Abstraksi
The financial crisis repeatedly
struck various countries in the world by turns both developing and developed
countries. In fact, during the period of a modern economy such as now, its
intensity becomes more frequent and acute. Therefore, early detection system
crisis became an important presence in order to avoid the negative impact of the
crisis more severe.
This study tried to examine
indicators of anything that can be used as reference in predicting how likely
will the crisis in a country like Indonesia are dual banking by using binary
logistic regression method.
The results suggest an important
conclusion is interesting. First, Islamic banks tend to have problems with
liquidity (with evidence of significant FAR) while the conventional banks tend
to have problems with solvency (CAR significant). From this it can be concluded
that the new Islamic bank will be a crisis if the real sector disturbed. While
conventional banks will continue to flare up if there is disruption of the
financial crisis. Second, a significant M2RES related variables, both Islamic
and conventional models, then this could be a result of the enactment of fiat
money and fractional reserve banking system (FRBS). Though both of these is a
contributor to excess money supply is large enough. So it becomes a natural
thing to understand if the two models-both Islamic and conventional, have
similar conditions. As a consequence, the Islamic banking entity actually not
really going to be free from the adverse effects of financial crisis.
The third conclusion is no less
important is to depart from the fact that the interest rate (INTR) found
significant value in the conventional model, but not if he was on the model of
sharia, then it can be concluded that the policy rate as BI-rate is indeed very
effective instrument to control and influence Other monetary following
behaviors are also conventional banks. But on the other hand, it also indicates
that the conventional banking system is quite vulnerable to the volatility of
monetary and financial crisis. Thus, a rational reason for the monetary
authority in this Bank Indonesia to give more support to the sustainability of
Islamic banking and finance in Indonesia with the aim of achieving a stable
monetary conditions and optimal.
Kata
Kunci: Early Warning System, Krisis
Perbankan, Sistem Moneter Ganda, Regresi Logistik
BAB I. PENDAHULUAN
1.1
Latar
Belakang Masalah
Krisis finansial
berulang kali menerpa berbagai negara di dunia secara bergiliran baik negara
berkembang maupun negara maju. Menurut Luc Leaven dan Valencia (2008) selama
periode 1970 sampai dengan 2007 telah terjadi 429 krisis yang dibagi menjadi
124 krisis perbankan, 208 krisis nilai tukar, 63 krisis utang luar negeri, 26 twin crisis[3],
dan 8 triple crisis[4].
Sedangkan Boyd et. al (2009)
mengklasifikasikan krisis menurut masing-masing negara yang diambil berdasarkan
penelitian Kunt dan Detragiache (2005); Caprio et. al (2005); Reinhart dan Rogoff (2008); Laeven dan Valencia
(2008).
Fenomena krisis di Indonesia dan berdampak signifikan adalah yang terjadi
pada krisis moneter 1997-1998. Diantara dampak yang ditimbulkan bagi industri perbankan adalah ditutupnya 16
bank setelah terjadi rush
besar-besaran oleh nasabah bank tersebut sehingga kehilangan likuiditasnya.
Begitupun dengan inflasi yang melonjak menjadi 77,6%, pertumbuhan ekonomi yang
merosot hingga -13,2% (Hatta dalam Ascarya, 2008) dan juga depresiasi nilai tukar rupiah yang
mencapai angka Rp 10.000/dolar AS menyebabkan terjadinya krisis perbankan
karena bangkrutnya beberapa bank swasta yang gagal membayar pinjamannya dalam
bentuk mata uang asing (US Dollar). Krisis keuangan 1997 melanda
sebagian negara Asia lainnya, antara lain: Thailand, Malaysia, Singapura,
Philipina, Korea Selatan. Krisis ini tidak meluas ke bagian dunia yang lain.
Sedangkan krisis yang terjadi pada tahun 2007-2008 dimulai dari Amerika.
Berbeda dari krisis keuangan 1997 yang berdampak lokal, krisis 2008 meluas ke
hampir seluruh belahan dunia. Bursa saham berjatuhan. Perusahaan-perusahaan
keuangan multinasional bangkrut. Banyak
perusahaan di AS yang melakukan pengurangan pekerja. Akibat krisis keuangan di
AS, para investor portfolio di bursa saham menarik dananya. Akibatnya, bursa
saham jatuh dan kini nilai tukar mata uang Asia ikut jatuh pula. Nilai tukar
rupiah terhadap dolar sempat mencapai level Rp. 12.650 per dolar AS pada 24
Nopember 2008. Begitu pula dengan IHSG, pada periode yang sama mengalami
depresiasi sebesar 42%.
Grafik 1.1 Pergerakan
IHSG dan Kurs Rupiah
Sumber : Statistik Pasar Modal, 2008
dan Bank Indonesia (data diolah)
Namun
demikian, merosotnya nilai tukar rupiah tersebut terkadang hanya dimaknai oleh
sebagian besar masyarakat di Indonesia sebatas mereka terpaksa menunda
pembelian barang yang melonjak harganya. Kenaikan harga barang-barang ini pun
memicu angka inflasi hingga menyentuh 12,56% pada 2008.
Kaminsky et al. (2000)
menyatakan bahwa tidak ada krisis yang terjadi secara mendadak. Ancaman akan
datangnya krisis dapat dideteksi dengan melihat pergerakan indikator-indikator
perekonomian seperti posisi neraca pembayaran, pertumbuhan ekonomi, inflasi
nilai tukar, suku bunga, dan jumlah uang beredar. Krisis di sektor perbankan
ini berkaitan secara langsung maupun
tidak langsung dengan berbagai aktivitas yang biasa dilakukan oleh industri
perbankan. Oleh karena itu, secara umum permasalahan yang timbul pada industri
perbankan dapat berasal baik dari sisi internal maupun eksternal. Pada sisi
internal, permasalahan dapat terlihat dari perkembangan kinerja masing-masing
bank secara keseluruhan. Sementara itu, kondisi ekonomi makro dan perkembangan kinerja industri yang dibiayai
oleh kredit perbankan dapat menjadi indikator adanya gangguan dari faktor
eksternal.
Berdasarkan Laporan
Tahunan Bank Indonesia 2008, berbagai indikator bank umum relatif baik,
disertai ekspansi kredit yang mampu mendukung aktivitas ekonomi domestik yang
tumbuh cukup tinggi. Kecukupan modal masih terjaga meski sedikit menurun akibat
ekspansi kredit yang tinggi. Pertumbuhan kredit yang tinggi ternyata tidak
disertai dengan pertumbuhan DPK, sehingga menimbulkan risiko likuiditas di
beberapa bank, meskipun secara sistem likuiditas tetap mencukupi. Kecepatan
pertumbuhan kredit sebesar 29,5% tidak diimbangi dengan laju pertumbuhan DPK
yang tumbuh 16,1%. Kondisi ini menyebabkan shortage
of funds[5],
sehingga membuat likuiditas perbankan berkurang.
Sementara itu, kinerja
perbankan syariah relatif tidak terpengaruh imbas krisis global, sehingga
fungsi intermediasi berjalan optimal dengan tingkat pembiayaan bermasalah yang
relatif rendah dan senantiasa mendukung pembiayaan sektor riil. Pertumbuhan
aset dan pendanaan juga tercatat cukup tinggi. Di samping itu, eksposur
pembiayaan bank syariah yang masih didominasi oleh pembiayaan pada aktivitas
perekonomian domestik turut berperan dalam memperkuat daya tahan perbankan syariah dari
imbas krisis keuangan global.
Namun pada semester II
tahun 2008, laju pertumbuhan aset, DPK, dan pembiayaan yang disalurkan
mengalami perlambatan sebagai dampak menurunnya kondisi likuiditas bank dan
melambatnya aktivitas sektor riil yang mulai terimbas krisis keuangan global.
Meski demikian, penyaluran pembiayaan oleh perbankan syariah tetap tumbuh
tinggi, tidak terpengaruh krisis keuangan global. Hal ini dikarenakan karakter
pembiayaan yang harus dilandasi oleh transaksi riil, sehingga hal ini dapat
menegaskan semakin meningkatnya kontribusi perbankan syariah dalam pembiayaan
sektor riil.
Mengingat dampak yang
timbul akibat krisis sangat luas, yang juga disebabkan oleh ketidaksiapan suatu
negara dalam menghadapi krisis dari awal dan kemungkinan akan terjadinya krisis
serta bukti tidak adanya krisis yang terjadi mendadak maka diperlukan sistem peringatan dini (early warning system) krisis. Sejak saat itu, banyak ahli ekonomi
yang melakukan penelitian di berbagai belahan dunia untuk menciptakan model Early Warning System (EWS) dengan
menggunakan berbagai metode yang dianggap cocok untuk penelitiannya. Hal ini
dilakukan bertujuan untuk dapat mengantisipasi kedatangan krisis lebih awal
sehingga suatu negara tersebut dapat menyiapkan berbagai kebijakan untuk
mengurangi dampak krisis.
Namun, sayangnya hanya
sedikit yang melakukan studi untuk negara Indonesia secara khusus. Kebanyakan
penelitian tersebut menggunakan sampel regional atau beberapa negara tertentu.
Indonesia yang menerapkan sistem perbankan ganda sejak tahun 1998 menjadi
motivasi peneliti untuk membandingkan objek penelitian ini dalam dua tipe
perbankan yaitu konvensional dan syariah. Dengan demikian, penulis mencoba
meneliti indikator apa yang dapat dijadikan acuan dalam meramalkan seberapa
besar kemungkinan akan terjadinya krisis yang diklasifikasikan menjadi dua: Bank
Konvensional dan Bank Syariah.
1.2
Rumusan
Masalah
Melihat
fenomena krisis yang berdampak sangat
luas bagi perekonomian Indonesia tersebut, maka penelitian ini merumuskan
permasalahan berkaitan dengan faktor-faktor yang menjadi indikator terjadinya
krisis perbankan baik Industri Perbankan Syariah maupun Konvensional. Secara
khusus studi ini mencoba menjawab:
1.
Faktor-faktor apa sajakah yang dapat
dijadikan indikator awal dari krisis finansial bagi industri perbankan
Konvensional?
2.
Faktor-faktor apa sajakah yang dapat
dijadikan indikator awal dari krisis finansial bagi industri perbankan Syariah?
3.
Industri perbankan manakah yang memiliki
ketahanan yang lebih baik dalam menghadapi krisis?
1.3
Manfaat
Penelitian
Penelitian ini
diharapkan bisa memberikan manfaat, antara lain:
1.
Dapat menjadi bahan pertimbangangan bagi
para pelaku industri perbankan syariah dan konvensional, indikator makro yang
dapat digunakan sebagai informasi awal adanya potensi krisis perbankan sehingga
tindakan-tindakan pencegahan dapat dilakukan untuk mengurangi dampak krisis itu
sendiri.
2.
Dapat dijadikan bahan pertimbangan bagi
para praktisi yang terkait dengan perbankan syariah khususnya untuk merumuskan
strategi yang tepat yang dapat diterapkan dalam rangka meminimalisasi dampak
krisis perbankan dalam menjaga stabilitas perbankan syariah.
3.
Penelitian ini diharapkan juga dapat
dijadikan referensi bagi studi selanjutnya yang berkaitan dengan indikator awal
terjadinya krisis perbankan terutama bagi perbankan syariah.
BAB II. KAJIAN
PUSTAKA
2.1 Teori Krisis Finansial
Krisis
finansial adalah suatu kondisi di mana berbagai langkah pengendalian sudah
tidak lagi mampu menahan gejolak pada sektor finansial, yang akan segera
diikuti dengan kontraksi ekonomi secara menyeluruh (Prasetyantoko, 2008). Kaminsky et.al
(1997) mendefinisikan krisis sebagai suatu situasi di mana serangan pada
sistem nilai tukar menyebabkan depresi tajam
pada nilai tukar itu, atau bisa juga mengakibatkan penurunan drastis
dalam cadangan devisa asing atau bahkan kombinasi antar keduanya.
Secara
umum, krisis ekonomi dapat disebabkan oleh salah satu atau kombinasi dari
beberapa tipe krisis seperti krisis perbankan, krisis nilai tukar, krisis utang
luar negeri, krisis neraca pembayaran, krisis finansial, krisis moneter, stock market crash, bubble economy, dan hyperinflation.
Krisis ekonomi dapat memicu atau dipicu oleh krisis politik dan krisis sosial.
Krisis ekonomi dapat menyebabkan reaksi ekonomi yang pada akhirnya akan
menyebabkan stagnasi, resesi, depresi, pengangguran, kerugian, kelaparan,
kematian (Ascarya, 2008).
2.1.1
Krisis
Dalam Perspektif Konvensional
Krisis
finansial dalam perspektif konvensional dibagi menjadi empat tipe, yaitu krisis
nilai tukar, krisis perbankan, krisis utang luar negeri, dan stock market crash. Namun, pada kenyataannya, krisis tersebut dapat
terjadi secara bersamaan dua atau tiga tipe sekaligus.
1.
Krisis Nilai Tukar (Currency Crisis)
Krisis
nilai tukar atau krisis neraca pembayaran (Balance
of Payment Crisis/BOP) sering didefinisikan sebagai suatu peristiwa
terjadinya depresiasi nilai tukar mata uang suatu negara terhadap mata uang asing
biasanya Dollar Amerika, menurunnya cadangan devisa (foreign reserve), dan meningkatnya suku bunga berjangka pendek (short-term interest rate ) yang tidak
wajar (Goldstein et. al, 2000).
2.
Krisis Perbankan (Banking Crisis)
Krisis
perbankan didefinisikan melalui dua pendekatan, yaitu indikators-based dan events-based.
Beberapa instrumen indikators-based
adalah non-performing loan ratio
(rasio NPL), biaya operasi penyelamatan bank, dan kerugian modal bank.
Sementara events-based melihat krisis
dari terjadinya penarikan simpanan besar-besaran oleh nasabah (rush), penutupan bank, penggabungan
beberapa bank (merger), dan pengambilalihan oleh Pemerintah atau take
over bank-bank besar, dan intervensi pemerintah terhadap sektor keuangan
(Hadad, et al, 2008).
Kunt
dan Detragiache (1998) mendefinisikan krisis sebagai suatu
keadaan dimana salah satu kondisi berikut terpenuhi:
a)
Asset non performing mencapai 10% dari
total asset sistem perbankan;
b)
Biaya untuk menyelamatkan sistem perbankan
mencapai 2% dari PDB;
c)
Terjadi pengalihan kepemilikan bank-bank secara
besar-besaran kepada pemerintah; dan
d) Terjadi
“bank-run” yang meluas atau terdapat tindakan darurat yang dilakukan
pemerintah dalam bentuk pembekuan simpanan masyarakat, penutupan kantor-kantor
bank dalam jangka waktu yang cukup panjang, atau pemberlakuan penjaminan
simpanan yang menyeluruh.
Krisis perbankan juga cenderung timbul pada saat kondisi
makroekonomi yang memburuk. Dalam hal
ini, pertumbuhan PDB yang rendah sangat berkaitan dengan peningkatan risiko pada industri perbankan. Selain itu,
peningkatan risiko pada industri perbankan juga dapat berasal dari laju inflasi
yang tinggi dan upaya stabilisasi laju inflasi akan mengakibatkan peningkatan
tajam pada suku bunga riil yang pada
gilirannya meningkatkan kemungkinan terjadinya krisis perbankan (Hadad, et al,
2008).
3.
Krisis Utang Luar Negeri (Sovereign Debt Default)
Krisis
utang luar negeri biasanya terjadi karena negara tersebut gagal untuk membayar
utangnya kepada negara lain (utang bilateral) atau institusi internasional
(utang multilateral). Krisis utang luar negeri ini biasanya diikuti dengan
penjadwalan ulang pembayaran utang. Sebagai contoh krisis ini adalah krisis
utang di Polandia tahun 1980 dan di Meksiko pada tahun 1982 (Ascarya, 2008).
Baru-baru ini, krisis utang luar negeri tengah melanda negara Amerika dan
Eropa.
4.
Stock/Asset
Market Crash
Stock/Asset
Market Crash terjadi ketika harga saham atau aset finansial
lainnya melambung (overvalued) secara
drastis dalam waktu yang singkat (Ascarya, 2008). Leaven dan Valencia (2008)
menyebutkan bahwa krisis-krisis tersebut di atas dapat juga terjadi secara
bersamaan. Ketika krisis perbankan dan krisis nilai tukar terjadi secara
bersamaan atau saling picu-memicu maka
disebut sebagai twin crisis.
Sedangkan jika krisis perbankan, krisis nilai tukar, dan krisis utang luar
negeri terjadi secara bersamaan dan saling picu-memicu maka disebut sebagai triple crisis. Krisis finansial di
Indonesia yang terjadi pada tahun 1997 adalah salah satu contoh triple crisis karena merupakan kombinasi
dari krisis nilai tukar, krisis perbankan, stock
market crash, yang diikuti oleh krisis utang luar negeri pada tahun 1999
(Ascarya, 2009).
2.1.2
Krisis
Finansial dalam Perspektif Islam
Terjadinya krisis dalam Islam
tidak terlepas dari praktek-praktek atau aktivitas ekonomi yang dilakukan
bertentangan dengan nilai-nilai keislaman seperti tindakan mengonsumsi riba,
monopoli, korupsi, dan tindakan lain yang dilarang oleh Allah. Hal ini seperti
disebutkan Allah SWT dalam Surat Ar-Rum ayat 41 berikut:
ª tygsß ßŠ$|¡xÿø9$# ’Îû ÎhŽy9ø9$# Ìóst7ø9$#ur $yJÎ/ ôMt6|¡x. “ω÷ƒr& Ĩ$¨Z9$# Nßgs)ƒÉ‹ã‹Ï9 uÙ÷èt/ “Ï%©!$# (#qè=ÏHxå öNßg¯=yès9 tbqãèÅ_ötƒ ÇÍÊÈ
“Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan Karena
perbuatan tangan manusi, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari
(akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar)”.(QS. Ar-Rum: 41)
Melakukan praktek-praktek
ekonomi yang bertentangan dengan syariat Islam tersebut merupakan tindakan yang
tidak hanya merugikan diri sendiri tetapi juga merusak sendi-sendi kehidupan
ekonomi umat. Pelanggaran terhadap syariat Islam akan mengundang malapetaka
langsung atau tidak langsung dari Allah SWT. Krisis ekonomi merupakan salah
satu contoh malapetaka atau ujian Allah SWT terhadap makhluk-Nya yang telah
terlalu jauh melaksanakan aktivitas ekonomi melenceng dari ajaran Al-Quran dan
Sunnah seperti halnya melegalkan riba merajalela berlaku di tengah-tengah
masyarakat.
Menurut pakar ekonomi Islam,
penyebab utama krisis adalah kepincangan sektor moneter (keuangan) dan sektor
riil. Sektor keuangan berkembang pesat dan meninggalkan jauh sektor riil.
Tercerabutnya sektor moneter dari sektor riil terlihat nyata dalam bisnis
transaksi maya ( virtual transaction ) melalui transaksi derivatif
yang penuh riba. Transaksi maya di bursa saham dan pasar modal mencapai lebih
dari 95 persen dari seluruh transaksi dunia. Sementara transaksi di sektor riil
berupa perdagangan barang dan jasa hanya berkisar sekitar lima persen saja.
Dalam ekonomi Islam jumlah uang yang beredar sama banyaknya dengan nilai barang
dan jasa. Dengan kata lain sumber malapetaka ekonomi dunia adalah
praktik Maisir, Gharar dan Riba yang diharamkan. Maysir dalam
bentuk judi dan spekulasi. Gharar adalah transaksi maya, bisnis berisiko
tinggi. Riba adalah pencarian keuntungan tanpa transaksi bisnis riil.
Menurut Ascarya (2009), akar
utama penyebab terjadinya krisis adalah sistem ekonomi yang digunakan oleh
suatu negara yang terletak pada kesalahan penggunaan konsep ekonomi yang dipicu
oleh kegagalan perilaku manusia ekonomi yang serakah (greed), konsumtif (consumerism)
dan mencari kesenangan (hedonism).
Krisis-krisis yang terjadi dominan bersumber dari kekacauan di sektor
keuangannya. Hal ini merupakan akumulasi kesalahan konsep (sistem ekonomi) dan
perilaku manusia. Interaksi keduanya bermuara pada kewujudan krisis yang secara
reguler menghantam perekonomian dunia.
Oleh karena itu, terdapat
beberapa hal yang menjadi akar utama krisis dalam perspektif Islam yang
dikemukakan oleh Ascarya (2009), diantaranya adalah:
1.
Excess
Money Supply
Excess
money supply dapat disebabkan oleh penciptaan uang yang berlebihan dan
penciptaan daya beli semu. Penciptaan uang yang berlebihan dapat melalui
pencetakan uang kartal (seigniorage)[6] dan penciptaan uang
giral/uang bank (money multiplier),
sedangkan penciptaan daya beli semu dapat melalui kartu kredit. Excess money supply terbukti merupakan
salah satu determinan utama inflasi di hampir semua negara, termasuk Indonesia
(Ascarya, 2008).
Perbankan
dengan fractional reserve banking system-nya
ternyata dapat menciptakan uang berlipat-lipat tanpa perlu adanya aset yang
mem-backup-nya. Kartu kredit pada dasarnya adalah sebagai alat pencipta daya
beli yang instan bagi pemegangnya. Dengan berbagai kemudahan dari kartu kredit
menyebabkan hutang kartu kredit semakin tinggi dan membengkak dengan cepat.
Pada akhirnya kredit macet dari kartu kredit ini memicu terjadinya krisis.
2.
Spekulasi
Ascarya
(2009) menyatakan bahwa kegiatan
spekulasi pada hakikatnya merupakan zero-sum
game[7]
yang mendorong perilaku risk shifting
yang tidak menghasilkan nilai tambah riil yang berbeda dengan risk sharing pada kegiatan investasi
sektor riil yang dapat menghasilkan nilai tambah riil. Spekulasi di pasar modal
dan pasar uang terjadi ketika pemodal mengharapkan keuntungan sesaat dari capital
gain, short‐selling,
penyalah‐gunaan hedging, derivatives,
dan sejenisnya. Spekulasi merupakan zero‐sum game (you
lose what I gain) sehingga tidak ada nilai tambah dalam perekonomian,
seperti yang dihasilkan dalam kegiatan perdagangan atau usaha yang berdasar risk
sharing.
Para
spekulator sebenarnya menyadari bahwa capital
gain yang dapat diraih dalam transaksi spekulatif tidak akan dapat dicapai
dalam jangka pendek dan menyadari bahwa biaya bunga atas pinjaman mereka akan
semakin meningkat. Pada akhirnya, konsekuensi lebih lanjut adalah terjadinya
lingkaran tidak berujung dari penjualan aset, penurunan harga aset, dan
penutupan bank. Spekulator yang berhasil memperoleh uang dengan cepat mungkin
menyukai kondisi jatuh bangun yang telah mempengaruhi perekonomian dan
proyek-proyek jangka pendek yang kadang-kadang menguntungkan pemilik dana yang meminta agunan dan memiliki
likuiditas. Tetapi, jenis kegiatan ini
tidak terlalu mendorong pembentukan industri yang mampu menyediakan
peluang kerja dan nilai tambah yang stabil dalam jangka panjang (El-Diwany,
2005). Aksi spekulasi inilah yang menjadi
penyebab utama krisis generasi kedua yang dialami oleh Meksiko.
3.
Riba (Interest)
Islam
telah mengharamkan riba untuk dipraktekkan dalam kegiatan ekonomi ummatnya. Hal
ini pula yang membedakan antara sistem ekonomi Islam dan sistem ekonomi konvensional.
Pelarangan riba bukanlah dilakukan tanpa
alasan yang tidak jelas. Adapun alasan diharamkannya riba adalah sebagai
berikut:
a.
Sistem ekonomi ribawi telah menimbulkan
ketidakadilan dalam masyarakat terutama bagi pemberi modal (bank) yang pasti
menerima keuntungan tanpa peduli apakah para peminjam dana (nasabah) tersebut
memperoleh untung atau rugi. Hal ini bertentangan dengan prinsip ekonomi Islam
yang menjunjung tinggi nilai keadilan. Apabila nasabah tersebut mengalami
keuntungan, maka ketidakadilan mungkin tidak terjadi, namun bila usaha yang
dilakukan nasabah mengalami kerugian bahkan bangkrut, para peminjam tersebut
harus membayar kembali modal yang dipinjam ditambah bunga pinjamannya. Hal ini
merupakan suatu bentuk ketidakadilan bagi masyarakat sebagai nasabah.
b.
Sistem ekonomi ribawi juga menyebabkan
ketidakseimbangan antara pemilik modal dengan peminjam. Keuntungan besar
yang diperoleh para peminjam yang
biasanya terdiri dari golongan industri
raksasa (para konglomerat) hanya diharuskan membayar pinjaman modal
mereka plus bunga pinjaman dalam jumlah yang relatif kecil dibandingkan dengan
milyaran keuntungan yang mereka peroleh. Padahal para penyimpan uang di
bank-bank adalah umumnya terdiri dari
rakyat menengah ke bawah. Ini berarti bahwa keuntungan besar yang
diterima para konglomerat dari hasil uang
pinjamannya tidaklah setimpal dirasakan oleh para pemberi modal (para penyimpan
uang di bank) yang umumnya terdiri dari masyarakat menengah ke bawah.
c.
Sistem ekonomi ribawi akan menghambat investasi
karena semakin tingginya tingkat bunga
dalam masyarakat, maka semakin kecil kecenderungan masyarakat untuk berinvestasi. Masyarakat
akan lebih cenderung untuk menyimpan
uangnya di bank-bank karena keuntungan yang lebih besar diperolehi akibat tingginya tingkat bunga.
Semakin tinggi tingkat bunga maka semakin besar
kemungkinan aliran investasi terbendung. Dengan pelarangan riba, dinding yang
membatasi aliran investasi tidak ada sehingga alirannya lancar tanpa halangan.
Hal ini terlihat jelas pada saat Indonesia dilanda krisis keuangan dan
perbankan pada tahun 1997-1998. Pada saat itu suku bunga perbankan melambung
sangat tinggi mencapai 60%. Dengan suku bunga setinggi itu bisa dikatakan
hampir tidak ada orang yang berani meminjam ke bank untuk investasi (Ascarya,
2007).
Berbeda dengan ekonomi Islam yang menawarkan konsep bagi hasil (profit loss sharing) yang merupakan nisbah (persentase bagi hasil) yang besarnya
ditetapkan di awal transaksi transaksi yang bersifat fixed tetapi nilai nominal rupiahnya belum diketahui dengan pasti
melainkan melihat laba rugi yang akan terjadi nanti[8]. Ketika keuntungan yang
didapatkan, maka nasabah akan membayar tingkat presentase bagi hasil yang telah
disepakati. Ketika kondisinya impas maka tidak ada pembayaran dan ketika
mengalami kerugian maka kerugian tersebut akan dibagi bersama antara nasabah
dan pihak bank. Sistem syariah ini menunjukkan suatu keadaan dimana tidak ada pihak yang
diperlakukan tidak adil. Risiko yang merupakan kondisi yang belum pasti akan
datang ditanggung bersama dan apabila mengalami keuntungan besarpun dibagi
bersama sesuai kesepatan bersama di awal (Ascarya, 2007).
4.
Sistem Moneter Internasional
Sistem moneter Internasional saat ini
berlandaskan pada fiat money (uang kertas) masing-masing negara yang
nilainya mengambang bebas dan tidak di back‐up oleh
aset riil apapun. Oleh karenanya, setiap negara memperoleh keuntungan dari pencetakan
uang (seigniorage) dengan korban semua rakyat pemegang uang tersebut
yang daya belinya terus menurun (inflasi). Lebih beruntung lagi negara besar
yang mata uangnya menjadi mata uang perdagangan dunia, khususnya dolar Amerika.
Negara Amerika menikmati seigniorage yang luar biasa besar dari
penggunaan uang dolar‐nya di dalam negeri dan
di luar negeri. Keadaan ini menyebabkan inflasi yang persisten dan ketidak‐adilan, terutama bagi negara‐negara kecil, miskin, dan mata uangnya tidak ‘convertible’
(Ascarya, 2009).
2.2 Early
Warning System Krisis Finansial
Early Warning System (EWS) adalah sebuah model yang berguna untuk
memprediksi peluang dan waktu terjadinya krisis. Menurut Kaminsky et al (1998), EWS adalah model yang bertujuan untuk melihat
berbagai indikator ekonomi dan dan keuangan sebagai tanda sebuah krisis akan
terjadi dalam waktu yang relatif
dekat yaitu 18 bulan sampai 24 bulan.
Ada beberapa pendekatan model
dalam menentukan kemungkinan terjadinya krisis. Berikut adalah model dalam menentukan model leading indikator terhadap kemungkinan
terjadinya krisis finansial, yaitu:
1)
Pendekatan Sinyal
Model
ini membandingkan indikator-indikator ketika periode sebelum krisis (tranquil) dengan periode krisis yang
teridentifikasi. Indikator tersebut dipilih berdasarkan perubahan perilaku
indikator antara periode normal dengan periode krisis yang menunjukkan “sinyal”
krisis yang dapat dipercaya. Goldstein et.
al (2000), melakukan pendekatan sinyal melalui lima tahapan, yaitu; (1)
menentukan episode terjadinya krisis, (2) memilih indikator utama (leading indikator) sebagai prediktor,
(3) mengatur nilai ambang batas (treshold)
untuk leading indikators yang
dipilih, (4) mengonstruksi indeks komposit (composite
index), dan (5) memprediksi krisis.
Model
ini memakai berbagai indikator secara bersama untuk memberikan sinyal pada
periode krisis. Dengan demikian kadang data yang dibutuhkan menjadi terlalu
banyak sehingga menjadi faktor pengganggu bila indikator tersebut tidak memberi
sinyal. Semua indikator yang baik akan dipilih untuk menentukan indeks
komposit.
Model
ini pertama dikembangkan oleh Kaminsky, Lizondo, dan Reinhart (disingkat KRL,
1997 dan 1998) yang
menitikberatkan pada monitoring sejumlah indikator (15 indikator). Selain itu
juga dilakukan oleh Goldstein, Kaminsky, dan Reinhart (GKR, 2000). Sedangkan untuk kasus di Indonesia
dilakukan oleh Imansyah dan Abimanyu
(2008), Florencia (2011) dan Kemu (2005).
2)
Pendekatan Ekonometrik
Dalam
pendekatan ekonometrik umumnya menggunakan model probit atau logit. Pendekatan
ini membuat estimasi tentang peluang terjadinya krisis keuangan dengan
menggunakan variabel dependen diskret dalam model ekonometriknya. Model logit
atau probit menggunakan variabel dependen kualitatif sebagai variabel diskret
yang bernilai 1 dan 0. Sedangkan variabel independennya bersifat non diskret.
Keunggulan
model logit ini dibandingkan dengan model signal adalah hasil perhitungan dari
setiap variabel langsung memberikan kontribusi dalam perhitungan probabilitas
terjadinya krisis keuangan. Sedangkan kelemahan model logit ini adalah tidak
dapat menangkap semua informasi variabel. Artinya, kemampuan dalam memberikan
signal untuk setiap variabel tidak dapat dilihat dalam model ini.
2.3
Penelitian
Terdahulu
Penelitian yang berkaitan
dengan indikator terjadinya sebuah krisis khususnya krisis perbankan telah
banyak dilakukan. Beberapa studi tersebut antara lain, Kunt & Detragiache
(1998), Shen & Hsienh (2003), Hadad et.
al (2003), Ali (2007), Boyd et. al (2009),
Barrel (2010), dan Bucevka (2011).
Dalam penelitian berjudul The
Determinants of Banking Crises in Developing and Developed Countries, Kunt
& Detragiace (1998) menjelaskan mengenai faktor-faktor yang menentukan
terjadinya krisis perbankan. Faktor-faktor tersebut diataranya adalah faktor
makroekonomi (growth, perubahan TOT (Term of Trade), depresiasi, real
interest rates, tingkat inflasi, surplus budget terhadap GDP), finansial
(rasio M2 terhadap cadangan devisa, rasio bank cash dan reserves
terhadap bank assets, pertumbuhan kredit) dan institusional.
Chung-Hua Shen dan Meng-Fen
Hsienh (2003) dalam penelitiannya mengombinasikan pendekatan makro dan mikro
sebagai modifikasi dalam early warning
system untuk memonitor kemungkinan perbankan terkena krisis. Hasil dari
penelitian tersebut adalah; (a) Indikator mikro yang kuat adalah non-interest
expenses/total assets dan ROA, sedangkan indikator mikro yang rentan terhadap
kegagalan perbankan adalah ekuitas yang melebihi total aset, (b) Indikator NPL
yang secara khas dipercaya bermanfaat sebagai indikator kegagalan perbankan,
ternyata tidak informatif bagi pihak luar. (c) Indikator makro yang dapat
dijadikan indikator kuat adalah tingkat pertumbuhan GDP dan Exchange Rate,
sedangkan indikator yang lemah adalah kredit perbankan dan Utang Luar Negeri
Jangka Pendek. M2/FR ternyata tidak memberikan kontribusi meskipun studi lain
menyatakan indikator tersebut berpengaruh.
Sementara itu Hadad, Santoso,
dan Arianto (2003) menjelaskan setidaknya terdapat enam indikator untuk melihat
potensi krisis perbankan, diantaranya adalah: GDP riil yang melambat, konsumsi
swasta yang melambat, penurunan tingkat investasi, depresiasi yang tajam pada
nilai tukar, pemberian kredit kepada sektor swasta yang semakin intensif, dan
penurunan jumlah simpanan yang berkelanjutan.
Barrel, Davis, Karim, dan Liadze
(2010) dalam penelitiannya pada 2007 menyimpulkan; (a) CAR perbankan,
Liquiditas Perbankan dan harga Properti memiliki dampak yang signifikan dalam
menentukan tingkat kemungkinan krisis
perbankan terjadi dan variabel ini lebih tradisional dibandingkan GDP Growth,
Inflasi, dan Real Interest Rate. Oleh karena itu, model ini dapat digunakan
untuk mendeteksi kemungkinan terjadinya krisis perbankan. (b) CAR yang tinggi
diiringi rasio likuiditas mampu mengindikasiskan kemungkinan terjadinya krisis
perbankan, berimplikasi jangka panjang untuk menutup kerugian dari biaya yang
ditentukan oleh peraturan.
Sementara Vesna Bucevska
(2011) menghasilkan penelitian dengan kesimpulan sebagai berikut; (a) DEBT,
LOANS, dan DEPOSITS adalah tiga
indikator utama Early Warning Sistem
dalam pemprediksi krisis finansial di Kroasia, Macedonia, dan Turki. Selain itu
REER, Defisit Current Account, Defisit Fiskal, dan PORTFOLICHANGE secara
statistik sangat berpengaruh signifikan dalam krisis keuangan di negara-negara
Uni Eropa. (b) Negara-negara EU harus mengurangi utang luar negeri yang
berkaitan dengan GNP dan secara kontinyu menganalisis dan memonitor lebih dekat
proses finansial di negaranya untuk mengantisipasi terjadinya krisis yang sama.
Penelitian lainnya dilakukan
oleh Ascarya (2009) dengan judul Lessons
Learned from Repeated Finansial Crises: An Islamic Economic Perspective.
Penelitian ini membandingkan kontribusi sistem moneter konvensional (fiat money, Fractional reserves banking system,
dan interest) dengan sistem
moneter Islam (gold money, 100% reserves banking sistem, dan PLS). Dengan
menggunakan metodologi VAR/VECM, variabel dependen yang digunakan adalah
Inflasi (INF). Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa sistem moneter
konvensional berkontribusi besar terhadap terjadinya krisis sebesar 66,6%
(excess money supply 2,8%; interest rate 45,2%; dan exchange rate 18,6%).
Sedangkan sistem moneter Islam hanya
berkontribusi sebesar 3,4% saja terhadap krisis yaitu just money supply 0,7%;
PLS Return 2,5%; dan single global currency 0,2%. Hal ini menunjukkan bahwa
dengan menggunakan sistem moneter Islam, akan mampu meminimalkan probabilitas
krisis finansial di Indonesia.
Muhammad Handry Imansyah
(2004) dalam penelitiannya menyimpulkan bahwa variabel yang penting untuk
menentukan kemungkinan terjadinya krisis adalah Ekspor, Nilai tukar riil, rasio
defisit fiskal terhadap PDB dan harga minyak dunia. Model yang dikembangkannya
mampu meramalkan krisis 1998 dan krisis yang terjadi pada masa datang yaitu
krisis mini tahun 2005 dan krisis yang terjadi tahun 2008.
Dari uraian diatas, maka
dapat disimpulkan bahwa suatu krisis dapat diindikasikan melalui faktor mikro
(perbankan) dan faktor makro (makroekonomi). Kunt (1998), Shen (2003) Hadad at. al (2003), Boyd et. al (2009), dan Barrel (2010) menyebutkan bahwa faktor
pertumbuhan GDP menjadi indikator makroekonomi yang paling penting dalam
mengindikasikan kemungkinan terjadi krisis. Selain itu, inflasi, Exchange Rate,
Interest Rate, dan Investasi dapat pula dijadikan indikator kemungkinan
terjadinya krisis. Sedangkan indikator mikro ditentukan oleh kredit yang
disalurkan perbankan (Hadad, 2003; Ali, 2008; dan Bucevka, 2011). Adapun Kunt (1998) dan Boyd et al (2009) menyebutkan
bahwa interest rate dapat menyebabkan krisis perbankan menjadi sistemik.
BAB
III. METODE PENELITIAN
3.1
Jenis
dan Sumber Data
Metode yang digunakan
dalam penelitian ini adalah Regresi Logistik Biner (Regresi Model Logit) dimana
variabel dependennya adalah berupa nilai kategorik (0 dan 1). Data yang
digunakan dalam penelitian ini secara keseluruhan merupakan data sekunder yang
diambil dari sumber resmi dalam bentuk bulanan pada periode waktu Januari 2004
sampai dengan April 2011. Untuk data perbankan syariah diperoleh dari Statistik
Perbankan Syariah Bank Indonesia (SPS-BI) dan data perbankan konvensional
diperoleh dari Statistik Perbankan Indonesia Bank Indonesia (SPI-BI). Sedangkan
data makroekonomi diperoleh dari Statistik Ekonomi dan Moneter Indonesia Bank
Indonesia (SEKI-BI), Badan Pusat Statistik (BPS) dan International Financial
Statistics (IFS).
3.2
Persamaan
Umum dan Variabel Penelitian
Dengan
menggunakan model regresi logistik, persamaan umum yang digunakan dalam
penelitian ini dibuat dalam empat model persamaan penelitian yang merupakan
persamaan dengan satu variabel tidak bebas (dependen) dan multivariabel bebas
(independen) yang dapat ditulis sebagai berikut:
Tabel
3.1 Persamaan Model Penelitian
Model 1:
|
|
Model 2:
|
|
Model 3:
|
|
Model 4:
|
|
Pada penelitian ini
sebagai variabel dependen adalah Crisis Severe Distress (CSD). Nilai CSD
diperoleh dari kategori krisis yang dikembangkan oleh Kaminsky, Lizondo, dan
Reinhart (KLR) yang menggunakan penghitungan EMP dengan pembobotan tingkat
pertumbuhan REER, selisih tingkat suku bunga dalam negeri pada rentang satu
periode, dan tingkat pertumbuhan cadangan devisa nasional. Secara matematis
persamaan tersebut dapat ditulis sebagai berikut:
Adapun
variabel independen yang digunakan dalam penelitian ini adalah: Loan to Asset Ratio (LAR) untuk
konvensional dan Financing to Asset Ratio
(FAR) untuk syariah, CAR
(Capital
Adequacy Ratio),
Inflasi (INFL),
BI Rate (INTR), Indeks Produk Industri (IPI),
Pertumbuhan Ekspor (EXPG),
Rasio M2 terhadap Cadangan Devisa
(M2RES), Nilai Tukar Riil (REER), Sertifikat Bank
Indonesia (SBI) dan Sertifikat Bank Indonesia Syariah (SBIS).
3.3
Metode
Pengolahan Data
Sebagaimana dalam regresi linear, model umum dari regresi
logistik ganda (Logit) adalah model regresi ganda yaitu model yang melibatkan
lebih dari satu prediktor/variabel independen. Model logit secara sederhana didefinisikan
sebagai model regresi non-linear yang menghasilkan persamaan dimana variabel
dependen bersifat kategorikal.
Kategori paling mendasar dari model tersebut menghasilkan binary values seperti angka 0 dan 1. Angka ini mewakilkan suatu
kategori tertentu yang dihasilkan dari penghitungan probabilitas terjadinya
kategori tersebut (Winarno, 2009).
Gujarati (2003) menyebutkan bahwa model logit seringkali digunakan dalam
data klasifikasi. Pendekatan model logit digunakan karena dapat menjelaskan
hubungan antara x dan p (x) yang bersifat tidak linear, ketidaknormalan sebaran dari Y, dan
keragaman respon tidak konstan yang tidak dapat dijelaskan oleh model linear
biasa.
Adapun persamaan regresi untuk model logit diperoleh dari penurunan
persamaan probabilitas dari kategori-kategori yang akan diestimasi. Persamaan
probabilitas tersebut adalah:
(3.1)
Persamaan tersebut dapat disederhanakan dengan
mengasumsikan
adalah
, sehingga
menghasilkan persamaan berikut:
(3.2)
Pada persamaan (3.2) tersebut dapat terlihat bahwa
berada dalam kisaran
hingga +
dan
berada dalam kisaran 0 hingga 1 dimana
memiliki hubungan nonlinear terhadap
Nonlinearitas
dalam
tidak hanya terhadap X, namun juga terhadap β.
Hal ini menimbulkan permasalahan estimasi sehingga prosedur regresi ordinary least square (OLS) tidak dapat
dilakukan. Solusi dari permasalahan tersebut adalah dengan melinearkan
persamaan (3.1) dengan menerapkan logaritma natural pada kategori 0 seperti
pada persamaan berikut:
(3.3)
Persamaan
tersebut dapat disubstitusi dengan persamaan (3.2) menjadi:
(3.4)
Persamaan
disebut juga dengan rasio kecenderungan (odds ratio) terjadinya kategori dengan
nilai 1, dalam hal ini adalah terjadinya krisis. Apabila
bernilai 0,9
maka kecenderungan terjadinya krisis mata uang semakin besar. Semakin nilainya
mendekati 1 maka semakin besar pula kecenderungan akan terjadinya krisis.
Dalam penelitian yang menggunakan analisis regresi logistik terdapat beberapa
pengujian yang harus dilewati yaitu diantaranya: Hosmer and Lemeshow Goodness
of Fit, Uji Signifikansi Parsial, Multikolinearitas dan Uji Koefisien
Determinasi.
BAB
IV. PEMBAHASAN
4.1
Profil Data
Data yang digunakan
dalam penelitian ini adalah dana nilai Crisis Severe Distress (CSD) yang
diperoleh dari nilai EMPI dengan kriteria apabila nilai EMPI melebihi dua kali
standar deviasi ditambah rata-ratanya berarti krisis (1) dan apabila kurang
dari dua kali standar deviasi ditmbah rata-ratanya berarti tidak krisis (0).
Data lainnya adalah Rasio likuiditas (LAR dan FAR), Rasio Solvabilitas (VARK
dan CARS), tingkat suku bunga atau BI Rate (INTR), tingkat inflasi (INFL),
pertumbuhan pendapatan nasional yang diproksikan dengan pertumbuhan Industrial Priduct Index (IPIG), dan
pertumbuhan Ekspor (EXPG) dari bulan Januari 2004 hingga April 2011.
4.2
Periode Krisis di Indonesia
Berdasarkan perhitungan,
periode krisis yang dialami Indonesia terjadi pada bulan Agustus 2005, Oktober
2008, dan November 2008. Secara ringkas, periode-periode tersebut dapat dilihat
sebagai berikut:
Grafik
4.1 Pergerakan Nilai Tukar Riil Rp/USD dan EMPI
Sumber: IFS dan BI (Data Diolah)
Untuk memeriksa apakah
penetuan periode krisis ini sudah sesuai dengan apa yang telah terjadi di dunia
nyatanya, maka akan dilakukan tinjauan historik untuk masing-masing periode
krisis tersebut. Berdasarkan perhitungan EMPI tersebut maka batasan (tresshold) antara krisis dan tidak
krisis adalah 0,59. Pada Agustus 2005 nilai EMPI-nya adalah 0,89. Pada periode
ini nilai tukar rupiah melemah hampir menyentuh level Rp.11.000 per 1 dolar AS.
Hal ini diindikasikan karena lambatnya BI menahan penurunan tingkat bunga di
tengah membanjirnya likuiditas di pasar sementara di sisi lain Pemerintah
lamban dalam mengambil kebijakan penurunan subsidi BBM domestik sehingga
subsidi membengkak karena kenaikan harga minyak dunia (Imansyah, 2009).
Sedangkan krisis yang
terjadi pada bulan September dan Oktober 2008, diakibatkan oleh krisis subprime
mortgage[10] di Amerika Serikat yang berdampak pada
perbankan Indonesia. Meski demikian, jika dilihat dari sisi fundamental
ekonomi, sebenarnya dapat dikatakan bahwa kondisinya masih relatif kuat yang
dicirikan oleh NPL yang lebih kecil daripada 5% yang menunjukkan masih sehatnya
sistem intermediasi perbankan, LDR yang lebiih kecil dari 80 % menunjukkan
masih cukupnya likuiditas, CAR sekitar 16% (Oktober 2008) yang menunjukkan
masih kuatnya permodalan bank. Pada periode ini inflasi mencapai 11% dan
tingkat suku bunga kebijakan naik menjadi 9,5%. Nilai tukar yang melemah
sehingga rupiah tembus lebih dari Rp. 12.000/USD (Oktober 2008). Hal ini
menunjukkan nilai tukar riil yang overvalued sehingga berdampak pad
meningkatnya probabilitas krisis keuangan sekaligus melemahkan daya saing di
pasar internasional yang juga dapat terlihat dari pelambatan pertumbuhan ekspor
yang mengalami penurunan sebesar 12%. Cadangan devisa pun mengalami penurunan
sebesar 6.199 USD atau sekitar 7%.
4.3.1
Analisis Statistik Model Konvensional
a.
Menilai
Keseluruhan Model (Overall Fit Model)
Langkah pertama adalah menilai overall fit model terhadap data. Adapun kriteria pengambilan
keputusan adalah tolak H0 jika nilai -2 Log Likelihood > tabel
Chi Square pada derajat bebas (df) = N-1, N adalah jumlah parameter dalam
model. Tingkat kepercayaan yang digunakan penulis dalam penelitian ini
adalah 90% atau dengan kata lain taraf
signifikansi α adalah 10%.
Nilai
-2 Log Likelihood pada Beginning Block yang dibandingkan dengan nilai Chi
Square pada tabel dengan df sebesar N – 1 = 88 – 1 = 87 pada taraf signifikansi
0,1 terlihat bahwa -2 Log Likelihood < Chi Square tabel. Hal ini berarti
keputusan yang diambil adalah terima H0 yang menunjukkan bahwa pada
keempat model konvensional tersebut tidak terdapat perbedaan yang signifikan
antara model dengan konstanta. Nilai -2 Log Likelihood < Chi Square tabel
yang menunjukkan bahwa model dengan memasukkan variabel bebas adalah fit dengan
data, sehingga layak untuk digunakan.
b.
Hosmer and Lemeshow Goodness of Fit Test
Hosmer and
Lemeshow Goodness of Fit Test bertujuan untuk melihat apakah data empiris cocok
dengan model (tidak ada perbedaan antara model dengan data sehingga model dapat
dikatakan fit). Berdasarkan hasil perhitungan, terlihat bahwa nilai
signifikansi sebesar 1,000 dan 0.996 adalah lebih besar dari 0,1 yang menunjukkan bahwa keempat model
dapat diterima dan pengujian hipotesis dapat dilakukan.
Tabel
4.1 Hasil Uji Hosmer
and Lemeshow Goodness of Fit
Hosmer
& Lemeshow
|
||
Chi Square
|
Sign
|
|
Model 1
|
0.604
|
1
|
Model 2
|
0.512
|
1
|
Model 3
|
0.222
|
1
|
Model 4
|
1.260
|
0.996
|
c.
Uji
Koefisien Determinasi
Untuk melihat kemampuan variabel bebas dalam
menjelaskan varians Crisis Severe Distress digunakan nilai Cox & Snell R
Square dan Nagelkerke R Square. Nilai Nagelkerke R Square yang lebih besar
daripada Cox & Snell R Square, menunjukkan kemampuan kelima variabel bebas
dalam menjelaskan varians Crisis Severe Distress dan sisanya terdapat faktor
lain yang menjelaskan varians CSD.
Tabel 4.2 Hasil Uji
Koefisien Determinasi
Koefisien
Determinasi
|
||
Cox & Snell
|
Nagelkerke
|
|
Model 1
|
0.149
|
0.577
|
Model 2
|
0.157
|
0.609
|
Model 3
|
0.387
|
0.675
|
Model 4
|
0.387
|
0.675
|
Dari keempat model di atas, dapat disimpulkan bahwa
nilai Nagelkerke R Square yang berada antara 0.577 hingga 0.675 menunjukkan
kemampuan masing-masing variabel bebas dalam menjelaskan varians Crisis Severe
Distress dan sisanya terdapat faktor lain di luar model. Penghitungan lain yang
lebih baik untuk mengetahui seberapa baik variabel-variabel independen
menjelaskan variabel dependen adalah dengan melihat nilai overall percentage yang merupakan perbandingan antara jumlah
prediksi yang tepat dengan jumlah seluruh observasi pada Classification Table. Jumlah observasi yang tepat adalah ketika
terdapat peringatan akan terjadinya krisis diikuti dengan terjadinya krisis dan
ketika tidak terdapat peringatan akan terjadinya krisis diikuti dengan tidak
terjadinya krisis.
Tabel 4.3 Hasil Uji
Fitting Model
Ketepatan
Model
|
|||
B/A+B
|
C/C=D
|
D/A+B+C
|
|
Model 1
|
98.8
|
66.7
|
97.7
|
Model 2
|
98.8
|
66.7
|
97.7
|
Model 3
|
98.8
|
66.7
|
97.7
|
Model 4
|
98.8
|
33.3
|
96.6
|
*Tanda cetak tebal menunjukkan nilai overall
percentage
Pada model pertama, berdasarkan hasil estimasi,
sampel yang tidak mengalami krisis (0)
adalah sebayak 85 periode. Hasil prediksi model pada tabel di atas adalah 84
periode tidak terjadi krisis (0) dan 1 periode
terjadi krisis. Berarti terdapat 1 prediksi yang salah sehingga prediksi
yang benar adalah sebanyak 84/85 = 98,8%. Sedangkan untuk periode terjadi
krisis (1) dari 3 sampel hanya 1 periode yang diprediksi tidak sesuai oleh
model penelitian sehingga kebenaran model untuk periode terjadinya krisis
adalah sebesar 2/3 = 66,7%. Dengan demikian model pertama tersebut memberikan
nilai overall percentage sebesar (84 + 2)/88 =97,7% yang berarti ketepatan
model penelitian ini adalah sebesar 97,7%. Demikian pula berturut-turut model
2, 3 dan 4 yang memiliki nilai overall percentage di kisaran 97.7% dan 96.6%.
d.
Uji
Multikolinearitas
Multikolinearitas dalam perangkat SPSS dapat dilihat
dengan perintah VIF, Tolerance, dan matriks kolerasi. Pada hasil regresi logit
dalam penelitian ini seluruh variabel disimpulkan tidak ada adanya
multikolinearitas antar variabel. Variabel yang menyebabkan multikolinearitas
dapat dilihat dari nilai tolerance yang lebih kecil dari 0,1 atau nilai VIF
yang lebih besar dari nilai 10. Hal tersebut juga didukung dengan nilai 1/VIF
yang tidak kurang dari 0,1. Berdasarkan hasil penghitungan, nilai VIF
masing-masing variabel tidak ada yang melebihi angka 10, hal tersebut diperkuat
dengan nilai 1/VIF dan Tolerance yang nilainya lebih dari 0,1. Sehingga, dapat
disimpulkan keempat model tersebut tidak memiliki gangguan multikolinieritas.
4.3.2
Analisis
Statistik Model Syariah
a.
Menilai
Keseluruhan Model (Overall Fit Model)
Langkah pertama adalah menilai overall fit model
terhadap data. Untuk model syariah, nilai -2 Log Likelihood pada Beginning
Block adalah sebesar 26,169 pada iterasi ke-6. Nilai tersebut merupakan nilai
Chi Square yang dibandingkan dengan nilai Chi Square pada tabel dengan df
sebesar N – 1 = 88 – 1 = 87 pada taraf signifikansi 0,1 yaitu sebesar 104,750
tampak bahwa -2 Log Likelihood < Chi Square tabel (26,169 < 104,750). Hal
ini berarti keputusan yang diambil adalah terima H0 yang menunjukkan bahwa
tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara model dengan konstanta.
Tabel
4.4 Uji Fit Model
Iteration
History
|
|
Iteration
|
-2
Log Likelihood
|
Step
0 6
|
26.169
|
Step
1 12
|
10.885
|
Tidak berbeda dengan
model konvensional, penilaian keseluruhan model untuk syariah bernilai -2 Log
Likelihood < Chi Square tabel yang menunjukkan bahwa model dengan memasukkan
variabel bebas adalah fit dengan data. Hal ini menunjukkan bahwa model layak
untuk digunakan.
b.
Hosmer
and Lemeshow Goodness of Fit Test
Lebih lanjut, untuk
melihat apakah data empiris cocok dengan model (tidak ada perbedaan antara
model dengan data) dilakukan dengan melihat nilai Hosmer and Lemeshow Test
yaitu sebagai berikut:
Tabel
4.5 Hasil Uji Goodness of Fit Model Syariah
Hosmer
& Lemeshow
|
||
Chi Square
|
Sign
|
|
Model 1
|
0.604
|
1
|
Model 2
|
1.296
|
0.996
|
Model 3
|
1.182
|
0.997
|
Model 4
|
0.814
|
0.999
|
Berdasarkan hasil perhitungan, tampak bahwa keempat
model syariah tersebut pada taraf signifikansi 0,1 nilai Chi Square hitung < Chi Square tabel. Terlihat juga bahwa
nilai signifikansi sebesar 0.996 hingga 1.000 adalah lebih besar dari 0,1 yang menunjukkan bahwa keempat model
dapat diterima dan pengujian hipotesis dapat dilakukan
c.
Uji
Koefisien Determinasi
Untuk melihat kemampuan
variabel bebas dalam menjelaskan varians crisis severe distress digunakan nilai
Cox & Snell R Square dan Nagelkerke R Square. Nilai Nagelkerke R Square
yang lebih besar daripada Cox & Snell R Square, menunjukkan kemampuan
kelima variabel bebas dalam menjelaskan varians Crisis Severe Distress dan
sisanya terdapat faktor lain yang menjelaskan varians CSD.
Tabel 4.6 Hasil Uji
Koefisien Determinasi Model Syariah
Koefisien
Determinasi
|
||
Cox & Snell
|
Nagelkerke
|
|
Model 1
|
0.149
|
0.577
|
Model 2
|
0.174
|
0.678
|
Model 3
|
0.157
|
0.519
|
Model 4
|
0.169
|
0.457
|
Jika melihat hasil uji keempat model di atas, dapat
disimpulkan bahwa nilai Nagelkerke R Square yang berada antara 0.577 hingga
0.678 menunjukkan kemampuan masing-masing variabel bebas dalam menjelaskan
varians Crisis Severe Distress dan sisanya terdapat faktor lain di luar model.
Penghitungan lain yang lebih baik untuk mengetahui
seberapa baik variabel-variabel independen menjelaskan variabel dependen adalah
dengan melihat nilai overall percentage yang merupakan perbandingan antara
jumlah prediksi yang tepat dengan jumlah seluruh observasi pada Classification
Table.
Tabel 4.7 Hasil Uji
Fitting Model
Ketepatan
Model
|
|||
B/A+B
|
C/C=D
|
D/A+B+C
|
|
Model 1
|
98.8
|
66.7
|
97.7
|
Model 2
|
100
|
66.7
|
98.9
|
Model 3
|
98.8
|
33.3
|
96.6
|
Model 4
|
98.8
|
33.3
|
96.6
|
*Tanda cetak tebal menunjukkan nilai overall
percentage
Pada model pertama, sampel yang tidak mengalami krisis (0) adalah sebayak 85
periode. Hasil prediksi model pada tabel di atas adalah 84 periode tidak
terjadi krisis (0) dan 1 periode terjadi
krisis. Berarti terdapat 1 prediksi yang salah sehingga prediksi yang benar
adalah sebanyak 84/85 = 98,8%. Sedangkan untuk periode terjadi krisis (1) dari
3 sampel hanya 1 periode yang diprediksi tidak sesuai oleh model penelitian
sehingga kebenaran model untuk periode terjadinya krisis adalah sebesar 2/3 =
66,7%. Dengan demikian tabel diatas memberikan nilai overall Percentage sebesar
(84 + 2)/88 =97,7% yang berarti ketepatan model penelitian ini adalah sebesar
97,7%. Adapun model 2 hingga model 4 berturut-turut adalah 98.9, 96.6 dan 96.6
persen.
d.
Uji
Multikolinearitas
Pada hasil regresi logit dalam penelitian ini
seluruh variabel disimpulkan tidak ada adanya multikolinearitas antar variabel.
Variabel yang menyebabkan multikolinearitas dapat dilihat dari nilai tolerance
yang lebih kecil dari 0,1 atau nilai VIF yang lebih besar dari nilai 10. Hal
tersebut juga didukung dengan nilai 1/VIF yang tidak kurang dari 0,1 atau
tingkat kepercayaan yang digunakan. Nilai VIF masing-masing variabel tidak ada
yang melebihi angka 10, hal tersebut diperkuat dengan nilai 1/VIF dan Tolerance
yang nilainya lebih dari 0,1. Sehingga dapat disimpulkan keempat model syariah
tersebut tidak memiliki gangguan multikolinieritas.
e.
Uji
Signifikansi Parsial Model Syariah dan Konvensional
Uji signifikansi parsial bertujuan untuk melihat
signifikansi sauatu variabel independen dalam memengaruhi variabel dependen
dalam sebuah persamaan. Uji ini dilakukan dengan melihat signifikansi dari
masing-masing parameter variabel tersebut. Secara ringkas, indikator ekonometri
untuk tiap model dapat dilihat pada tabel berikut:
Tabel 4.8 Ringkasan Hasil Uji
Signifikansi Keseluruhan
Model
|
Variabel
|
Sign.
|
Overall test
|
Hosmer & Lemeshow
|
Koef Determinasi
|
|||
Chi Square
|
Sign
|
Chi Square
|
Sign
|
Cox & Snell
|
Nagelkerke
|
|||
Konven 1
|
LAR
|
0.153
|
14.15
|
0.015
|
0.604
|
1
|
0.149
|
0.577
|
CARK
|
0.07
|
|||||||
INFL
|
0.986
|
|||||||
INTR
|
0.096
|
|||||||
IPIG
|
0.715
|
|||||||
C
|
0.109
|
|||||||
Syariah 1
|
FAR
|
0.077
|
14.15
|
0.015
|
0.604
|
1
|
0.149
|
0.577
|
CARS
|
0.871
|
|||||||
INFL
|
0.205
|
|||||||
INTR
|
0.902
|
|||||||
IPIG
|
0.775
|
|||||||
C
|
0.08
|
|||||||
Konven 2
|
LAR
|
0.141
|
15.005
|
0.01
|
0.512
|
1
|
0.157
|
0.609
|
CARK
|
0.072
|
|||||||
INFL
|
0.902
|
|||||||
INTR
|
0.124
|
|||||||
EXPG
|
0.335
|
|||||||
C
|
0.108
|
|||||||
Syariah 2
|
FAR
|
0.055
|
0.174
|
0.005
|
1.296
|
0.996
|
0.174
|
0.678
|
CARS
|
0.676
|
|||||||
INFL
|
0.255
|
|||||||
INTR
|
0.744
|
|||||||
EXPG
|
0.211
|
|||||||
C
|
0.055
|
|||||||
Konven 3
|
LAR
|
0.699
|
16.782
|
0.005
|
0.222
|
1
|
9.387
|
0.675
|
CARK
|
0.086
|
|||||||
INTR
|
0.296
|
|||||||
LN_IPI
|
0.902
|
|||||||
LN_REERDEV
|
0.178
|
|||||||
C
|
0.269
|
|||||||
Syariah 3
|
FAR
|
0.184
|
12.598
|
0.027
|
1.182
|
0.997
|
13.571
|
0.519
|
CARS
|
0.915
|
|||||||
INTR
|
0.767
|
|||||||
LN_IPI
|
0.752
|
|||||||
LN_REERDEV
|
0.689
|
|||||||
C
|
0.461
|
|||||||
Konven 4
|
M2RES
|
0.4
|
10.552
|
0.061
|
1.26
|
0.996
|
9.387
|
0.675
|
INFL
|
-2.858
|
|||||||
LN_REERDEV
|
0.117
|
|||||||
IPIG
|
-1.151
|
|||||||
SBI
|
0.11
|
|||||||
C
|
5.517
|
|||||||
Syariah 4
|
M2RES
|
0.414
|
11
|
0.051
|
0.814
|
0.999
|
15.169
|
0.457
|
INFL
|
-3.128
|
|||||||
LN_REERDEV
|
-4.695
|
|||||||
IPIG
|
0.1
|
|||||||
SBIS
|
-0.724
|
|||||||
C
|
42.128
|
Model
terbaik yang dihasilkan dari keempat model tersebut adalah model pertama karena
memiliki variabel independen signifikan lebih banyak daripada model lainnya
sedangkan untuk uji statistik, keempat model telah memenuhi syarat kelayakan
model. Sehingga persamaan yang dihasilkan adalah sebagai berikut:
v Persamaan
Regresi Logistik untuk perbankan konvensional
CSD = 100,502 – 0,646 LARK -4,254
CARK + 0,014 INFL + 0,893 INTR + 0,108 IPIG
v Persamaan
Regresi Logistik untuk perbankan syariah
CSD = -172,719 + 2,115 FAR + 0,161
CARS - 4,956 INFL + 0,069 INTR + 0,123 IPIG
Secara ringkas, interpretasi masing-masing variabel
independen yang dihasilkan dalam tulisan ini dapat dilihat pada tabel berikut:
Variabel
|
Nilai Koef
|
Odds ratio
|
Tanda Koef
|
Kesesuaian
Teori
|
CARK
|
-4.264
|
0.014
|
Negatif
|
Sesuai
|
INTR
|
0.893
|
2.443
|
Positif
|
Sesuai
|
FAR
|
2.115
|
8.287
|
Positif
|
Sesuai
|
M2RES
|
0.4
|
1.418
|
Positif
|
Sesuai
|
BAB
V. PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Penelitian tentang
sistem deteksi dini terhadap krisis pada sistem perbankan ganda di Indonesia
ini menghasilkan beberapa kesimpulan penting, yaitu:
-
Berdasarkan hasil estimasi, beberapa
variabel yang dapat dijadikan sebagai indikator awal dari krisis finansial bagi
industri perbankan konvensional adalah
variabel Capital Adequacy Ratio atau rasio kecukupan modal (CARK) dan variabel
suku bunga (INTR). Kesimpulan ini selaras dengan apa yang dikemukakan oleh Barrel
et all. (2010), Boyd et all. (2009), Kunt (2005) serta Hardy dan Pazarbasioglu
(1998). Sementara itu, untuk prediksi deteksi dini krisis finansial bagi
industri perbankan syariah hanya variabel FAR (Financing to Asset Ratio) yang
memiliki signifikansi di atas 90%. Hal ini serupa dengan hasil penelitian Hadad
et all. (2003) yang menyebutkan variabel kredit intensif dari perbankan sebagai
salah satu indikator early warning system
krisis perbankan.
-
Jika melihat tanda koefisien, maka
variabel Capital Adequacy Ratio atau rasio kecukupan modal (CARK) memiliki
tanda negatif. Hal itu berarti bahwa ada hubungan terbalik antara peningkatan
Capital Adequacy Ratio perbankan konvensional dengan peluang terjadinya krisis
perbankan di Indonesia. Fakta ini sesuai dengan teori bahwa semakin besar CAR
sebuah bank, semakin baik kondisi kesehatan bank tersebut. Begitu pula
sebaliknya.
-
Adapun tanda positif koefisien suku
bunga (INTR) menunjukkan hubungan lurus antara peningkatan suku bunga dengan
kemungkinan terjadinya krisis perbankan. Semakin tinggi tingkat suku bunga,
menunjukkan kemungkinan yang tinggi terjadinya krisis.
-
Pada perbankan syariah, variabel FAR
(Financing to Asset Ratio) memiliki tanda positif pada koefisiennya. Artinya
ada hubungan lurus antara peningkatan Financing to Asset Ratio (FAR) perbankan
syariah dengan peluang terjadinya krisis perbankan di Indonesia. Hal ini dapat
dijelaskan dengan logika bahwa kondisi financing/pembiayaan
yang diberikan bank syariah kepada pihak ketiga tetap dalam kondisi yang
relatif tinggi meskipun dalam keadaan krisis. Akan tetapi porsi dari sisi aset
dan dana pihak ketiga relatif lebih kecil. Sehingga menyebabkan rasio FAR,
tetap besar. Dari sini, kondisi likuiditas menjadi masalah utama yang dihadapi
perbankan syariah.
-
Dari perbedaan bank syariah yang
cenderung bermasalah dengan likuiditas (FAR yang signifikan) dan bank
konvensional yang bermasalah dengan solvabilitas (CAR yang signifkan) dapat
diambil kesimpulan bahwa bank syariah baru akan krisis jika sektor riil
terganggu. Sementara bank konvensional akan senantiasa bergejolak jika ada
gangguan krisis finansial. Dengan kata lain, jika ada krisis ekonomi baik yang
bersumber dari dalam maupun dari luar negeri yang lebih bersifat “finansial”,
maka industri perbankan syariah tidak perlu terlalu khawatir akan terkena dampak
negatifnya.
-
Kesimpulan menarik yang didapat dari
penelitian ini adalah bahwa dalam model syariah, variabel yang signifikan
sebagai indikator dini krisis hanyalah variabel mikro perbankan; yakni rasio
pembiayaan terhadap total aset. Sementara pada model konvensional, selain
variabel mikro (CAR) juga terdapat variabel suku bunga (INTR). Hal ini menjadi
salah satu bukti bahwa industri perbankan syariah relatif lebih tahan terhadap
gejolak makroekonomi di waktu krisis. Hal ini selaras dengan hasil penelitian
Ascarya (2011) dan Rusydiana (2009).
-
Terkait variabel M2RES yang signifikan,
baik pada model syariah maupun konvensional, maka hal ini bisa saja merupakan
akibat dari berlakunya fiat money dan
fractional reserve banking system (FRBS).
Padahal kedua hal tersebut merupakan penyumbang excess money supply yang cukup besar. Sehingga menjadi hal yang
wajar dipahami jika kedua model –baik syariah maupun konvensional- memiliki
kondisi serupa. Sebagai konsekuensinya, maka entitas perbankan syariah
sesungguhnya tidak benar-benar akan terbebas dari dampak buruk krisis, akibat
ada celah yang sifatnya sistemik ini.
5.2 Rekomendasi
Beberapa rekomendasi yang dapat penulis berikan terkait penelitian
tentang Early Warning System dalam
sistem perbankan ganda di Indonesia ini antara lain:
-
Hasil
penghitungan menunjukkan bahwa variabel CAR (rasio kecukupan modal) dan macro variable suku bunga terindikasi
menjadi indikator dini krisis finansial pada sektor perbankan konvensional.
Oleh karenanya sangat perlu diperhatikan oleh para pemangku kepentingan, baik
dari perbankan maupun otoritas moneter.
-
Pada sisi
perbankan syariah, variabel FAR (Financing to Asset Ratio) menjadi indikator
dini krisis finansial. Oleh karena itu,
sisi tersebut (sebagai cerminan likuiditas) layak menjadi perhatian
utama para stakeholder perbankan syariah di Indonesia.
-
Yang tidak
kalah penting, penelitian ini juga membuktikan bahwa industri perbankan
konvensional ternyata lebih rentan terimbas krisis dibanding dengan perbankan
syariah, terutama akibat shock
variabel makroekonomi. Dengan demikian, menjadi alasan yang rasional bagi
otoritas moneter dalam hal ini Bank Indonesia untuk memberikan support lebih terhadap keberlangsungan
keuangan dan perbankan syariah di Indonesia.
-
Pemerintah
diharapkan memiliki sistem pencatatan ekonomi –mikro maupun makro- yang baik,
sehingga indikator-indikator yang penting dapat digunakan dengan konsisten
untuk memprediksi krisis di masa yang akan datang.
-
Tulisan ini
tidak sedikit memiliki kekurangan, diantaranya adalah: perlunya data series
yang lebih panjang dalam observasi penelitian, ataupun penggunaan metodologi
yang lain, misalnya modifikasi metode multinomial logit. Sehingga hasil yang
didapat lebih presisif dalam mengukur deteksi dini krisis finansial di
Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA
Arı. Ali dan Rüstem Dağtekin. “Early Warning Signals
of The 2000/2001 Turkish Financial Crisis”. MPRA
Paper (No. 25857). Oktober 2008.
Ascarya (2011). “How to Eradicate Inflation under
Dual Monetary System: The Case of Indonesia”. paper has presented in 8th
International Conference on Tawhidi Methodology Applied to Microenterprise
Development. IEF-Trisakti. Jakarta 7-8 January 2011.
Bank
Indonesia. 2007. IMF dan Stabilitas
Keuangan Internasional. Jakarta: PT Elex Media Komputindo.
Barrel.
Ray et. al. “Bank regulation. Property Prices and Early
warning Systems for Banking Crises in OECD Countries”. 2010
Boyd et. al.
“Banking Crises and Crisis Dating: Theory and Evidence”. IMF Workig Paper. WP/09/141. Juli 2009.
Bucevska.
Vesna.”An Analysis of Financial Crisis by an Early Warning System Model: The
Case of The EU Candidate Countries”. Businesss
and Economic Horizons. Vol. 4 (No. 1). Januari 2011.
Caprio et. al.
“Banking Crises Database”. in Systemic Financial Crises. P.
Honahan and L. Laeven eds. . Cambridge University Press. Cambridge. U.K. 2005
Demirgüç-Kunt & Detragiache. “The
Determinants of Banking Crises: Evidence from Developing and Developed
Countries”. IMF Staff Paper. Vol. 45
(No. 1). Maret 1998
Goldstein.
Moris. “Assesing Financial Vulnerability: An Early Warning System for Emerging
Markets”.(2000)
Hadad.
Muliaman D. et al. “Indikator Awal
Krisis Perbankan”. Desember 2003.
http://www.bi.go.id/NR/rdonlyer/2DAB2C92-BF34-4DE4-A3EF2078CC77431/7822/IndikatorAwalKrisisPerbankan.pdf
Hagen.
Jürgen von dan Tai-kuang Ho. “Money Market Pressure and The Determinants
of Banking Crises”. Februari 2003.
Hardy.
Daniel C. dan Ceyla Pazarbasioglu. “Determinants and Leading Indicators of
Banking Crises: Further Evidence”. IMF
Staff Paper. Vol. 46 (No.3). September 1999.
Hatta. M. “Telaah Singkat
Pengendalian Inflasi dalam Perspektif Kebijakan Moneter Islam”. Paper. Jurnal Ekonomi Ideologis. 2008
Imansyah.
Muhammad Handry. 2009. Krisis Keuangan di Indonesia. Dapatkah Diramalkan?
Jakarta: Elex Media Komputindo.
Imansyah.
M. Handry dan Anggito Abimanyu (Ed). 2008 Sistem
Pendeteksian Dini Krisis Keuangan di Indonesia: Penerapan Berbagai Model
Ekonomi. Yogyakarta: BPFE UGM.
Kaminsky.
Graciela et.al. “Leading Indicators
of Currency Crises”. IMF Staff Paper. Vol.
45 (No. 1). Maret 1998.
Kemu.
Suparman Zen dan Almizan Ulfa. “Model Non-Parametrik Early Warning System (EWS)
Sektor Keuangan Indonesia”. Jurnal
Keuangan dan Moneter. Vol. 8 (No. 1). 2008.
Leaven.
Luc dan Valencia. “Systemic Banking
Crises: A New Database”. IMF Working
Paper. WP/08/224. November 2008.
Priyatno.
Duwi. 2008. 5 Jam Belajar Olah Data dengan
SPSS 17.Yogyakarta. Penerbit Andi
Reinhart
and Rogoff . “This Time Is Different: A Panoramic View of Eight Centuries of
Financial Crises”. NBER Working Paper #
13882. Maret 2008
Rusydiana.
Aam Slamet (2009). “Determinan Inflasi
Indonesia: Perbandingan Pendekatan Islam dan Konvensional”. Journal of Islamic Business and Economics
(JIBE) Universitas Gadjah Mada. Volume 3 No. 1. Juni 2009.
Sachs.
Jeffrey D. and Andreas Velasco. “Financial Crises in Emerging Markets: The
Lessons From 1995”. Brooking Papers on Economic
Activity (No. 1). 1996.
Santoso.
Singgih. 2002. Buku Latihan SPSS
Statistik Parametrik. Jakarta. Elex Media Komputindo.
Shen.
Chung-Hua dan Meng-Fen Hsienh. “Predicting of Bank Failures Using Combined
Micro and Macro Data”. Februari 2003.
Winarno.
Wing Wahyu. 2009. Analisis Ekonometrika
dan Statistika dengan Eviews: Edisi Kedua. Yogyakarta. UPP STIM YKPN
Zhuang,
Juzhong . Noparametric EWS Models of
Currency and Banking Crises for East Asia, Early Warning System for Financial
Crises: Application to East Asiain ADB, Palgrave, Macmillan. 2005
[1] Penulis
menyampaikan banyak terima kasih kepada Ir. Ascarya, M.BA, M.Sc, Dr. Yulizar D.
Sanrego dan Aam S. Rusydiana, SEI atas diskusi, masukan dan kritiknya terhadap
draft awal paper ini, terutama pada bagian pendalaman analisis dan konseptual
penelitian.
[2] Penulis bernama lengkap Hasna Maliha, adalah
alumni Sekolah Tinggi Ekonomi Islam (STEI) Tazkia, Program Studi Ilmu Ekonomi
Islam.
[3] Twin crisis adalah krisis yang terjadi apabila krisis perbankan
terjadi secara bersamaan dengan krisis nilai tukar dimana ketika
krisis perbankan terjadi pada tahun t dan krisis mata
uang pada tahun t-1 dan t+1
(Leaven dan Valencia, 2008).
[4] Triple crisis adalah krisis yang terjadi apabila krisis perbankan,
krisis nilai tukar, dan krisis utang luar negeri terjadi secara bersamaan
dimana ketika krisis perbankan terjadi pada tahun t , krisis mata uang pada [t-1, t+1] dan krisis pembayaran hutang
pemerintah pada [t-1, t+1])
(Leaven dan Valencia, 2008).
[5] Suatu kondisi dimana DPK lebih
kecil daripada kredit yang disalurkan.
[6] Keuntungan Bank Sentral dari penciptaan uang
yang diperoleh dari selisih nilai nominal uang dengan nilai intrinsiknya.
[7] Sebagian pelaku di dalam permainan ekonomi
telah mengambil keuntungan yang tidak selayaknya mereka terima atas kerugian
pihak yang lain dan sebagian masyarakat mungkin lebih menderita daripada yang
lainnya setelah goncangan itu.
[8] Ascarya. Sistem Keuangan dan Moneter Islam.
2007. Hlm 51
[9] Hal ini merupakan persyaratan
dalam regresi nonlinear dimana ketika
à
, maka
cenderung
mendekati 0 dan ketika
à
, maka
meningkat
tidak terbatas (Gujarati, 2003)
[10] Fasilitas kredit perumahan yang
diberikan kepada debitor lemah yang tidak lolos kualifikasi pada kredit
perumahan biasa (prime mortgage) sehingga risiko gagal bayar debitor yang
sangat tinggi. Debitor diwajibkan menjaminkan sertifikat rumah dan bebasn bunga
yang lebih besar dibandingkan kredit perumahan biasa (Hanri, 2008)
Assalamu'alaikum. saya Annisa mahasiswa UIN Jogja. Maaf bisakah saya meminta file bentuk pdf dari paper ini? karena saya sedang membutuhkannya sebagai referensi penulisan skripsi. Paper di atas tidak mencantumkan nama penulis beserta tahunnya,
BalasHapusterimakasih