Ketika Amerika Serikat mengalami krisis keuangan terburuk sejak depresi besar (great depression) tahun 1929, berbagai analisis dan pertanyaan bermunculan. Apakah ini akan menjadi end of capitalism? Atau hanya sebuah siklus dari kapitalisme (patut dicatat: telah terjadi 113 kali guncangan sektor finansial di 17 negara kapitalis, dan kapitalisme masih eksis). Dari sisi ekonomi alternatif, apakah benar bahwa ini momen yang tepat bagi ekonomi Islam untuk menggantikan sistem ekonomi yang telah usang tersebut? Dengan kata lain, akankah “skenario terburuk” bagi kapitalisme adalah “skenario terbaik” bagi ekonomi Islam? Ataukah sosialisme telah menemukan celah baru untuk bangkit? Atau yang lebih ekstrim, akankah muncul varian atau sistem ekonomi baru? Lalu dalam lingkup negara, mungkinkah Cina dan India, dua calon raksasa ekonomi baru, akan menjadi pemain pengganti untuk Amerika yang telah letih. Bagaimana dengan Rusia, mungkinkah “mantan sosialis” yang tengah memupuk kejayaan tersebut akan menjadi polar baru ekonomi dunia. Lalu bagaimana dengan negara-negara emerging markets di Asia yang lain semisal Korsel, Malaysia, Indonesia, dan lain-lain. Menjawab pertanyaan di atas secara presisif, tentu diperlukan analisis yang cermat dan mendalam. Selusin ekonom kelas dunia plus futurolog --yang tidak tercemar kepentingan politik-- mungkin akan mampu memprediksi arah ekonomi ke depan. Namun, perkembangan ekonomi bukanlah sesuatu yang linier. Banyak faktor-faktor non-ekonomi yang bermain dan dapat mengubah peta perekonomian dunia secara cepat. Di era kontemporer yang serba tak pasti, membicarakan masa depan ekonomi menjadi sesuatu yang menarik.
Ekonomi Masa Depan
Berbicara mengenai teori ekonomi masa depan, akan terdapat beberapa teori yang muncul. Pertama, Tesis Francis Fukuyama. Melalui bukunya yang populer, The End of History and the Last Man (1992), Fukuyama meramalkan kemenangan demokrasi-liberal sebagai wadah kapitalisme terhadap semua ideologi di muka bumi pada akhir sejarah. Kapitalisme dengan laissez faire-nya, dianggap menjadi sistem yang paling kompatibel bagi karakter-karakter dasar ekonomi dan modernitas. Kebebasan menjadi sebuah keniscayaan bagi efisiensi pasar dan pergerakan modal untuk meraih kesejahteraan. “Kebenaran” tesis Fukuyama ini diperkuat bukti-bukti yang tak terpatahkan: runtuhnya Tembok Berlin, hancurnya Uni Soviet, dan makin kuatnya dominasi AS di setiap aspek kehidupan politik dan ekonomi global. Meskipun begitu, kritik atas teori ini juga memiliki dalil yang kuat: ketika kapitalisme mendominasi, ketidakadilan dalam bentuk ketidakmerataan kesejahteraan terjadi di negara-negara dunia ketiga. Selain itu, Kapitalisme hanya mampu “bertahan hidup” dengan imperialisme akibat keserakahan mengakumulasi kapital (Achsien, 2000). Teori ini pun semakin diragukan keilmiahannya, ketika banyak motif politik Amerika yang melatar belakanginya saat itu. Buku Fukuyama disinyalir merupakan “karya pesanan” untuk kepentingan sesaat. Terbukti, ketika muncul pandangan Fukuyama terbaru yang menentang invasi militer ke Irak --dengan mengusulkan demokratisasi yang lebih manusiawi, ia pun ditinggalkan Washington.
Teori kedua adalah teori ekonomi multi-polar dengan pusat-pusatnya di Cina, Rusia, India, dan sebagian Amerika Latin. Antitesis dengan Fukuyama, Robert Kagan dalam bukunya The Return of History and the End of Dreams (2008), menunjukkan bahwa otokrasi sebagai alternatif bagi demokrasi liberal kini mulai bermunculan dengan menguatnya ekonomi Cina dan Rusia. Berhasilnya pembangunan ekonomi Cina dan Rusia dalam satu dekade terakhir menunjukkan bahwa otokrasi ternyata mempunyai tempat yang terhormat di mata dunia. Sementara itu India, dengan teknologi dan kemandirian ekonomi menjadi kekuatan tersendiri di Asia. Pun dengan Amerika Latin, “sosialisme baru” yang mulai diusung secara kolektif oleh Venezuela, Brasil, Ekuador, Argentina, Cile, Peru, Nikaragua, Uruguay, dan Paraguay, membuat peta kekuatan ekonomi semakin melebar. Singkatnya, teori ini mengindikasikan akan berkembangnya kutub-kutub ekonomi yang multi-polar membentuk sebuah keseimbangan baru di dunia. Meskipun begitu, teori ini sendiri bukan anti-tesis kapitalisme, namun lebih kepada “kapitalisme yang lain” (other capitalism). Dimana neo-sosialisme dengan bentuk kontrol pemerintah yang ketat tidak dapat bekerja sepenuhnya di kultur modern. Sosialisme juga memerlukan kondisi masyarakat yang ideal, manusia-manusia yang mengabaikan kepentingan pribadi. Sebuah kondisi yang sangat utopis. Selain itu, skeptisme terhadap sosialisme di dunia masih sangat kuat, karena kekuatan negara —tanpa agama dan moral— yang besar biasanya berujung pada satu hal: korupsi. Seperti pepatah: power tends to corrupt, absolute power corrupts absolutely! Menyitir pendapat Abdala (2008), hal ini lebih kepada “the declining West” yang diikuti oleh “the emerging rest”.
Ekonomi Islam, Teori Ketiga?
Pada dasarnya, ekonomi Islam dalam “bentuk yang utuh” mempunyai modal yang kuat untuk menjadi kekuatan baru ekonomi dunia. Islam sebagai sebuah ideologis mempunyai basis yang kuat dan dianut 1.3 miliar penduduk bumi. Menjadi mayoritas di puluhan negara di dunia. Sehingga seharusnya kebangkitan ekonomi Islam dapat menjadi ‘teori ketiga” yang dapat dikemukakan. Namun, agar tidak hanya menjadi “wishful thinking” di tengah tanda-tanda kehancuran ideologi lain, mengawal kebangkitan ekonomi Islam ke arah yang benar menjadi harga yang tidak bisa ditawar. Mungkin akan timbul pertanyaan atas statement tersebut. Adakah yang salah dalam pengembangan ekonomi Islam saat ini? Tanpa mengurangi rasa hormat terhadap pencapaian ekonomi Islam saat ini, penulis bisa mengatakan “tidak ada yang salah”, hanya saja perlu “kreatifitas” yang lebih. Perlunya eksplorasi yang lebih dalam menjadikan ekonomi Islam sebagai “teori ketiga” dapat dilihat dari permasalahan yang harus dibenahi.
Pertama, harus disadari bahwa pengembangan ekonomi Islam masih berkutat pada perbaikan sektor finansial dan hal ini bukan tanpa masalah. Konsep dan aplikasi sistem keuangan Islam tetaplah “pemain baru” di tengah existing system yang sudah menggurita. Ketika sistem keuangan kapitalisme dibangun atas tiga fondasi: bunga (interest), uang kertas (fiat money), dan cadangan sebagian pada bank sentral (fractional reserve system), sistem keuangan Islam hanya baru merevisi interest dengan bagi hasil —itu pun belum sepenuhnya. Meskipun ketika sistem uang emas dan cadangan penuh (full reserve system) belum diterapkan, kita tidak bisa mengatakan bahwa nilai kesyariahan sistem keuangan Islam saat ini hanya “sepertiga” saja. Maka, menyempurnakan sistem keuangan Islam menjadi pekerjaan yang harus segera digarap. Langkah awal yang dapat diambil antara lain dengan menerapkan dual central bank dan dual currency, jika memungkinkan. Kedua, ekonomi Islam yang hadir dalam entitas negara belum sepenuhnya hadir. Sehingga “wujud” ekonomi Islam yang bekerja sebagai sebuah “sistem” yang menggerakan ekonomi sebuah negara belumlah ada. Ilustrasinya, jika Amerika Serikat dipersonifikasikan sebagai negara ekonomi kapitalis, negara manakah yang mewakili ekonomi Islamis? Institusi keuangan Islam semisal bank Islam dan asuransi Islam yang telah ada tentu belum dapat dipersonifikasi sebagai entitas ekonomi Islam yang utuh. Terlebih jika aspek komersil yang menjadi basis dibentuknya institusi tersebut, bukan aspek ideologis-keumatan. Ketiga, belum terumuskannya model pencapaian final dari ekonomi Islam. Rumusan pencapaian yang lebih integratif dan tidak berkutat di sektor finansial. Penilaian atas pencapaian ekonomi Islam saat ini yang kerap menggunakan pendekatan aset dan jumlah institusi keuangan Islam. Hal ini merupakan kewajaran dan konsekuensi atas konsentrasi di sektor tersebut. Namun, membangun parameter-parameter pencapaian baru yang lebih sesuai dengan esensi ekonomi Islam itu sendiri, mutlak diperlukan. Misalnya, dengan membuat proksi-proksi dari maqasid as-syariah versi as-Syatibi. Dengan begitu, kontribusi ekonomi Islam terhadap tujuan-tujuan Islam itu sendiri dapat terlihat dengan jelas.
Skenario Ekonomi Islam.
Karl Marx, pengusung Marxisme yang menjadi bibit sosialisme pernah membuat sebuah “skenario” ekonomi masa depan. Sebuah dialektika yang populer. Menurut Marx, masyarakat berada dalam sebuah ketegangan dialektis yang selalu berkembang menuju pada penyempurnaan. Dari masyarakat purba, berkembang menjadi masyarakat feodal, lalu kapitalis dan berakhir pada sosialis/komunis. Akibat konflik yang terjadi antarkelas sosial. Namun, seperti yang dipaparkan sebelumnya, teori ini menjadi sesuatu yang sulit diwujudkan di masa depan. Lalu bagaimana dengan ekonomi Islam? Setelah fase kemunduran paska runtuhnya khilafah, bagaimana skenario kebangkitannya? Penulis mencoba membagi skenario ini menjadi beberapa fase yang menjadi “harapan” penulis terhadap ekonomi Islam.
Pertama, fase dual banking system. Inilah fase yang saat ini dianut Indonesia, Malaysia, Mesir, Bangladesh, Uni Emirat Arab, dan Kuwait. Dimana sistem perbankan ganda (Islam dan konvensional) secara sinergis memenuhi kebutuhan masyarakat akan produk dan jasa perbankan, serta mendukung pembiayaan bagi sektor-sektor ekonomi. Meskipun secara konsep, kedua sistem ini bertentangan secara diametral. Fase ini dapat dikatakan fase promosi dan sosialisasi ekonomi Islam melalui sektor perbankan. Tantangan pada tahap ini umumnya berkutat pada masalah regulasi, sumberdaya, dan pemahaman. Kedua, fase fully islamic banking. Dimana melalui pengembangan akad-akad syariah, seluruh variabel interest dalam perbankan digantikan variabel patuh syariah seperti margin dan bagi hasil. Negara-negara yang berada pada fase ini antara lain: Sudan, Pakistan, Iran, dan Irak. Melihat kultur Islam yang kuat pada negara penganutnya, proses menuju tahapan ini membutuhkan dukungan politik Islam yang kuat. Menghapus riba dimungkinkan lebih bermotif “ideologis” ketimbang motif “ekonomi”, meskipun kedua motif sama “shahih”nya. Pada tahap ini tantangan yang dihadapi antara lain: penyempurnaan dan stabilisasi sistem, hubungan ekonomi luar negeri, dan masalah politik-ekonomi. Entah kebetulan atau tidak, negara-negara di atas rawan konflik internal maupun eksternal, akibat intervensi Amerika. Fase berikutnya adalah fully economic system. Pada tahap ini, ekonomi Islam hadir secara utuh, tidak parsial. Ekonomi telah “berislam” secara penuh. Bentuk dan tata kelola negara, serta seluruh kebijakan ekonomi (fiskal dan moneter) berada dalam aturan syariah. Bentuk yang paling mungkin adalah negara-negara (daulah) Islam yang memiliki independensi politik-ekonomi. Dinar dan dirham menjadi “mata uang silaturahmi” antar daulah tersebut, mengikis dominasi dollar. Tahapan terakhir adalah ekonomi Islam suprematif (khilafah). Yaitu, kepemimpinan politik-ekonomi berada dalam satu atap. Pada tahap ini, ekonomi Islam telah tersistem secara matang dan diterima oleh dunia, seperti ekonomi model kapitalis saat ini.
(Salah satu artikel dalam Ekonomi Islam Substantif, penulis Muhammad Jarkasih)