Dunia tersentak. Kaget sekaligus takjub. Amatlah langka –bahkan nyaris tak ada, seorang yang berlatar belakang ekonomi meraih penghargaan nobel di bidang perdamaian. Lazimnya, penerima penghargaan jenis ini adalah ia yang aktif dalam hal rekonsiliasi antarnegara atau yang sejenisnya. Dan bukan lulusan strata tiga ekonomi yang tiap harinya dekat dan bergumul dengan kebanyakan orang miskin. Barangkali menjadi suatu hal wajar andaikata sang doktor meraih penghargaan nobel yang sama di bidang ekonomi. Namun tidak. Ia justru mendapat nobel dalam bidang lain: Perdamaian. Ada apa gerangan? Mengapa dan siapakah sang doktor yang kini menjadi bahan perbincangan hangat seantero dunia itu?
Ialah Profesor Muhamad Yunus, doktor lulusan negeri Paman Sam yang menjadi rising star itu. Ia berkebangsaan Bangladesh. Bangladesh adalah satu negara di benua Asia dengan jumlah penduduk terbanyak ke-8 di dunia. Atau sekitar 132 juta jiwa. Bangladesh baru mengecap kemerdekaan dari Pakistan tahun 1971. Tak kurang setengah lebih dari jumlah penduduknya berada pada garis kemiskinan. Dengan pendapatan perkapita penduduk amat rendah, yakni sekitar US$ 380, Bangladesh menjadi sebuah negara yang amat miskin, terpuruk, dan terbelakang dalam peta ekonomi negara-negara dunia. Bayangkan, sekitar 1974 atau tiga tahun setelah terbebas dari belenggu imperialis, Bangladesh mengalami famine (baca: kelaparan mahadahsyat) yang menelan bukan hanya puluhan atau ratusan. Tapi jutaan miskin. Maka tidaklah heran, jika di dunia ini ada seorang pakar kemiskinan yang belum berkunjung dan menganalisis negara kecil ini, maka belumlah sempurna kepakarannya.
The Phenomenon
Melihat fenomena kematian besar-besaran akibat kelaparan yang menimpa kebanyakan rakyat miskin di negaranya (baca: famine), Yunus secara kejiwaan amat terusik. Hatinya seolah teriris. Mengapa tidak, ia adalah doktor dengan otak cemerlang yang kuliah di negara yang –katanya- super power dan terbaik di dunia. Namun pada saat yang bersamaan, ia hanya bisa duduk termanggu tak dapat berbuat apapun. Maka, atas inisiatifnya kemudian Yunus membuat sebuah konsep pemberdayaan kaum lemah dengan membentuk sebuah lembaga simpan-pinjam bernama Grameen Bank. Grameen Bank merupakan Bahasa Bengali yang jika dikonversi ke dalam Bahasa Indonesia menjadi Bank Desa atau Bank Pedesaan. Atau bisa kita sebut Bank Ndeso.
Secara perlahan namun pasti, Grameen Bank (GB) menunjukkan hasil yang tidak bisa dianggap sebelah mata. Berdasarkan data UKM Center FEUI (2006), pada tahun 1997, GB telah berhasil mengentaskan jumlah orang miskin sebanyak 15,1 %, atau sekitar 10 juta penduduk miskin. Artinya, jika diasumsikan setengah dari jumlah seluruh penduduk Bangladesh adalah termasuk ke dalam golongan strata miskin (132 dibagi dua menjadi 66 juta jiwa), maka 15,1 % dari 66 juta jiwa telah berhasil diangkat dari status kemiskinannya. Berturut-turut kemudian 1998 (13 juta), 2000 (26 juta), dan 2003 (33 juta). Data terakhir menyebutkan, pada tahun 2005 GB telah berhasil mengentaskan jumlah miskin Bangladesh sebesar 58,40 % atau sekitar 38 juta jiwa. Sungguh sebuah capaian yang sangat fenomenal.
Rationale: Sixteen Decisions sebagai Kunci Sukses
Pertanyaan yang lantas muncul kemudian adalah apakah sebenarnya keistimewaan yang GB miliki dibanding konsep empowerment lain yang sejenis sehingga eksistensinya yang extraordinary? Berikut ini adalah beberapa poin yang penulis anggap signifikan sebagai kunci sukses Grameen Bank Bangladesh.
#1 Pro Poor System
Kunci pertama yang GB miliki adalah selalunya ia bergerak dan bermain dengan rakyat lemah. Mungkin bisa kita katakan: Dari miskin, oleh miskin, untuk miskin. Strategi ini akan sangat efektif dan ampuh diterapkan khususnya di negara yang struktur masyarakatnya dominan dengan kemiskinan (mayoritas NSB, Negara Sedang Berkembang). Namun tidak juga menutup kemungkinan, negara maju pun bisa saja memakainya. Karena negara sekaliber Amerika Serikat, struktur orang miskinnya tetap ada, bahkan tidak bisa dibilang sedikit.
#2 Right time-Right place-Right man
Ada poin penting yang perlu diperhatikan. GB tidak serta merta ketiban pulung sukses melainkan ada pula faktor yang tak bisa dikesampingkan: Right time-right place-right man. Right time karena pada waktu itu Bangladesh berada pada titik nadir akibat bencana famine yang ganas. Bahkan kala itu baru saja merdeka. Akan lain cerita jika GB tumbuh pada saat-saat masa penjajahan atau saat kondisi ekonomi sosial masyarakat telah establish. Right place karena di Bangladesh itulah segala bentuk kemiskinan ada. Dalam bahasa lain, andai Grameen Bank diterapkan di Indonesia atau Malaysia, belum terjamin perkembangannya akan sepesat dan sefenomenal seperti saat ini, karena struktur dan jumlah masyarakat miskin yang berbeda. Right man karena sang pendiri dan penggagas GB adalah seorang doktor ekonomi yang memang paham betul teori-teori ekonomi dan kemiskinan.
#3 Konsep yang Sederhana
Rahasia lain mengapa GB mampu menjadi solusi kemiskinan adalah konsepnya yang sangat sederhana. Simpel dan mudah dipahami bahkan oleh orang yang tidak mengecap pendidikan sekalipun. Bukan berdasarkan teori ekonomi njlimet yang membuat orang mengernyitkan dahi. Coba saja simak ‘sixteen decisions’ berikut ini. Sixteen decisions adalah enam belas norma-norma organisasi atau semacam janji setia anggota yang harus dipegang erat-erat untuk dilaksanakan secara rutin dan gradual oleh para anggota GB. Isinya antara lain: We shall bring prosperity to our families. We shall not live in dilapidated house. We shall grow vegetables all the year round. We shall plan to keep our families small. We shall educate our children and ensure that they can earn enough to pay for their education. We shall not inflict any injustice on anyone; neither shall we allow anyone to do so. We shall always be ready to help each other. If anyone is in difficulty, we shall all help. We shall take part in all social activities collectively, dan lain-lain. (Mubyarto, 2004)
#4 Prinsip GB = Prinsip Islam
Jika secara cermat kita amati dan analisis, ke-16 janji setia (sixteen decisions) tersebut berujung pangkal ke dalam nilai-nilai inti berikut: kesederhanaan konsep, kegigihan berusaha, kemandirian, kerja keras, kepedulian terhadap pendidikan, kesehatan, dan kebersihan lingkungan, dorongan untuk berbuat adil dan membantu sesama, disiplin, kegotongroyongan, hingga dorongan untuk berwirausaha. Nilai-nilai tersebut sejatinya adalah nilai-nilai islam yang sesungguhnya. Atau dalam makna lain, nilai dan norma yang Grameen Bank miliki adalah sama dan sebangun dengan nilai-nilai yang agama Islam promosikan. Hal ini menjadi wajar dan amat bisa dipahami karena Muhamad Yunus yang notabene aktor tunggal GB adalah seorang intelek yang beridentitas muslim.
#5 Mendobrak Mapan
Selain faktor-faktor di atas, ada hal lain yang tidak kalah penting dan strategis yang menjadi determinan kunci keberhasilan GB: bahwa M. Yunus dengan GB-nya telah berhasil mendobrak pandangan umum yang berlaku, atau dalam bahasa yang lebih ekstrem, mendobrak mapan. Yunus berhasil menjungkir balik tesis yang menyebutkan bahwa orang miskin itu adalah golongan masyarakat yang akan sukar melunasi pinjaman jika mereka diberikan kredit. Secara telak, melalui konsep pemberdayaan ekonomi masyarakat via Grameen ini, tesis tersebut tak lagi laku dijual. Fakta mencatat NPL atau kredit macet GB tidak melebihi angka 3 %. Sebuah pembuktian baru yang sukar terbantahkan.
Selain itu, pandangan umum yang mengatakan bahwa si miskin tidak akan bisa memperjuangkan nasibnya sendiri sehingga harus melulu dibelaskasihani orang kaya yang baik hati, juga tidak menemukan kesesuaiannya. Grameen memberi jawaban yang mencengangkan: orang miskin juga bisa mengeluarkan dirinya sendiri dari kubangan kemiskinan.
Beberapa Kritik Telak
Meski secara prinsip yang tertuang dalam ‘sixteen decisions’ relatif ideal dan tak ada celah noda, ada beberapa kritik yang bisa dialamatkan kepada GB. Pertama, GB masih mengakui eksistensi bunga. Hal ini menjadi noda terbesar dan paling nampak jelas terlihat. Bahkan angkanya pun tidaklah bisa disebut kecil, yakni hingga 30%. Dua, jika secara teliti kita amati, GB bersifat womensentris artinya ia berorientasi hanya kepada golongan ibu rumah tangga yang notabene lebih cocok dengan naluriahnya sebagai pengurus dan pengayom keluarga. Bukan sebagai pencari nafkah dengan meminjam modal kemudian bekerja. Ini pula dapat diartikan bahwa GB bersifat elitis. Ketiga dan tidak kalah penting, GB masih merupakan subordinat dari satu komando bank besar di Bangladesh. Lain halnya dengan kasus BMT di Indonesia yang merupakan kelembagaan masyarakat lokal.
Jika kita melakukan komparasi dengan kasus di Indonesia, maka ada hal menarik yang bisa diperbandingkan. Mengapa perjuangan ekonomi syariah Indonesia yang dimulai sejak tahun 1992 belum menunjukkan hasil yang memuaskan, padahal hingga saat ini telah terhitung 15 tahun lamanya, sementara GB dengan hanya waktu 10 tahun saja (1976-1980an) telah mampu mencapai prestasi yang tidak sederhana: membebaskan jerat kemiskinan penduduk Bangladesh? Padahal yang pertama telah dengan benar menggunakan konsep bagi hasil, sedang yang kedua masih bergelimang bunga? Yang pertama masih belum berhasil menurunkan struktur masyarakat miskin yang hingga saat ini terhitung sekitar 40 juta jiwa (18%), sedang yang kedua telah sukses mengentas miskin dengan jumlah yang hampir sama? Nampaknya ada yang salah dengan perjuangan ekonomi syariah kita.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar