebut menggunakan tiga indikator utama berupa pertumbuhan REER
(REER), selisih tingkat suku bunga antar periode (r), dan pertumbuhan cadangan
devisa (res).
Bobot pada masing-masing komponen dihasilkan dengan
membandingkan komponen tersebut pada suatu waktu tertentu terhadap jumlah
keseluruhan komponen tersebut. Secara matematis persamaan tersebut dapat
dituliskan sebagai berikut:
(3.7)
Periode krisis
dikategorikan terjadi ketika = 1 yaitu pada saat nilai EMPI
pada suatu periode melebihi rata-rata nilai EMPI ditambah dengan dua kali
standar deviasinya. Sedangkan periode tidak krisis terjadi ketika = 0 yaitu pada saat nilai EMPI
pada suatu periode kurang dari rata-rata nilai EMPI ditambah dengan dua kali
standar deviasinya.
3.4 Pengujian Statistika dan Signifikansi
Variabel
Penelitian menggunakan analisis regresi logistik karena variabel dependen
menggunakan variabel dummy yaitu 0
(tidak krisis) dan 1 (krisis). Penggunaan regresi logistik tidak memerlukan uji
asumsi klasik data seperti pada regresi linear. Uji asumsi klasik yang masih
perlu dilakukan adalah uji multikolinearitas.
3.4.1 Menilai Kelayakan Model Regresi
(Goodness of Fit)
Uji ini bertujuan untuk menilai layak tidaknya model regresi fit dengan
data. Hipotesisnya adalah sebagai
berikut:
H0
H1
|
: Model yang dihipotesakan fit
dengan data.
: Model yang dihipotesakan tidak
fit dengan data
|
Kriteria penolakan H0 dilakukan dengan melihat -2 Log
Likelihood dan derajat bebas sebesar jumlah batasan dalam pengujian dikurangi
satu (df=N-1). H0 ditolak jika nilai -2 Log Likelihood lebih besar
nilai Chi Square tabel. Pengujian lain adalah dengan melihat nilai
probabilitas, dimana penolakan H0 dilakukan ketika probabilitasnya
memiliki nilai yang lebih kecil dari α.
3.4.2 Hosmer and Lemeshow Goodness of
Fit.
Hosmer and
Lemeshow Goodness of Fit Test bertujuan untuk melihat apakah data empiris cocok
dengan model (tidak ada perbedaan antara model dengan data sehingga model dapat
dikatakan fit). Hipotesis dari Hosmer and Lemeshow Goodness of Fit Test ini adalah sebagai berikut:
H0
: Tidak ada perbedaan yang nyata antara klasifikasi yang diprediksi dengan
klasifikasi yang diamati
H1
: Ada perbedaan yang nyata antara klasifikasi yang diprediksi dengan
klasifikasi yang diamati
Jika nilai Hosmer and Lemeshow Goodness of Fit Test
Statistics sama dengan atau kurang dari taraf signifikan yang digunakan maka
hipotesis nil ditolak yang berarti ada perbedaan signifikan antara model dengan
nilai observasinya sehingga Goodness of Fit Model tidak baik karena model tidak
dapat memprediksi nilai observasinya. Jika nilai Statistics Hosmer &
Lemeshow Goodness of Fit lebih besar dari taraf kepercayaan maka hipotesis nol
tidak dapat ditolak dan berarti model mampu memprediksi nilai observasinya atau
dapat dikatakan model dapat diterima karena cocok dengan data observasinya.
3.4.3 Uji Koefisien Determinasi
Uji signifikansi parsial bertujuan
untuk melihat secara individual apakah variabel independen berpengaruh
signifikan terhadap variabel dependen. Dalam regresi biasanya dilihat dengan t-test, namun dalam regresi yang
menggunakan model logit, uji tersebut dilakukan dengan pendekatan normal
sehingga pengujiannya dengan menggunakan nilai z. Dengan z-test kita dapat
mengambil kesimpulan hipotesis apakah H0 ditolak atau diterima.
Hipotesis yang dapat dikembangkan adalah sebagai berikut:
Kriteria penolakan dapat disimpulkan
apabila z-stat lebih besar dari nilai kritis maka H0 ditolak atau
variabel independen tersebut memengaruhi variabel dependen secara signifikan.
Selain dari nilai z-test, pengambilan keputusan hipotesis juga dapat dilihat
dengan melihat probabilitanya (p-value).
Jika nilai p-value lebih kecil dari
nilai α maka H0 ditolak dengan tingkat kepercayaan (1-α).
3.4.4 Uji Koefisien Determinasi
Koefisien determinasi dalam regresi pada umumnya dapat dilihat dari nilai
R2 dan adjusted R2,
namun pada persamaan regresi yang menggunakan metode logit, determinasi suatu
persamaan bervariasi berdasarkan perangkat lunak (software) yang digunakan. Penggunaan Eviews akan menghasilkan
koefisien determinasi McFadden R2, STATA akan menghasilkan koefisien
determinasi pseudo R2, sedangkan SPSS akan menghasilkan koefisien
determinasi berupa Nagelkerke R2.
Koefisien ini digunakan untuk mengukur seberapa besar variasi dari
variabel dependennya dapat dijelaskan oleh variasi nilai dari variabel-variabel
independennya. Secara statistik, nilai-nilai tersebut mengukur tingkat
keberhasilan model yang digunakan dalam memprediksi nilai variabel dependen
atau mengetahui kecocokan (goodness of
fit) dari model tersebut. Nilai Nagelkerke R2 memiliki rentang
nilai antara nol sampai 1 (0 < R2 < 1). Nilai Nagelkerke R2
akan menghasilkan nilai yang lebih rendah dibandingkan R2 pada
regresi OLS biasa. Semakin mendekati nilai satu maka berarti hampir semua
variabel dapat menjelaskan variabel dependen dan model tersebut dapat dikatakan
semakin baik.
Nilai Nagelkerke R
Square yang lebih besar daripada Cox & Snell R Square, menunjukkan
kemampuan kelima variabel bebas dalam menjelaskan varians Crisis Severe
Distress dan sisanya terdapat faktor lain yang menjelaskan varians CSD. Model
yang baik adalah ketika nilai Cox & Snell R Square lebih kecil dari nilai Nagelkerke
R Square.
3.4.5
Evaluasi Kinerja Model
Penghitungan lain yang
lebih baik untuk mengetahui seberapa baik variabel-variabel independen
menjelaskan variabel dependen adalah dengan melihat nilai overall percentage
yang merupakan perbandingan antara jumlah prediksi yang tepat dengan jumlah
seluruh observasi.
Untuk mengevaluasi kinerja model, maka ditentukan batas ambang nilai
probabilita untuk memberikan indikasi tingginya kemungkinan akan terjadinya
krisis. Untuk setiap bulan data yang diamati akan memberikan hasil apakah data
tersebut dalam daerah yang melampaui batas ambang probabilitas maka berarti
memberikan sinyal pendeteksian. Sinyal ini akan menjadi benar bila 24 bulan
kemudian terjadi krisis (kategori A) atau sinyal salah bila 24 bulan kemudian
tidak terjadi krisis (kategori B) atau disebut dengan kesalahan tipe II.
Penetapan masa sebelum krisis selama 24 bulan didasarkan pada penelitian yang
dilakukan oleh KLR (sebutin)
Dengan analogi yang sama, jika model yang diamati tidak memberi sinyal,
tetapi dalam 24 bulan kemudian terjadi krisis berarti tidak ada sinyal
(kategori C) disebut kesalahan tipe I, sementara bila tidak ada sinyal dan
memang tidak terjadi krisis pada 24 bulan kemudian (kategori D).
|
Krisis
terjadi dalam 24 bulan kemudian
|
Tidak ada
krisis dalam 24 bulan kemudian
|
Sinyal
|
A
|
B
|
Tidak Ada
Sinyal
|
C
|
D
|
Sumber:
Goldstein, Kaminsky, dan Reinhart (2000)
Dari matriks di atas, model yang terbaik adalah yang masuk dalam kategori
A dan D. Yang termasuk dalam kategori A adalah model yang memberikan sinyal
pendeteksian akan adanya krisis dan diikuti oleh krisis. Sedangkan yang
termasuk dalam kategori D adalah model tidak memberikan sinyal pendeteksian
karena memeang tidak akan terjadi krisis. Sebaliknya yang termasuk dalam
kategori C adalah model yang tidak memberikan sinyal tetapi ternyata terjadi
krisis. Sementara yang termasuk dalam kategori B adalah model yang memberikan
sinyal tetapi tidak terjadi krisis.
Kaminsky, Lizondo, dan Reinhart (1998) membuat batas ambang optimal untuk
daerah abnormal agar supaya minimal yang disebut rasio pengganggu sinyal (noise
to signal ratio/NSR). NSR didefinisikan sebagai perbandingan probabilitas dari
sebuah indikator yang memberikan sinyal selama masa krisis terhadap
probabilitas dari sebuah indikator yang memberikan sinyal selama masa krisis.
Formula NSR adalah sebagai berikut:
3.5 Pengujian Pelanggaran Asumsi Dasar
Penelitian menggunakan analisis regresi logistik karena variabel dependen
menggunakan variabel dummy yaitu 0
(tidak krisis) dan 1 (krisis). Penggunaan regresi logistik tidak memerlukan uji
asumsi klasik data seperti pada regresi linear. Uji asumsi klasik yang sering
digunakan dalam regresi linear berganda adalah uji normalitas, uji
heteroskedastisitas, uji autokorelasi dan uji multikolinearitas. Dari keempat
uji tersebut, jika kita simak maka uji normalitas, uji heteroskedastisitas dan
uji autokorelasi berkaitan dengan nilai residualnya, sedangkan uji
multikolinearitas berkaitan dengan variabel bebasnya. Regresi logistik adalah
regresi di mana variabel terikatnya adalah dummy, yaitu 1 dan 0. Dengan
demikian, residualnya yang merupakan selisih antara nilai prediksi dengan nilai
sebenarnya tidak perlu dilakukan ketiga uji tersebut. Akan tetapi untuk uji
multikolinearitas, karena hanya melibatkan variabel bebas, maka masih
diperlukan uji tersebut.
Pengolahan data dengan metode regresi model logit juga harus memenuhi
beberapa asumsi agar menghasilkan nilai parameter yang BLUE (Best Linear Unbiased Estimator), diantaranya:
a. Nilai harapan rata-rata kesalahan adalah nol.
b. Tidak ada hubungan antara variabel bebas dan error terms.
c. Tidak terjadi hubungan antar variabel bebas (no multocolinearity).
Dalam metode logit hanya dilakukan pengujian asumsi
multikolinearitas. Asumsi autokorelasi dan heteroskedastitas tidak dilakukan
karena variabel dependen bersifat kategorikal, sehingga tidak ada error dalam
estimasi variabel independen dan nilai sebenarnya.
Multikolinearitas merupakan pelanggaran asumsi dasar
berupa terdapatnya hubungan antara variabel independen sehingga nilai parameter
yang BLUE tidak dapat terpenuhi. Adanya multikolinearitas dapat dilihat dari:
a. Nilai pseudo R2 tinggi dan nilai LR stat
yang signifikan, namun sebagian besar nilai dari z-stat tidak signifikan.
b.
Tingkat
korelasi yang cukup tinggi antar dua variabel bebas yakni R > 0,8. Jika hal
ini terpenuhi maka diindikasikan terjadi masalah multikolinearitas dalam
persamaan tersebut.
c. Variabel yang menyebabkan multikolinearitas dapat
dilihat pula dari nilai Tolerance yang lebih kecil daripada 0,1 atau nilai VIF
yang lebih besar daripada nilai 10.
Adapun
terdapat beberapa cara untuk mengatasi masalah multikolinearitas ini, antara
lalin:
a. Menggunakan data panel.
b. Menghilangkan variabel independen yang tidak
signifikan atau memiliki korelasi yang tinggi.
c. Mentransformasikan variabel, misalnya dengan
mengubahnya menjadi bentuk first
different.
d. Menambah data atau memilih sampel baru.
e. Tidak melakukan apapun.
Suatu model, dikatakan tidak mengandung multikolinearitas jika nilai
Tolerance lebih dari 0,1, nilai VIF yang lebih kecil dari 10, dan didukung oleh
nilai 1/VIF yang lebih besar daripada taraf signifikansi yang digunakan.
BAB
IV
PEMBAHASAN
Dalam bab ini akan
dijelaskan mengenai hasil pengolahan data atas variabel-variabel yang digunakan
dalam penelitian beserta pembahasannya sebagai dasar untuk menjawab rumusan
masalah penelitian. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah Regresi
Logistik (Regresi Model Logit) dimana variabel dependennya berupa variabel diskret
0 (tidak krisis) dan 1 (krisis). Adapun software yang digunakan untuk menunjang
penelitian ini adalah SPPS 17.
4.1
Profil Data
Data yang digunakan
dalam penelitian ini adalah dana nilai Crisis Severe Distress (CSD) yang
diperoleh dari nilai EMPI dengan kriteria apabila nilai EMPI melebihi dua kali
standar deviasi ditambah rata-ratanya berarti krisis (1) dan apabila kurang
dari dua kali standar deviasi ditmbah rata-ratanya berarti tidak krisis (0).
Data lainnya adalah Rasio likuiditas (LAR dan FAR), Rasio Solvabilitas (VARK
dan CARS), tingkat suku bunga atau BI Rate (INTR), tingkat inflasi (INFL),
pertumbuhan pendapatan nasional yang diproksikan dengan pertumbuhan Industrial Priduct Index (IPIG), dan
pertumbuhan Ekspor (EXPG) dari bulan Januari 2004 hingga April 2011 (88 bulan).
4.2
Periode Krisis di Indonesia
Tujuan dari penentuan
periode krisis adalah untuk menentukan nilai 0 dan 1 pada variabel independen,
dimana nilai 1 untuk periode krisis dan nilai 0 untuk periode tidak krisis.
Maka dari itu digunakan metode Exchange Market Pressure Index (EMPI) yang
merupakan pembobotan dari deviasi nilai tukar (exchange rate), selisih tingkat
suku bunga antar periode, dan pertumbuhan cadangan devisa. Suatu periode
dikatakan sebagai periode krisis jika nilai EMPI pada periode tersebut melebihi
dua kali standar deviasi dan rata-rata
EMPI tersebut.
Berdasarkan perhitungan
tersebut, periode krisis yang dialami Indonesia terjadi pada bulan Agustus
2005, September 2008, dan Oktober 2008. Secara ringkas, periode-periode
tersebut dapat dilihat sebagai berikut:
Tabel
4.1 Ringkasan Periode Krisis di Indonesia
Tahun
|
Periode
|
2005
|
Agustus
|
2008
|
September
|
2008
|
Oktober
|
Untuk memeriksa apakah
penetuan periode krisis ini sudah sesuai dengan apa yang telah terjadi di dunia
nyatanya, maka akan dilakukan tinjauan historik untuk masing-masing periode
krisis tersebut. Berdasarkan perhitungan EMPI tersebut maka batasab (treshold) antara krisis dan tidak krisis
adalah 0,59. Pada Agustus 2005 nilai EMPI-nya adalah 0,89. Pada periode ini
nilai tukar rupiah melemah hampir menyentuh level Rp.11.000 per 1 dolar AS. Hal
ini diindikasikan karena lambatnya BI menahan penurunan tingkat bunga di tengah
membanjirnya likuiditas di pasar sementara di sisi lain Pemerintah lamban dalam
mengambil kebijakan penurunan subsidi BBM domestik sehingga subsidi membengkak
karena kenaikan harga minyak dunia (Imansyah, 2009).
Sedangkan krisis yang
terjadi pada bulan September dan Oktober 2008, diakibatkan oleh krisis subprime
mortgage[10] di Amerika Serikat yang berdampak pada
perbankan Indonesia. Meski demikian, jika dilihat dari sisi fundamental
ekonomi, sebenarnya dapat dikatakan bahwa kondisinya masih relatif kuat yang
dicirikan oleh NPL yang lebih kecil daripada 5% yang menunjukkan masih sehatnya
sistem intermediasi perbankan, LDR yang lebiih kecil dari 80 % menunjukkan
masih cukupnya likuiditas, CAR sekitar 16% (Oktober 2008) yang menunjukkan
masih kuatnya permodalan bank. Pada periode ini inflasi mencapai 11% dan
tingkat suku bunga kebijakan naik menjadi 9,5%. Nilai tukar yang melemah
sehingga rupiah tembus lebih dari Rp. 12.000/USD (Oktober 2008). Hal ini
menunjukkan nilai tukar riil yang overvalued sehingga berdampak pad
meningkatnya probabilitas krisis keuangan sekaligus melemahkan daya saing di
pasar internasional yang juga dapat terlihat dari pelambatan pertumbuhan ekspor
yang mengalami penurunan sebesar 12%. Cadangan devisa pun mengalami penurunan
sebesar 6.199 USD atau sekitar 7%. Hal ini terlihat dari pergerakan nilai tukar
riil Rupiah dan EMPI berikut:
Gambar 4.1 Pergerakan Nilai Tukar
Riil Rp/USD dan EMPI
Sumber: Data Diolah dari BI dan IFS
Pembentukan
model early warning system pada penelitian ini dilakukan dengan olah data dan
pengujian statistik pada empat model.
Masing-masing model terdiri dari model konvensional dan model syariah. Penetuan
model terbaik adalah model yang menghasilkan variabel independen yang
signifikan terbanyak, Overall test, Hosmer & Lemeshow Test yang signifikan,
dan Nagelkerke R Square.
4.3
Analisis Statistik
Dalam penelitian ini,
penulis melakukan olah data dengan empat model, setiap model terdiri dari model
untuk konvensional dan model untuk syariah dimana masing-masing model memiliki
satu variabel dependen dan lima variabel independen. Variabel dependen untuk
keempat model diberi label CSD yang bersifat kategorikal atas periode krisis
atau periode tidak krisis. Sedangkan variabel independen dibagi menjadi dua
bagian yaitu variabel mikro dan variabel makro. Variabel mikro untuk bank
konvensional adalah LAR dan CARK sedangkan untuk bank syariah adalah FAR dan
CARS. Adapun variabel makro yang digunakan baik untuk bank konvensional maupun
bank syariah adalah sama yaitu INFL, INTR, IPIG, EXPG, LN_IPI, LN_REERDEV,
M2RES, SBI dan SBIS. Keempat belas variabel yang digunakan tersebut dapat
dirangkum dalam deskripsi variabel pada perangkat SPSS 17 berikut:
Tabel 4.2 Statistik Deskriptif Variabel
dalam Model
Descriptive Statistics
|
||||||
|
N
|
Minimum
|
Maximum
|
Sum
|
Mean
|
Std. Deviation
|
CSD
|
88
|
.00
|
1.00
|
3.00
|
.0341
|
.18250
|
LAR
|
88
|
37.88
|
117.67
|
4548.67
|
51.6894
|
9.49087
|
CARK
|
88
|
16.44
|
23.79
|
1727.10
|
19.6261
|
1.94342
|
FAR
|
88
|
62.53
|
82.48
|
6733.56
|
76.5177
|
3.74424
|
CARS
|
88
|
2.23
|
6.63
|
374.13
|
4.2515
|
1.09752
|
M2RES
|
88
|
-11.81
|
14.99
|
-10.53
|
-.1197
|
4.40329
|
INFL
|
88
|
-.32
|
8.70
|
62.50
|
.7102
|
1.19652
|
INTR
|
88
|
6.50
|
12.75
|
739.06
|
8.3984
|
1.86403
|
IPIG
|
88
|
-19.63
|
13.97
|
24.89
|
.2829
|
4.53048
|
EXPG
|
88
|
-18.17
|
24.38
|
150.86
|
1.7143
|
9.05135
|
SBIS
|
88
|
4.32
|
11.24
|
593.59
|
6.7453
|
1.54442
|
SBI
|
88
|
6.08
|
12.75
|
745.92
|
8.4764
|
1.94096
|
LN_IPI
|
88
|
4.61
|
4.89
|
422.04
|
4.7959
|
.06584
|
LN_REERDEV
|
88
|
8.55
|
8.97
|
773.99
|
8.7953
|
.11283
|
Valid N
(listwise)
|
88
|
|
|
|
|
|
4.3.1
Analisis Statistik Model Konvensional
Dalam bagian ini, penulis akan menganalisis hasil
estimasi tiga model konvensional berikut:
Model 1:
|
|
Model 2:
|
|
Model 3:
|
|
Model 4:
|
|
a.
Menilai
Keseluruhan Model (Overall Fit Model)
Langkah
pertama adalah menilai overall fit model terhadap data. Hipotesis untuk menilai
model fit adalah:
H0
: Model yang dihipotesakan fit dengan data
H1: Model yang dihipotesakan tidak fit dengan
data.
Adapun
kriteria pengambilan keputusan adalah tolak H0 jika nilai -2 Log Likelihood
> tabel Chi Square pada derajat bebas (df) = N-1, N adalah jumlah parameter
dalam model. Tingkat kepercayaan yang digunakan penulis dalam penelitian ini
adalah 90% atau dengan kata lain taraf
signifikansi α adalah 10%.
Nilai
-2 Log Likelihood pada Beginning Block yang dibandingkan dengan nilai Chi
Square pada tabel dengan df sebesar N – 1 = 88 – 1 = 87 pada taraf signifikansi
0,1 terlihat bahwa -2 Log Likelihood < Chi Square tabel. Hal ini berarti
keputusan yang diambil adalah terima H0 yang menunjukkan bahwa pada keempat
model konvensional tersebut tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara
model dengan konstanta sudah fit dengan data.
Nilai -2 Log Likelihood
< Chi Square tabel yang menunjukkan bahwa model dengan memasukkan variabel
bebas adalah fit dengan data. Hal ini menunjukkan bahwa model layak untuk
digunakan. Untuk selengkapnya dapat dilihat pada lampiran.
b.
Hosmer and Lemeshow Goodness of Fit Test
Hosmer and
Lemeshow Goodness of Fit Test bertujuan untuk melihat apakah data empiris cocok
dengan model (tidak ada perbedaan antara model dengan data sehingga model dapat
dikatakan fit). Hipotesis dari Hosmer and Lemeshow Goodness of Fit Test ini adalahsebagai berikut:
H0
: Tidak ada perbedaan yang nyata antara klasifikasi yang diprediksi dengan
klasifikasi yang diamati
H1
: Ada perbedaan yang nyata antara klasifikasi yang diprediksi dengan
klasifikasi yang diamati
Jika nilai Hosmer and Lemeshow Goodness of Fit test
statistic lebih besar daripada nilai Chi Square tabel maka H0 ditolak. Selain
itu pengambilan keputusan juga dapat dilihat pada nilai probabilitasnya, jika
probabilitasnya lebih besar daripada taraf signifikan 10% (α = 0,1), maka H0
ditolak. Artinya model regresi logistik tersebut layak dipakai untuk analisis
selanjutnya, karena tidak ada perbedaan yang nyata antara klasifikasi yang
diprediksi dengan klasifikasi yang diamati.
Berdasarkan hasil perhitungan, tampak bahwa keempat
model konvensional tersebut pada taraf signifikansi 0,1 nilai Chi Square hitung < Chi Square tabel. Terlihat juga bahwa
nilai signifikansi sebesar 1,000 dan 0.996 adalah lebih besar dari 0,1 yang menunjukkan bahwa keempat model
dapat diterima dan pengujian hipotesis dapat dilakukan.
Tabel
4.3 Hasil Uji Hosmer
and Lemeshow Goodness of Fit
|
Hosmer & Lemeshow
|
|
Chi Square
|
Sign
|
|
Model 1
|
0.604
|
1
|
Model 2
|
0.512
|
1
|
Model 3
|
0.222
|
1
|
Model 4
|
1.260
|
0.996
|
c.
Uji
Koefisien Determinasi
Untuk melihat kemampuan variabel bebas dalam
menjelaskan varians Crisis Severe Distress digunakan nilai Cox & Snell R
Square dan Nagelkerke R Square. Nilai Nagelkerke R Square yang lebih besar
daripada Cox & Snell R Square, menunjukkan kemampuan kelima variabel bebas
dalam menjelaskan varians Crisis Severe Distress dan sisanya terdapat faktor
lain yang menjelaskan varians CSD.
Tabel 4.4 Hasil Uji
Koefisien Determinasi
|
Koefisien Determinasi
|
|
Cox & Snell
|
Nagelkerke
|
|
Model 1
|
0.149
|
0.577
|
Model 2
|
0.157
|
0.609
|
Model 3
|
0.387
|
0.675
|
Model 4
|
0.387
|
0.675
|
Dari keempat model di atas, dapat disimpulkan bahwa
nilai Nagelkerke R Square yang berada antara 0.577 hingga 0.675 menunjukkan
kemampuan masing-masing variabel bebas dalam menjelaskan varians Crisis Severe
Distress dan sisanya terdapat faktor lain di luar model.
Penghitungan lain yang lebih baik untuk mengetahui
seberapa baik variabel-variabel independen menjelaskan variabel dependen adalah
dengan melihat nilai overall percentage
yang merupakan perbandingan antara jumlah prediksi yang tepat dengan jumlah
seluruh observasi pada Classification
Table.
Jumlah observasi yang tepat adalah ketika terdapat
peringatan akan terjadinya krisis diikuti dengan terjadinya krisis dan ketika
tidak terdapat peringatan akan terjadinya krisis diikuti dengan tidak
terjadinya krisis.
Tabel 4.5 Hasil Uji
Fitting Model
|
Ketepatan Model
|
||
B/A+B
|
C/C=D
|
D/A+B+C
|
|
Model 1
|
98.8
|
66.7
|
97.7
|
Model 2
|
98.8
|
66.7
|
97.7
|
Model 3
|
98.8
|
66.7
|
97.7
|
Model 4
|
98.8
|
33.3
|
96.6
|
*Tanda cetak tebal menunjukkan nilai overall
percentage
Pada model pertama, berdasarkan hasil estimasi,
sampel yang tidak mengalami krisis (0)
adalah sebayak 85 periode. Hasil prediksi model pada tabel di atas adalah 84
periode tidak terjadi krisis (0) dan 1 periode
terjadi krisis. Berarti terdapat 1 prediksi yang salah sehingga prediksi
yang benar adalah sebanyak 84/85 = 98,8%. Sedangkan untuk periode terjadi
krisis (1) dari 3 sampel hanya 1 periode yang diprediksi tidak sesuai oleh
model penelitian sehingga kebenaran model untuk periode terjadinya krisis
adalah sebesar 2/3 = 66,7%. Dengan demikian model pertama tersebut memberikan
nilai overall percentage sebesar (84 + 2)/88 =97,7% yang berarti ketepatan
model penelitian ini adalah sebesar 97,7%. Demikian pula berturut-turut model
2, 3 dan 4 yang memiliki nilai overall percentage di kisaran 97.7% dan 96.6%.
d.
Uji
Multikolinearitas
Multikolinearitas dalam perangkat SPSS dapat dilihat
dengan perintah VIF, Tolerance, dan matriks kolerasi. Pada hasil regresi logit
dalam penelitian ini seluruh variabel disimpulkan tidak ada adanya
multikolinearitas antar variabel.
Variabel yang menyebabkan multikolinearitas dapat
dilihat dari nilai tolerance yang lebih kecil dari 0,1 atau nilai VIF yang
lebih besar dari nilai 10. Hal tersebut juga didukung dengan nilai 1/VIF yang
tidak kurang dari 0,1 atau tingkat kepercayaan yang digunakan.
Tabel 4.6 Hasil Uji
Multikolinieritas
|
Variabel
|
Collinearity Statistics
|
1/VIF
|
|
Variabel
|
Collinearity Statistics
|
1/VIF
|
||
Tolerance
|
VIF
|
Tolerance
|
VIF
|
||||||
Model 1
|
LAR
|
0.545
|
1.834
|
0.545
|
Model 3
|
LAR
|
0.493
|
2.028
|
0.493
|
CARK
|
0.507
|
1.972
|
0.507
|
CARK
|
0.304
|
3.291
|
0.304
|
||
INFL
|
0.971
|
1.03
|
0.971
|
INTR
|
0.802
|
1.247
|
0.802
|
||
INTR
|
0.861
|
1.161
|
0.861
|
LN_IPI
|
0.369
|
2.712
|
0.369
|
||
IPIG
|
0.998
|
1.002
|
0.998
|
REERDEV
|
0.378
|
2.646
|
0.378
|
||
Model 2
|
LAR
|
0.544
|
1.839
|
0.544
|
Model 4
|
M2RES
|
0.939
|
1.065
|
0.939
|
CARK
|
0.507
|
1.973
|
0.507
|
INFL
|
0.967
|
1.034
|
0.967
|
||
INFL
|
0.969
|
1.032
|
0.969
|
REERDEV
|
0.796
|
1.256
|
0.796
|
||
INTR
|
0.852
|
1.173
|
0.853
|
IPIG
|
0.996
|
1.004
|
0.996
|
||
EXPG
|
0.984
|
1.017
|
0.983
|
SBI
|
0.796
|
1.199
|
0.834
|
Berdasarkan tabel di atas, nilai VIF masing-masing
variabel tidak ada yang melebihi angka 10, hal tersebut diperkuat dengan nilai
1/VIF dan Tolerance yang nilainya lebih dari 0,1. Sehingga dapat disimpulkan
keempat model tersebut tidak memiliki gangguan multikolinieritas.
e.
Uji
Signifikansi Parsial
Uji signifikansi parsial bertujuan untuk melihat
signifikansi suatu variabel independen dalam memengaruhi variabel dependen
dalam sebuah persamaan. Uji ini dilakukan dengan melihat signifikansi dari
masing-masing parameter variabel tersebut.
Tabel 4.7 Hasil Uji
Signifikansi Parsial
|
Variabel
|
Koefisien
|
Sign
|
Odds Ratio
|
Model 1
|
LAR
|
-0.646
|
0.153
|
0.524
|
CARK
|
-4.264
|
0.07
|
0.014
|
|
INFL
|
0.014
|
0.986
|
1.014
|
|
INTR
|
0.893
|
0.096
|
2.443
|
|
IPIG
|
0.108
|
0.715
|
1.114
|
|
Model 2
|
LAR
|
-0.763
|
0.141
|
4.517
|
CARK
|
-4.074
|
0.072
|
0.571
|
|
INFL
|
-0.131
|
0.902
|
0.016
|
|
INTR
|
0.927
|
0.124
|
1.248
|
|
EXPG
|
-0.094
|
0.335
|
0.809
|
|
Model 3
|
LAR
|
-0.047
|
0.699
|
.954
|
CARK
|
-5.303
|
0.086
|
.005
|
|
INTR
|
1.089
|
0.296
|
2.970
|
|
LN_IPI
|
-3.004
|
0.902
|
.050
|
|
REERDEV
|
60.83
|
0.178
|
2.618
|
|
Model 4
|
M2RES
|
0.4
|
0.025
|
1.418
|
INFL
|
-2.858
|
0.377
|
.084
|
|
REERDEV
|
0.117
|
0.783
|
.058
|
|
IPIG
|
-1.151
|
0.89
|
1.119
|
|
SBI
|
0.11
|
0.569
|
1.492
|
* Cetak tebal menunjukkan variabel
dengan taraf signifikan 10%.
Berdasarkan hasil uji signifikansi keempat model,
ada beberapa variabel yang memiliki parameter dengan nilai probabilitas
signifikansi (Sig.) dengan penggunaan tingkat kepercayaan 90%. Variabel
tersebut adalah CARK (Capital Adequacy Ratio) pada model 1, 2 dan 3, variabel
suku bunga (INTR) pada model pertama, dan M2RES (rasio M2 terhadap cadangan
devisa) pada model keempat.
Ketiga variabel tersebut memiliki nilai margin error
sebesar 10% (atau mencapai signifikan pada tingkat 90%). Keputusan yang dapat
diambil adalah menerima H0 sehingga kesimpulannya adalah variabel CARK, INTR
dan M2RES berpengaruh signifikan terhadap kenungkinan terjadinya krisis
Indonesia pada tingkat kepercayaan 90%. Adapun variabel lain selain ketiga
variabel di atas, hanya ada yang mencapai signifikansi 85% atau lebih rendah
dari 85%.
f.
Interpretasi
Hasil Estimasi
Tujuan dari interpretasi variabel independen adalah
untuk menjelaskan arti dari koefisien masing-masing variabel independen secara
inferensial pada setiap model. Masing-masing koefisien dapat diartikan sebagai
peluang terjadinya krisis akibat perubahan nilai satu variabel. Dorongan
masing-masing variabel terhadap terjadinya krisis dapat pula dilihat dari nilai
odds ratio.
Pada model perbankan konvensional ini, variabel
independen yang berpengaruh signifikan terhadap terjadinya krisis adalah
variabel Capital Adequacy Ratio (CARK), suku bunga (INTR) dan variabel M2RES
(rasio M2 terhadap cadangan devisa) pada model empat.
Nilai koefisien CARK yang dihasilkan pada persamaan
logit dalam penelitian ini adalah sebesar -4.264
dengan nilai Odds Ratio sebesar 0.014. Tanda
negatif pada koefisien tersebut berarti ada hubungan terbalik antara
peningkatan Capital Adequacy Ratio perbankan konvensional dengan peluang
terjadinya krisis perbankan di Indonesia. Hal ini sesuai dengan teori bahwa
semakin besar CAR sebuah bank, semakin baik kondisi kesehatan bank tersebut,
semakin rendah pula peluang terjadinya krisis. Sebaliknya, semakin rendah CAR
suatu bank, maka ia akan mendapat masalah dalam kecukupan modal yang dimilikinya
dan mengindikasikan kemungkinan peningkatan peluang terjadinya krisis
finansial.
Nilai odds ratio tersebut mencerminkan seberapa
besar peningkatan peluang terjadinya krisis perbankan akibat perubahan CAR
suatu bank dengan asumsi variabel lainnya tidak berubah.
Adapun nilai koefisien suku bunga (INTR) yang
dihasilkan pada persamaan logit dalam penelitian ini adalah sebesar 0.893 dengan
nilai Odds Ratio sebesar 2.443. Tanda positif
koefisien menunjukkan hubungan lurus antara peningkatan suku bunga dengan
kemungkinan terjadinya krisis perbankan. Ini juga sesuai dengan teori dan fakta
bahwa semakin tinggi tingkat suku bunga, menunjukkan kesulitan perbankan dalam
likuiditas. Pengalaman krisis moneter 1997 pun menunjukkan, saat itu tingkat
suku bunga perbankan melonjak hingga angka 70an persen.
Nilai odds ratio juga mencerminkan seberapa besar
peningkatan peluang terjadinya krisis perbankan akibat naiknya tingkat suku
bunga, dengan asumsi variabel lainnya tetap.
Sementara itu nilai koefisien M2RES yang dihasilkan
pada persamaan logit dalam penelitian ini adalah sebesar 0.4 dengan nilai
Odds Ratio sebesar 1.418.
Tanda positif pada koefisien tersebut berarti bahwa ada hubungan lurus antara
peningkatan M2RES dengan peluang terjadinya krisis perbankan di Indonesia. Hal
ini dapat diketahui dengan logika bahwa pada waktu krisis, seseorang dapat
menukarkan simpanan mata uang domestiknya ke mata uang asing (M2 naik),
disertai dengan penurunan cadangan devisa. Sehingga nilai M2RES menjadi semakin
besar. Hal ini biasanya diikuti oleh melemahnya kurs mata uang domestik.
Dampaknya, uang domestik akan mengalami tekanan.
Adapun nilai odds ratio mencerminkan seberapa besar
peningkatan peluang terjadinya krisis perbankan akibat perubahan M2RES dengan
asumsi variabel lainnya tidak berubah.
4.3.2
Analisis
Statistik Model Syariah
a.
Menilai
Keseluruhan Model (Overall Fit Model)
Langkah pertama adalah menilai overall fit model
terhadap data. Untuk model syariah, nilai -2 Log Likelihood pada Beginning
Block adalah sebesar 26,169 pada iterasi ke-6. Nilai tersebut merupakan nilai
Chi Square yang dibandingkan dengan nilai Chi Square pada tabel dengan df
sebesar N – 1 = 88 – 1 = 87 pada taraf signifikansi 0,1 yaitu sebesar 104,750
tampak bahwa -2 Log Likelihood < Chi Square tabel (26,169 < 104,750). Hal
ini berarti keputusan yang diambil adalah terima H0 yang menunjukkan bahwa
tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara model dengan konstanta sudah
fit dengan data.
Tabel
4.8 Uji Fit Model
Iteration
History
|
|
Iteration
|
-2 Log
Likelihood
|
Step 0 6
|
26.169
|
Step 1 12
|
10.885
|
Tidak berbeda dengan
model konvensional, penilaian keseluruhan model untuk syariah bernilai -2 Log
Likelihood < Chi Square tabel yang menunjukkan bahwa model dengan memasukkan
variabel bebas adalah fit dengan data. Hal ini menunjukkan bahwa model layak
untuk digunakan.
b.
Hosmer
and Lemeshow Goodness of Fit Test
Lebih lanjut, untuk
melihat apakah data empiris cocok dengan model (tidak ada perbedaan antara
model dengan data) dilakukan dengan melihat nilai Hosmer and Lemeshow Test
yaitu sebagai berikut:
Tabel
4.9 Hasil Uji Goodness of Fit Model Syariah
|
Hosmer & Lemeshow
|
|
Chi Square
|
Sign
|
|
Model 1
|
0.604
|
1
|
Model 2
|
1.296
|
0.996
|
Model 3
|
1.182
|
0.997
|
Model 4
|
0.814
|
0.999
|
Berdasarkan hasil perhitungan, tampak bahwa keempat
model syariah tersebut pada taraf signifikansi 0,1 nilai Chi Square hitung < Chi Square tabel. Terlihat juga bahwa
nilai signifikansi sebesar 0.996 hingga 1.000 adalah lebih besar dari 0,1 yang menunjukkan bahwa keempat model
dapat diterima dan pengujian hipotesis dapat dilakukan
c.
Uji
Koefisien Determinasi
Untuk melihat kemampuan
variabel bebas dalam menjelaskan varians crisis severe distress digunakan nilai
Cox & Snell R Square dan Nagelkerke R Square. Nilai Nagelkerke R Square
yang lebih besar daripada Cox & Snell R Square, menunjukkan kemampuan
kelima variabel bebas dalam menjelaskan varians Crisis Severe Distress dan
sisanya terdapat faktor lain yang menjelaskan varians CSD.
Tabel 4.10 Hasil Uji
Koefisien Determinasi Model Syariah
|
Koefisien Determinasi
|
|
Cox & Snell
|
Nagelkerke
|
|
Model 1
|
0.149
|
0.577
|
Model 2
|
0.174
|
0.678
|
Model 3
|
0.157
|
0.519
|
Model 4
|
0.169
|
0.457
|
Jika melihat hasil uji keempat model di atas, dapat
disimpulkan bahwa nilai Nagelkerke R Square yang berada antara 0.577 hingga
0.678 menunjukkan kemampuan masing-masing variabel bebas dalam menjelaskan
varians Crisis Severe Distress dan sisanya terdapat faktor lain di luar model.
Penghitungan lain yang lebih baik untuk mengetahui
seberapa baik variabel-variabel independen menjelaskan variabel dependen adalah
dengan melihat nilai overall percentage yang merupakan perbandingan antara
jumlah prediksi yang tepat dengan jumlah seluruh observasi pada Classification
Table.
Jumlah observasi yang tepat adalah ketika terdapat
peringatan akan terjadinya krisis diikuti dengan terjadinya krisis dan ketika
tidak terdapat peringatan akan terjadinya krisis diikuti dengan tidak
terjadinya krisis.
Tabel 4.11 Hasil Uji
Fitting Model
|
Ketepatan Model
|
||
B/A+B
|
C/C=D
|
D/A+B+C
|
|
Model 1
|
98.8
|
66.7
|
97.7
|
Model 2
|
100
|
66.7
|
98.9
|
Model 3
|
98.8
|
33.3
|
96.6
|
Model 4
|
98.8
|
33.3
|
96.6
|
*Tanda cetak tebal menunjukkan nilai overall
percentage
Pada model pertama, sampel yang tidak mengalami krisis (0) adalah sebayak 85
periode. Hasil prediksi model pada tabel di atas adalah 84 periode tidak
terjadi krisis (0) dan 1 periode terjadi
krisis. Berarti terdapat 1 prediksi yang salah sehingga prediksi yang benar
adalah sebanyak 84/85 = 98,8%. Sedangkan untuk periode terjadi krisis (1) dari
3 sampel hanya 1 periode yang diprediksi tidak sesuai oleh model penelitian
sehingga kebenaran model untuk periode terjadinya krisis adalah sebesar 2/3 =
66,7%. Dengan demikian tabel diatas memberikan nilai overall Percentage sebesar
(84 + 2)/88 =97,7% yang berarti ketepatan model penelitian ini adalah sebesar
97,7%. Adapun model 2 hingga model 4 berturut-turut adalah 98.9, 96.6 dan 96.6
persen.
d.
Uji
Multikolinearitas
Multikolinearitas dalam perangkat SPSS dapat dilihat
dengan perintah VIF, Tolerance, dan matriks kolerasi. Pada hasil regresi logit
dalam penelitian ini seluruh variabel disimpulkan tidak ada adanya
multikolinearitas antar variabel.
Variabel yang menyebabkan multikolinearitas dapat
dilihat dari nilai tolerance yang lebih kecil dari 0,1 atau nilai VIF yang
lebih besar dari nilai 10. Hal tersebut juga didukung dengan nilai 1/VIF yang
tidak kurang dari 0,1 atau tingkat kepercayaan yang digunakan.
Tabel 4.12 Hasil Uji
Multikolinieritas
|
Variabel
|
Collinearity Statistics
|
1/VIF
|
|
Variabel
|
Collinearity Statistics
|
1/VIF
|
||
Tolerance
|
VIF
|
Tolerance
|
VIF
|
||||||
Model 1
|
FAR
|
0.742
|
1.348
|
0.742
|
Model 3
|
FAR
|
0.61
|
1.639
|
0.610
|
CARS
|
0.874
|
1.144
|
0.874
|
CARS
|
0.654
|
1.53
|
0.654
|
||
INFL
|
0.957
|
1.045
|
0.957
|
INTR
|
0.691
|
1.446
|
0.692
|
||
INTR
|
0.825
|
1.211
|
0.826
|
LN_IPI
|
0.445
|
2.247
|
0.445
|
||
IPIG
|
0.995
|
1.005
|
0.995
|
REERDEV
|
0.332
|
3,013
|
0.000
|
||
Model 2
|
FAR
|
0.744
|
1.344
|
0.744
|
Model 4
|
M2RES
|
0.934
|
1.071
|
0.934
|
CARS
|
0.875
|
1.143
|
0.875
|
INFL
|
0.976
|
1.024
|
0.977
|
||
INFL
|
0.956
|
1.047
|
0.955
|
REERDEV
|
0.869
|
1.150
|
0.870
|
||
INTR
|
0.82
|
1.22
|
0.820
|
IPIG
|
0.99
|
1.010
|
0.990
|
||
EXPG
|
0.986
|
1.014
|
0.986
|
SBIS
|
0.914
|
1.094
|
0.914
|
Nilai VIF masing-masing variabel tidak ada yang
melebihi angka 10, hal tersebut diperkuat dengan nilai 1/VIF dan Tolerance yang
nilainya lebih dari 0,1. Sehingga dapat disimpulkan keempat model syariah
tersebut tidak memiliki gangguan multikolinieritas.
e.
Uji
Signifikansi Parsial
Uji signifikansi parsial bertujuan untuk melihat
signifikansi sauatu variabel independen dalam memengaruhi variabel dependen
dalam sebuah persamaan. Uji ini dilakukan dengan melihat signifikansi dari
masing-masing parameter variabel tersebut.
Tabel 4.13 Hasil Uji
Signifikansi Parsial Model Syariah
|
Variabel
|
Koefisien
|
Sign
|
Odds Ratio
|
Model 1
|
FAR
|
2.115
|
0.077
|
8.287
|
CARS
|
0.161
|
0.871
|
1.175
|
|
INFL
|
-4.956
|
0.205
|
0.007
|
|
INTR
|
0.069
|
0.902
|
1.072
|
|
IPIG
|
0.123
|
0.775
|
1.131
|
|
Model 2
|
FAR
|
1.508
|
0.055
|
4.517
|
CARS
|
-0.561
|
0.676
|
0.571
|
|
INFL
|
-4.113
|
0.255
|
0.016
|
|
INTR
|
0.221
|
0.744
|
1.248
|
|
EXPG
|
-0.212
|
0.211
|
0.809
|
|
Model 3
|
FAR
|
2.351
|
0.184
|
0.954
|
CARS
|
0.102
|
0.915
|
0.005
|
|
INTR
|
0.176
|
0.767
|
2.970
|
|
LN_IPI
|
-5.463
|
0.752
|
0.050
|
|
LN_REERDEV
|
9.049
|
0.689
|
2.618E26
|
|
Model 4
|
M2RES
|
0.414
|
0.017
|
1.513
|
INFL
|
-3.128
|
0.366
|
0.044
|
|
LN_REERDEV
|
-4.695
|
0.638
|
0.009
|
|
IPIG
|
0.1
|
0.63
|
1.105
|
|
SBIS
|
-0.724
|
0.573
|
0.485
|
*
Cetak tebal menunjukkan variabel dengan taraf signifikan 10%.
Berdasarkan hasil uji signifikansi keempat model,
ada beberapa variabel yang memiliki parameter dengan nilai probabilitas
signifikansi (Sig.) dengan penggunaan tingkat kepercayaan 90%. Variabel
tersebut adalah FAR (Financing to Asset Ratio) pada model 1 dan 2, serta
variabel M2RES (rasio M2 terhadap cadangan devisa) pada model keempat.
Ketiga
variabel tersebut memiliki nilai margin error sebesar 10% (atau mencapai
signifikan pada tingkat 90%). Keputusan yang dapat diambil adalah menerima H0
sehingga kesimpulannya adalah variabel FAR dan M2RES berpengaruh signifikan
terhadap kenungkinan terjadinya krisis Indonesia pada tingkat kepercayaan 90%.
Adapun variabel lain selain ketiga variabel di atas, hanya ada yang mencapai
signifikansi 85% atau lebih rendah dari 85%.
f.
Interpretasi
Hasil Estimasi
Seperti yang telah disampaikan, tujuan dari
interpretasi variabel independen adalah untuk menjelaskan arti dari koefisien
masing-masing variabel independen secara inferensial. Masing-masing koefisien
dapat diartikan sebagai peluang terjadinya krisis akibat perubahan nilai satu
variabel. Dorongan masing-masing variabel terhadap terjadinya krisis dapat pula
dilihat dari nilai odds ratio.
Berbeda dengan kondisi bank konvensional, pada model
perbankan syariah ini, variabel independen yang berpengaruh signifikan terhadap
terjadinya krisis hanyalah Financing to Asset Ratio (FAR). Nilai koefisien FAR
yang dihasilkan pada persamaan logit dalam penelitian ini adalah sebesar 2.115 dengan nilai
Odds Ratio sebesar 8.287.
Tanda positif pada koefisien tersebut berarti bahwa ada hubungan lurus antara
peningkatan Financing to Asset Ratio (FAR) perbankan syariah dengan peluang
terjadinya krisis perbankan di Indonesia. Hal ini dapat dijelaskan dengan
logika bahwa kondisi financing/pembiayaan yang diberikan bank syariah kepada
masyarakat tetap dalam kondisi yang relatif tinggi meskipun dalam keadaan
krisis. Akan tetapi dari sisi aset dan dana pihak ketiga relatif lebih kecil.
Sehingga menyebabkan rasio FAR, tetap besar. Dari sini, kondisi likuiditas
menjadi masalah utama yang dihadapi perbankan syariah.
Adapun nilai odds ratio mencerminkan seberapa besar
peningkatan peluang terjadinya krisis perbankan akibat perubahan FAR bank
syariah dengan asumsi variabel lainnya tidak berubah.
Sementara itu nilai koefisien M2RES yang dihasilkan
pada persamaan logit dalam penelitian ini adalah sebesar 0.414 dengan nilai
Odds Ratio sebesar 1.513.
Tanda positif pada koefisien tersebut berarti bahwa ada hubungan lurus antara
peningkatan M2RES dengan peluang terjadinya krisis perbankan di Indonesia. Hal
ini dapat diketahui dengan logika bahwa pada waktu krisis, seseorang dapat
menukarkan simpanan mata uang domestiknya ke mata uang asing (M2 naik),
disertai dengan penurunan cadangan devisa. Sehingga nilai M2RES menjadi semakin
besar. Hal ini biasanya diikuti oleh melemahnya kurs mata uang domestik.
Dampaknya, uang domestik akan mengalami tekanan.
Adapun nilai odds ratio mencerminkan seberapa besar
peningkatan peluang terjadinya krisis perbankan akibat perubahan M2RES dengan
asumsi variabel lainnya tidak berubah.
Secara
ringkas, indikator-indikator ekonometri untuk masing-masing model dapat dilihat
pada tabel berikut:
Tabel 4.14 Ringkasan Hasil Uji
Signifikansi Keseluruhan
Model
|
Variabel
|
Sign.
|
Overall test
|
Hosmer & Lemeshow
|
Koef Determinasi
|
|||
Chi Square
|
Sign
|
Chi Square
|
Sign
|
Cox & Snell
|
Nagelkerke
|
|||
Konven 1
|
LAR
|
0.153
|
14.15
|
0.015
|
0.604
|
1
|
0.149
|
0.577
|
CARK
|
0.07
|
|||||||
INFL
|
0.986
|
|||||||
INTR
|
0.096
|
|||||||
IPIG
|
0.715
|
|||||||
C
|
0.109
|
|||||||
Syariah 1
|
FAR
|
0.077
|
14.15
|
0.015
|
0.604
|
1
|
0.149
|
0.577
|
CARS
|
0.871
|
|||||||
INFL
|
0.205
|
|||||||
INTR
|
0.902
|
|||||||
IPIG
|
0.775
|
|||||||
C
|
0.08
|
|||||||
Konven 2
|
LAR
|
0.141
|
15.005
|
0.01
|
0.512
|
1
|
0.157
|
0.609
|
CARK
|
0.072
|
|||||||
INFL
|
0.902
|
|||||||
INTR
|
0.124
|
|||||||
EXPG
|
0.335
|
|||||||
C
|
0.108
|
|||||||
Syariah 2
|
FAR
|
0.055
|
0.174
|
0.005
|
1.296
|
0.996
|
0.174
|
0.678
|
CARS
|
0.676
|
|||||||
INFL
|
0.255
|
|||||||
INTR
|
0.744
|
|||||||
EXPG
|
0.211
|
|||||||
C
|
0.055
|
|||||||
Konven 3
|
LAR
|
0.699
|
16.782
|
0.005
|
0.222
|
1
|
9.387
|
0.675
|
CARK
|
0.086
|
|||||||
INTR
|
0.296
|
|||||||
LN_IPI
|
0.902
|
|||||||
LN_REERDEV
|
0.178
|
|||||||
C
|
0.269
|
|||||||
Syariah 3
|
FAR
|
0.184
|
12.598
|
0.027
|
1.182
|
0.997
|
13.571
|
0.519
|
CARS
|
0.915
|
|||||||
INTR
|
0.767
|
|||||||
LN_IPI
|
0.752
|
|||||||
LN_REERDEV
|
0.689
|
|||||||
C
|
0.461
|
|||||||
Konven 4
|
M2RES
|
0.4
|
10.552
|
0.061
|
1.26
|
0.996
|
9.387
|
0.675
|
INFL
|
-2.858
|
|||||||
LN_REERDEV
|
0.117
|
|||||||
IPIG
|
-1.151
|
|||||||
SBI
|
0.11
|
|||||||
C
|
5.517
|
|||||||
Syariah 4
|
M2RES
|
0.414
|
11
|
0.051
|
0.814
|
0.999
|
15.169
|
0.457
|
INFL
|
-3.128
|
|||||||
LN_REERDEV
|
-4.695
|
|||||||
IPIG
|
0.1
|
|||||||
SBIS
|
-0.724
|
|||||||
C
|
42.128
|
Model
terbaik yang dihasilkan dari keempat model tersebut adalah model pertama karena
memiliki variabel independen signifikan lebih banyak daripada model lainnya
sedangkan untuk uji statistik, keempat model telah memenuhi syarat kelayakan
model. Sehingga persamaan yang dihasilkan adalah sebagai berikut:
v Persamaan
Regresi Logistik untuk perbankan konvensional
CSD = 100,502 – 0,646 LARK -4,254
CARK + 0,014 INFL + 0,893 INTR + 0,108 IPIG
v Persamaan
Regresi Logistik untuk perbankan syariah
CSD = -172,719 + 2,115 FAR + 0,161
CARS - 4,956 INFL + 0,069 INTR + 0,123 IPIG
Secara ringkas, interpretasi masing-masing variabel
independen yang dihasilkan dalam tulisan ini dapat dilihat pada tabel berikut:
Variabel
|
Nilai
Koef
|
Odds
Ratio
|
Tanda
Koef
|
Kesesuaian
Teori
|
CARK
|
-4.264
|
0.014
|
Negatif
|
Sesuai
|
INTR
|
0.893
|
2.443
|
Positif
|
Sesuai
|
FAR
|
2.115
|
8.287
|
Positif
|
Sesuai
|
M2RES
|
0.4
|
1.418
|
Positif
|
Sesuai
|
Secara keseluruhan, model yang dihasilkan pada regresi
logit dalam penelitian ini menghasilkan indikator-indikator ekonometri yang
cukup baik. Terlihat dari signifikansi masing-masing variabel independen dan
nilai count R yang relatif tinggi.
Selain itu,
model juga relatif baik mencerminkan kondisi sesungguhnya dalam pergerakan
indikator-indikator ekonomi dalam suatu negara pada saat terjadinya krisis. Ini
terlihat pada seluruh variabel yang memiliki kesesuaian tanda koefisien dengan
teori yang berlaku.
BAB
V
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Penelitian tentang
sistem pendeteksian dini terhadap krisis pada sistem perbankan ganda di
Indonesia ini menghasilkan beberapa kesimpulan penting, yaitu:
-
Berdasarkan hasil estimasi, beberapa
variabel yang dapat dijadikan sebagai indikator awal dari krisis finansial bagi
industri perbankan konvensional adalah
variabel Capital Adequacy Ratio atau rasio kecukupan modal (CARK) dan variabel
suku bunga (INTR). Kesimpulan ini selaras dengan apa yang dikemukakan oleh
Barrel et all. (2010), Boyd et all. (2009), Kunt (2005) serta Hardy dan
Pazarbasioglu (1998).
-
Sementara itu, untuk prediksi deteksi
dini krisis finansial bagi industri perbankan syariah hanya variabel FAR
(Financing to Asset Ratio) yang memiliki signifikansi di atas 90%. Hal ini
serupa dengan hasil penelitian Hadad et all. (2003) yang menyebutkan variabel
kredit intensif dari perbankan sebagai salah satu indikator early warning system krisis finansial
sektor perbankan yang penting.
-
Jika melihat tanda koefisien, maka
variabel Capital Adequacy Ratio atau rasio kecukupan modal (CARK) memiliki
tanda negatif. Hal itu berarti bahwa ada hubungan terbalik antara peningkatan
Capital Adequacy Ratio perbankan konvensional dengan peluang terjadinya krisis
perbankan di Indonesia. Fakta ini sesuai dengan teori bahwa semakin besar CAR
sebuah bank, semakin baik kondisi kesehatan bank tersebut. Begitu pula
sebaliknya.
-
Adapun tanda positif koefisien suku
bunga (INTR) menunjukkan hubungan lurus antara peningkatan suku bunga dengan
kemungkinan terjadinya krisis perbankan. Semakin tinggi tingkat suku bunga,
menunjukkan kemungkinan yang tinggi terjadinya krisis.
-
Pada perbankan syariah, variabel FAR
(Financing to Asset Ratio) memiliki tanda positif pada koefisiennya. Artinya
ada hubungan lurus antara peningkatan Financing to Asset Ratio (FAR) perbankan
syariah dengan peluang terjadinya krisis perbankan di Indonesia. Hal ini dapat
dijelaskan dengan logika bahwa kondisi financing/pembiayaan yang diberikan bank
syariah kepada pihak ketiga tetap dalam kondisi yang relatif tinggi meskipun
dalam keadaan krisis. Akan tetapi porsi dari sisi aset dan dana pihak ketiga
relatif lebih kecil. Sehingga menyebabkan rasio FAR, tetap besar. Dari sini,
kondisi likuiditas menjadi masalah utama yang dihadapi perbankan syariah.
-
Kesimpulan menarik yang didapat dari
penelitian ini adalah bahwa dalam model syariah, variabel yang signifikan
sebagai indikator dini krisis hanyalah variabel mikro perbankan; yakni rasio
pembiayaan terhadap total aset. Sementara pada model konvensional, selain variabel
mikro (yaitu CAR bank) juga terdapat variabel suku bunga (INTR). Hal ini
menjadi salah satu bukti bahwa industri perbankan syariah relatif lebih tahan
terhadap gejolak makroekonomi di waktu krisis. Hal ini selaras dengan hasil
penelitian Ascarya (2011), Anisak (2010), Rusydiana (2009), dan Hasanah (2007).
5.2 Rekomendasi
Beberapa rekomendasi yang dapat penulis berikan terkait penelitian
tentang Early Warning System dalam
sistem perbankan ganda di Indonesia ini antara lain:
-
Hasil
penghitungan menunjukkan bahwa variabel CAR (rasio kecukupan modal) dan macro variable suku bunga terindikasi
menjadi indikator dini krisis finansial pada sektor perbankan konvensional.
Oleh karenanya sangat perlu diperhatikan oleh para pemangku kepentingan, baik
dari perbankan maupun otoritas moneter.
-
Pada sisi
perbankan syariah, variabel FAR (Financing to Asset Ratio) menjadi indikator
dini krisis finansial. Oleh karena itu,
sisi tersebut (sebagai cerminan likuiditas) layak menjadi perhatian
utama para stakeholder perbankan syariah di Indonesia.
-
Yang tidak
kalah penting, penelitian ini juga membuktikan bahwa industri perbankan
konvensional ternyata lebih rentan terimbas krisis dibanding dengan perbankan
syariah, terutama akibat shock
variabel makroekonomi. Dengan demikian, menjadi alasan yang rasional bagi
otoritas moneter dalam hal ini Bank Indonesia untuk memberikan support lebih terhadap keberlangsungan
keuangan dan perbankan syariah di Indonesia.
-
Pemerintah
diharapkan memiliki sistem pencatatan ekonomi –mikro maupun makro- yang baik,
sehingga indikator-indikator yang penting dapat digunakan dengan konsisten
untuk memprediksi krisis di masa yang akan datang.
-
Tulisan ini
tidak sedikit memiliki kekurangan, diantaranya adalah: perlunya data series yang
lebih panjang dalam observasi penelitian, ataupun penggunaan metodologi yang
lain, misalnya modifikasi metode multinomial logit. Sehingga hasil yang didapat
lebih presisif dalam mengukur deteksi dini krisis finansial di Indonesia.
DAFTAR
PUSTAKA
Anisak, Nurul
(2010), “Analisis Pengaruh Variabel Makroekonomi terhadap Stabilitas Perbankan
Ganda di Indonesia”, Jurnal Ekonomi Islam, Program Studi Ilmu Ekonomi Islam
STEI Tazkia, Edisi 1 Volume 1.
Arı, Ali dan Rüstem
Dağtekin. “Early Warning Signals of The 2000/2001 Turkish Financial Crisis”. MPRA Paper (No. 25857), Oktober 2008.
Ascarya (2011), “How
to Eradicate Inflation under Dual Monetary System: The Case of Indonesia”,
paper has presented in 8th International Conference on Tawhidi Methodology
Applied to Microenterprise Development, IEF-Trisakti, Jakarta 7-8 January 2011.
Asmy, Mohamed dan Ferdous Azam. “Will The
Islamic Financial System Fall Into The Financial Crisis Trap? Some Lessons to
be Learnt”. International Conference on Moral
Values and Financial Markets: Resilience of Islamic Dinance Against financial
Crisis, Milan, Italia. November 2010.
Badan Pusat Statistik. Jakarta. (www.bps.go.id)
Bank Indonesia. 2007. IMF dan Stabilitas Keuangan Internasional. Jakarta: PT Elex Media
Komputindo.
____________. Statistik Ekonomi dan Keuangan Indonesia Bank Indonesia.
Jakarta : Bank Indonesia
(www.bi.go.id)
____________. Statistik Perbankan Indonesia Bank Indonesia. Jakarta : Bank Indonesia
(www.bi.go.id)
____________. Statistik Perbankan Syariah Bank Indonesia. Jakarta
: Bank Indonesia (www.bi.go.id)
Barrel, Ray
et. al. “Bank regulation, Property
Prices and Early warning Systems for Banking Crises in OECD Countries”. 2010
Boyd et.
al. “Banking Crises and Crisis
Dating: Theory and Evidence”. IMF Workig
Paper, WP/09/141, Juli 2009.
Bucevska, Vesna.”An Analysis of Financial
Crisis by an Early Warning System Model: The Case of The EU Candidate
Countries”. Businesss and Economic
Horizons, Vol. 4 (No. 1), Januari 2011.
Caprio et.
al. “Banking Crises Database”, in Systemic
Financial Crises, P. Honahan and L. Laeven eds. , Cambridge University
Press, Cambridge, U.K. 2005
Demirgüç-Kunt &
Detragiache. “The Determinants
of Banking Crises: Evidence from Developing and Developed Countries”, IMF Staff Paper, Vol. 45 (No. 1), Maret
1998
Goldstein, Moris. “Assesing Financial
Vulnerability: An Early Warning System for Emerging Markets”.(2000)
Hadad, Muliaman D. et al, “Indikator Awal Krisis Perbankan”. Desember 2003.
Hagen, Jürgen von dan Tai-kuang Ho. “Money
Market Pressure and The Determinants of
Banking Crises”. Februari 2003.
Hardy, Daniel C. dan Ceyla Pazarbasioglu.
“Determinants and Leading Indicators of Banking Crises: Further Evidence”. IMF Staff Paper, Vol. 46 (No.3),
September 1999.
Hasanah, Heni (2007), Stabilitas Moneter
pada Sistem Perbankan Ganda di Indonesia, Skripsi pada Fakultas Ekonomi dan Manajemen Institut Pertanian Bogor: tidak diterbitkan.
Hatta, M. “Telaah Singkat Pengendalian Inflasi dalam
Perspektif Kebijakan Moneter Islam”, Paper,
Jurnal Ekonomi Ideologis. 2008
Imansyah, Muhammad Handry, Krisis Keuangan di Indonesia,
Dapatkah Diramalkan? Jakarta: Elex Media Komputindo, 2009
Imansyah, M. Handry dan Anggito Abimanyu (Ed),
Sistem Pendeteksian Dini Krisis Keuangan di Indonesia: Penerapan Berbagai Model
Ekonomi, Yogyakarta: BPFE UGM, 2008.
Kaminsky, Graciela et.al. “Leading Indicators of Currency Crises”. IMF Staff Paper, Vol. 45 (No. 1), Maret
1998.
Kemu, Suparman Zen dan Almizan Ulfa. “Model
Non-Parametrik Early Warning System (EWS) Sektor Keuangan Indonesia”. Jurnal Keuangan dan Moneter, Vol. 8 (No.
1), 2008.
Leaven, Luc
dan Valencia, “Systemic Banking Crises: A New Database”. IMF Working Paper, WP/08/224, November
2008.
Reinhart and Rogoff , “This Time Is Different:
A Panoramic View of Eight Centuries of Financial Crises”. NBER Working Paper #
13882, Maret 2008
Rusydiana, Aam Slamet (2009), “Determinan Inflasi
Indonesia: Perbandingan Pendekatan Islam dan Konvensional”, Journal of Islamic
Business and Economics (JIBE) Universitas Gadjah Mada, Volume 3 No. 1, Juni
2009.
Sachs, Jeffrey D. and Andreas Velasco. “Financial
Crises in Emerging Markets: The Lessons From 1995”. Brooking Papers on Economic Activity (No. 1), 1996.
Shen, Chung-Hua dan Meng-Fen Hsienh.
“Predicting of Bank Failures Using Combined Micro and Macro Data”. Februari
2003.
[1] Twin crisis adalah krisis yang terjadi apabila krisis perbankan
terjadi secara bersamaan dengan krisis nilai tukar dimana ketika
krisis perbankan terjadi pada tahun t dan krisis mata
uang pada tahun t-1 dan t+1
(Leaven dan Valencia, 2008)
[2] Triple crisis adalah krisis yang terjadi apabila krisis perbankan,
krisis nilai tukar, dan krisis utang luar negeri terjadi secara bersamaan
dimana ketika krisis perbankan terjadi pada tahun t , krisis mata uang pada [t-1, t+1] dan krisis pembayaran hutang
pemerintah pada [t-1, t+1]).
(Leaven dan Valencia, 2008)
[3] Suatu
kondisi dimana DPK lebih besar daripada kredit yang disalurkan.
[4] Self
Fullfiling Crisis adalah suatu keadaan yang terjadi dikarenakan keadaan
lemahnya struktur serta melemahnya daya saing ekspor akibat sistem keuangan
yang lemah dan
lambatnya peningkatan produksi buruh.
[5] Ascarya.
Sistem Keuangan dan Moneter Islam. 2007. Hlm 51
[7] Hal ini merupakan persyaratan
dalam regresi nonlinear dimana ketika à, maka
cenderung mendekati 0 dan ketika à, maka
meningkat tidak terbatas (Gujarati, 2003)
[8] Ordinary Least Square (OLS) ialah persamaan regresi linear yang
menggunakan persamaan kuadrat terkecil
[9] Jumlah untuk konstanta β dan
variabel X tidak terbatas, disesuaikan dengan jumlah variabel dependen yang
akan digunakan dalam penelitian
[10]
Fasilitas kredit perumahan yang diberikan kepada debitor lemah yang tidak lolos
kualifikasi pada kredit perumahan biasa (prime mortgage) sehingga resiko gagal
bayar debitor yang sangat tinggi. Sebitor diwajibkan menjaminkan sertifikat
rumah dan bebasn bunga yang lebih besar dibandingkan kredit perumahan biasa
(Hanri, 2008)
(Pemilik blog bertindak sebagai pembimbing 2 untuk skripsi a/n Hasna Maliha pada STEI Tazkia).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar